PKS dan Jebakan Partai Menengah - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

23 April 2014

PKS dan Jebakan Partai Menengah


Tak banyak orang tahu, tanggal 20 April lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berulang tahun ke-12. Pengurus PKS sendiri tak mengadakan selebrasi milad partai yang dideklarasikan di lapangan Monas, Jakarta (2003), setahun setelah pendiriannya.

Tampaknya seluruh jajaran kader dan pengurus PKS sedang sibuk mengawal suara di tingkat PPS dan PPK sebelum dilanjutkan ke KPUD Kabupaten/Kota sehingga suasana milad PKS hanya ramai di media sosial.

Dalam usia satu dasawarsa lebih, PKS menunjukkan kinerja lembaga politik yang makin matang, meski sempat dilanda goncangan hebat. Sebut saja kegigihan saksi PKS untuk mengawasi pemungutan dan penghitungan suara sejak di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Banyak saksi dari partai lain atau panitia di TPS yang mengandalkan catatan saksi PKS.





Bahkan, di Kelurahan Batu Ampar, Jakarta Timur -- sebagai contoh kecil -- saksi PKS berhasil menyelamatkan suara PDIP (700) dan Gerindra (400) serta partai lain yang sempat hilang. Kejujuran dalam politik kadang jadi ironi karena posisi PKS di Ibukota Jakarta dipastikan turun di bawah PDIP dan Gerindra.

Namun di Yogyakarta saksi PKS terpaksa melaporkan kecurangan yang dilakukan PDIP, karena hal itu dapat menciderai amanat yang diberikan rakyat lewat kotak suara. Partai manapun pemenang pemilu atau peraih suara terbanyak harus malu, jika ternyata capaian suaranya diwarnai manipulasi.

PKS dengan segala keterbatasannya telah berkontribusi bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. PKS merupakan metamorfosis dari Partai Keadilan (PK) yang lahir dari rahim gerakan reformasi. Dari 12 partai peserta pemilu nasional 2014, hanya segelintir yang reformis, sebagian besar terkena tetesan sejarah Orde Baru.




Hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survei memperlihatkan PKS mampu mempertahankan posisinya di partai menengah, namun gagal mencapai target 3 besar nasional. Mulai dari prediksi paling pesimis exit poll CSIS dan Cyrus (4,82 persen) hingga yang optimis quick count Lembaga Survei Nasional (7,31 persen) menunjukkan PKS melampaui ambang batas parlementer 3,5 persen.

Tabulasi nasional PKS sendiri mencatat perolehan suara lebih tinggi, apalagi jika dikonversi menjadi kursi DPR RI. Presiden PKS Anis Matta masih yakin PKS tetap sebagai partai berbasis massa Islam terbesar di Indonesia di atas PKB, PAN atau PPP. Apakah hasil hitung tentang posisi PKS kembali meleset seperti survei sebelumnya? Penghitungan manual KPU akan membuktikannya.

Dalam praktek ekonomi dikenal istilah middle income trap, jebakan negara berpenghasilan menengah. Yakni, situasi ketika sebuah negara tak mampu mengembangkan kapasitas produksi nasional untuk mencapai tingkat pendapatan lebih tinggi. Pendapatan negara berpendatan menengah berkisar USD 1.000 - 12.000 per kapita.

Jebakan negara berpendapatan menengah disebabkan: rendahnya investasi, lambatnya pertumbuhan manufaktur, terbatasnya diversifikasi industri dan lemahnya kondisi pasar tenaga kerja atau SDM berkualitas. Selama bertahun-tahun negara semisal Brazil dan Afrika Selatan tak bisa melepaskan diri dari jebakan itu, bahkan mungkin mengalami penurunan akibat goncangan domestik atau tekanan global

Seperti diketahui Indonesia memasuki level menengah sekitar tahun 2004 ketika pendapatan nasional mencapai USD 3.420 per kapita. Namun, sejak saat itu sampai hari ini kondisi ekonomi tidak mengalami loncatan berarti, bahkan pertumbuhan cenderung menurun. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, antara lain lemahnya kebijakan finansial dan kondisi infrastruktur yang buruk.

