Awal pekan ini, sejumlah media nasional menampilkan hasil survei Cyrus Network
yang menempatkan Ahok sebagai cawapres dengan elektabilitas tertinggi.
Menurut survei itu, tingkat elektabilitas Ahok mencapai 21 persen. Ahok
mengalahkan tokoh-tokoh lainnya seperti Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan
Hary Tanoesoedibjo.
Hampir bersamaan dengan rilis survei itu, Sekretaris Eksekutif Bidang Marturia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Favor A. Bancin mengeluarkan pernyataan bahwa mereka mendukung wacana sejumlah tokoh nasional untuk mengusung pemimpin Kristen di pentas nasional menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 mendatang. Meski secara khusus tidak menyebut nama Ahok, jelas Wakil Gubernur DKI Jakarta itu menjadi salah satu “kader” yang diperhitungkan.
Kemenangan Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, menurut Amien Rais, tidak lepas dari dukungan kelompok pebisnis kuat yang dikontrol oleh kekuatan politik di belakangnya.
Setelah menjadi Wagub, nama Ahok semakin populer dengan dukungan media yang membesarkannya sejak Pilgub DKI.
Guru Besar Politik UI Iberamsjah menambahkan, popularitas Ahok yang meroket di ibukota tidak diimbangi dengan kepintaran dan kemampuan menonjol dari mantan bupati Belitung Timur tersebut. Ia juga menangkap bahwa di luar DKI Jakarta, Ahok bukanlah sosok yang “familiar.” Karenanya pengamat politik ini mencurigai bahwa survei Cyrus Network cenderung menyesatkan dan terindikasi bayaran.
Lepas dari benar atau tidaknya survei elektabilitas Ahok adalah rekayasa, popularitas Ahok di DKI Jakarta dan wacana pemimpin Kristen 2014 patut diwaspadai. Jika umat Islam tidak menyadari adanya “gerakan” ini, bisa jadi hanya penyesalan yang akan datang kemudian.
Sebelum apa yang dikhawatirkan umat Islam terjadi, umat Islam perlu mengambil langkah perbaikan yang setidaknya meliputi tiga aspek berikut:
1. Pemimpin dan Politisi Muslim
Pemimpin dan politisi Muslim perlu segera mengambil langkah cepat perbaikan. Mereka perlu menyadari bahwa orang seperti Ahok dapat “mengambil hati” sebagian orang karena mengambil langkah seperti Jokowi yang terjun langsung bertemu masyarakat. Di luar arogansi Ahok, ia disukai sebagian orang karena bertemu dan menyapa mereka, dan pada saat bersamaan dibangun citranya oleh media. Apa yang dikatakannya dan apa yang diperbuatnya hampir selalu ditampilkan media, tentu saja, setelah dipoles sedemikian rupa.
Pemimpin dan politisi Muslim sementara ini masih dicitrakan jauh dari masyarakat. Mereka kadang (ditampilkan) “untouchable” dan memiliki jarak psikologis dengan massa. Bahkan, kadang tampak terlalu formil dan “mewah.” Mereka perlu menyadari bahwa kesederhanaan seperti yang dicontohkan Umar bin Khatab dan pemimpin Islam terdahulu adalah nilai yang hingga saat ini masih dirindukan umat. Kedekatan dan ketidakberjarakan dengan masyarakat adalah faktor penting kecintaan masyarakat. Jokowi dan Ahok tidak banyak melakukan perubahan di Jakarta, tetapi kedekatannya dengan masyarakat melalui blusukan adalah faktor penting yang membesarkannya.
2. Tokoh Muslim dan Media
Tidak dapat dipungkiri, media adalah steering yang melambungkan nama Ahok. Entah ada apa di balik media. Entah apa korelasi Ahok dan media.
Tokoh muslim, pemimpin dan politisinya yang telah berbuat lebih banyak bagi masyarakat mungkin tidak mendapat kesempatan yang sama karena tidak terekspose oleh media. Padahal, sebagai pilar keempat demokrasi, media sangat menentukan cita rasa dan mampu mengarahkan pilihan massa. Orang yang baik bisa tampak buruk dalam sekejap karena media. Sebaliknya, orang yang jahat bisa tampak manis karena polesan media dalam waktu yang lama. Tokoh muslim, pemimpin dan politisinya harus dekat dengan media dan memanfaatkannya. Islam harus memiliki media yang setara. Itu idealnya. Tetapi jika belum bisa, setidaknya mereka harus memanfaatkan media-media berkembang milik umat Islam.