Dalam politik, kita juga melihat jebakan partai menengah, yakni kekuatan politik tak mampu melampaui batas perolehan suara 5-10 persen dalam pemilu. Banyak faktor yang menyebabkan sebuah partai tak bisa menerobos batas dua digit perolehan suara, antara lain: kapasitas organisasi terbatas, watak ideologis tak sesuai aspirasi mayoritas pemilih, atau kemampuan berkompetisi yang rendah menghadapi kekuatan lain.

PKS telah mengikuti empat kali pemilu di era reformasi, jika eksistensi PK dipandang sebagai cikal bakal lahirnya PKS. Capaian terbaiknya dalam pemilu 2004, tatkala PKS meraih 8.325.020 suara (7,34 persen). Pada pemilu 2009 suara PKS turun menjadi 8.206.955 (7,9 persen), walaupun kursi DPR meningkat dari 45 menjadi 57 kursi (10 persen kursi DPR). Hasil Pemilu 2014 masih menunggu rekapitulasi akhir. Suara PKS mungkin berfluktuasi.
Banyak pihak mengakui militansi kader PKS dan soliditas organisasinya yang relatif mantap, namun pertumbuhan elektoralnya ternyata sangat lamban. Partai menengah yang mampu melewati jebakan stagnansi hanya Gerindra yang meraup tambahan suara 4,5 persen menempati ranking ketiga nasional (11-12 persen). Partai berbasis muslim tradisional, PKB, terbukti lebih produktif dengan raihan 9,5 persen, nyaris menembus dua digit.

Gerindra mampu melejit karena personal branding Prabowo Subianto yang sangat kuat. Elektabilitas Prabowo saat ini hanya selangkah di bawah Joko Widodo. Selain itu, Gerindra didukung dana besar sehingga mampu melakukan kampanye massif. Meski tidak mengklaim diri partai kader, Gerindra memiliki jaringan pendukung loyal.





Sementara itu, PKB memiliki basis pemilih tradisional dari kalangan Nahdlatul Ulama, organisasi kemasyarakatan yang berakar kuat di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selama ini konstituen Nahdliyin terserak di berbagai partai politik sesuai pengaruh patron masing-masing. Pemilu 2014 menunjukkan kembalinya konstituen NU ke rumah asal (PKB dan PPP) dengan figur Rhoma Irama dan Mahfud Md sebagai magnet pemersatu.

Jebakan Elektoral

Lalu, mengapa PKS kesulitan menembus batas partai menengah dan meraih target 3 besar nasional? Pertama, secara kasat mata PKS tak mampu melahirkan tokoh nasional demi menarik gerbong konstituen lintas kelompok. Capaian spektakuler tahun 2004 salah satunya didukung magnet Hidayat Nur Wahid yang akhirnya menjabat Ketua MPR RI.

Namun, saat ini pesona HNW memudar, terbukti dari raihan suaranya di daerah pemilihan DKI Jakarta 2 yang di bawah BPP (Bilangan Pembagi Pemilih, red). Padahal, sepuluh tahun lalu HNW memecahkan rekor suara terbanyak nasional. Tokoh muda semisal Anis Matta atau Ahmad Heryawan belum bisa menggantikan HNW sebagai vote getter nasional.

Kegagalan strategi penokohan ini mencerminkan kapasitas organisasi PKS masih terbatas, termasuk produktivitas kadernya belum optimal dalam menjangkau konstituen yang majemuk. Kita lihat kader PKS yang berpartisipasi dalam pemilihan raya untuk menentukan bakal calon presiden ternyata sekitar 150.000 orang. Apakah itu menandakan jumlah kader yang minimal atau partisipasi kader yang rendah?

Anis Matta saat menjabat Sekjen PKS mengungkap jumlah kader PKS sekitar 800.000 (tahun 2010) dan akan bertambah 1,2 juta menjadi 2 juta kader (2014). Target bombastis itu memerlukan kerja serius bukan hanya agitasi. Faktanya, kaderisasi PKS belum optimal, termasuk belum mampu melahirkan figur nasional.

  Faktor kedua, membeberkan dilema yang pernah disitir Burhanuddin Muhtadi (2012) antara upaya memperbesar suara dengan cita-cita penegakan syariah sebagai simbol ideologis. Kepemimpinan Anis Matta telah membawa PKS ke alam pasca ideologis. Secara terbuka mantan Wakil Ketua DPR RI itu menyatakan persoalan ideologis bagi PKS sudah selesai, karena itu Anis menggagas "gelombang ketiga sejarah Indonesia" di mana PKS bersama komponen lain mengisi konsep "the next Indonesia".

Indonesia masa depan bagi Anis tak hanya sanggup menyelesaikan ketegangan ideologis dan teknokratis, melainkan juga menjawab perubahan demografis dan tuntutan peradaban. Gagasan besar itu tentu menarik perhatian publik, namun menyisakan sejumlah tanda tanya di kalangan internal PKS, misalnya: sejauhmana keterkaitannya dengah Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan yang telah dibakukan PKS di era Tifatul Sembiring sebagai Presiden DPP dan Suharna Surapranata selaku Ketua MPP?





Anis tak punya cukup waktu untuk mengelola sumber daya intelektual PKS yang melimpah di dalam dan luar negeri. Akibatnya, wacana Gelombang Ketiga Indonesia hanya menjadi karya pribadi dan bukan dokumen kebijakan organisasi yang harus disosialisasikan hingga tingkat ranting (kelurahan/desa).

Konsekuensi lebih lanjut, PKS secara institusional gagap dalam menjelaskan atau merespon pertanyaan publik terkait isu-isu kontemporer. Tragedi itu terlihat saat diskusi platform partai-partai menjelang pemilu di kampus Universitas Indonesia dan forum publik lainnya. Sayang sekali, PKS tidak melakukan updating data dan revisi kebijakan dalam platform yang diluncurkan 2007, serta penyesuaian ideologis (jika perlu) dengan tampilnya kepemimpinan baru. Hal ini yang menyebabkan PKS tak cukup menarik bagi kelas menengah kritis. Padahal justru lapisan itu yang dibidik Anis.




Faktor ketiga, mungkin bukan terakhir, membuat PKS sulit keluar dari perangkap partai menengah adalah kemampuan berkompetisi terbatas. Kita bisa lihat dari minimnya iklan PKS di media massa, sehingga tingkat pengenalan publiknya amat rendah, tak merata di seluruh wilayah Indonesia. Ironisnya, berita buruk tentang elite PKS lebih cepat tersebar, sehingga masih ada konstituen yang beranggapan bahwa "Ahmad Fathanah adalah Presiden PKS yang terlibat suap".

Mobilisasi kader PKS di media sosial diakui banyak pihak, namun belum terencana dan terkendali sepenuhnya. Informasi sepihak dan tangkisan sporadik terhadap serangan kompetitor meningkatkan sentimen negatif, tak hanya popularitas. Kader PKS bergerak spontan karena terbatasnya anggaran partai untuk membiayai operasi media, apalagi iklan politik di masa kampanye. Bahkan, dana pengamanan suara untuk para saksi pun tak dapat dipenuhi 100 persen. Masih banyak daerah pemilihan yang belum ada saksi resmi PKS di TPS.

Dengan kondisi under pressured dan under financed, perolehan suara PKS yang stabil saja sudah merupakan anugerah. Pengaruh PKS di level nasional jelas terkoreksi, namun tak sampai tereliminasi. Banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan PKS untuk meraih lompatan elektoral, terutama peningkatan kapasitas kader dan organisasi, serta prestasi konkret dalam kebijakan publik di berbagai daerah yang dikuasai secara politik.

Sikap PKS yang tenang dan tak terlalu bernafsu untuk membentuk koalisi jelang pemilihan presiden sudah tepat, karena semua partai harus berbenah total jika ingin tetap eksis dalam Pemilu 2019. Apalagi, jika PKS masih bertekad untuk menembus 3 besar partai nasional.





Sumber : detikNews







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here