3. Umat Islam
Umat Islam, pemilih Islam, mereka perlu menyadari bahwa sedang ada “skenario” menjauhkan umat Islam dari kemenangan politik. Fakta historis sejak dulu selalu menunjukkan seperti itu. Jangan sampai umat Islam menyesal karena salah langkah dan kembali salah langkah. Mungkin saat kelompok yang memusuhi Islam masih kecil, mereka akan tampak jinak. Tetapi saat mereka berkuasa, mereka akan menunjukkan wajah asli mereka.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Hampir bersamaan dengan rilis survei itu, Sekretaris Eksekutif Bidang Marturia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Favor A. Bancin mengeluarkan pernyataan bahwa mereka mendukung wacana sejumlah tokoh nasional untuk mengusung pemimpin Kristen di pentas nasional menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 mendatang. Meski secara khusus tidak menyebut nama Ahok, jelas Wakil Gubernur DKI Jakarta itu menjadi salah satu “kader” yang diperhitungkan.
Kemenangan Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, menurut Amien Rais, tidak lepas dari dukungan kelompok pebisnis kuat yang dikontrol oleh kekuatan politik di belakangnya.
Setelah menjadi Wagub, nama Ahok semakin populer dengan dukungan media yang membesarkannya sejak Pilgub DKI.
Guru Besar Politik UI Iberamsjah menambahkan, popularitas Ahok yang meroket di ibukota tidak diimbangi dengan kepintaran dan kemampuan menonjol dari mantan bupati Belitung Timur tersebut. Ia juga menangkap bahwa di luar DKI Jakarta, Ahok bukanlah sosok yang “familiar.” Karenanya pengamat politik ini mencurigai bahwa survei Cyrus Network cenderung menyesatkan dan terindikasi bayaran.
Lepas dari benar atau tidaknya survei elektabilitas Ahok adalah rekayasa, popularitas Ahok di DKI Jakarta dan wacana pemimpin Kristen 2014 patut diwaspadai. Jika umat Islam tidak menyadari adanya “gerakan” ini, bisa jadi hanya penyesalan yang akan datang kemudian.
Sebelum apa yang dikhawatirkan umat Islam terjadi, umat Islam perlu mengambil langkah perbaikan yang setidaknya meliputi tiga aspek berikut:
1. Pemimpin dan Politisi Muslim
Pemimpin dan politisi Muslim perlu segera mengambil langkah cepat perbaikan. Mereka perlu menyadari bahwa orang seperti Ahok dapat “mengambil hati” sebagian orang karena mengambil langkah seperti Jokowi yang terjun langsung bertemu masyarakat. Di luar arogansi Ahok, ia disukai sebagian orang karena bertemu dan menyapa mereka, dan pada saat bersamaan dibangun citranya oleh media. Apa yang dikatakannya dan apa yang diperbuatnya hampir selalu ditampilkan media, tentu saja, setelah dipoles sedemikian rupa.
Pemimpin dan politisi Muslim sementara ini masih dicitrakan jauh dari masyarakat. Mereka kadang (ditampilkan) “untouchable” dan memiliki jarak psikologis dengan massa. Bahkan, kadang tampak terlalu formil dan “mewah.” Mereka perlu menyadari bahwa kesederhanaan seperti yang dicontohkan Umar bin Khatab dan pemimpin Islam terdahulu adalah nilai yang hingga saat ini masih dirindukan umat. Kedekatan dan ketidakberjarakan dengan masyarakat adalah faktor penting kecintaan masyarakat. Jokowi dan Ahok tidak banyak melakukan perubahan di Jakarta, tetapi kedekatannya dengan masyarakat melalui blusukan adalah faktor penting yang membesarkannya.
2. Tokoh Muslim dan Media
Tidak dapat dipungkiri, media adalah steering yang melambungkan nama Ahok. Entah ada apa di balik media. Entah apa korelasi Ahok dan media.
Tokoh muslim, pemimpin dan politisinya yang telah berbuat lebih banyak bagi masyarakat mungkin tidak mendapat kesempatan yang sama karena tidak terekspose oleh media. Padahal, sebagai pilar keempat demokrasi, media sangat menentukan cita rasa dan mampu mengarahkan pilihan massa. Orang yang baik bisa tampak buruk dalam sekejap karena media. Sebaliknya, orang yang jahat bisa tampak manis karena polesan media dalam waktu yang lama. Tokoh muslim, pemimpin dan politisinya harus dekat dengan media dan memanfaatkannya. Islam harus memiliki media yang setara. Itu idealnya. Tetapi jika belum bisa, setidaknya mereka harus memanfaatkan media-media berkembang milik umat Islam.
3. Umat Islam
Umat Islam, pemilih Islam, mereka perlu menyadari bahwa sedang ada “skenario” menjauhkan umat Islam dari kemenangan politik. Fakta historis sejak dulu selalu menunjukkan seperti itu. Jangan sampai umat Islam menyesal karena salah langkah dan kembali salah langkah. Mungkin saat kelompok yang memusuhi Islam masih kecil, mereka akan tampak jinak. Tetapi saat mereka berkuasa, mereka akan menunjukkan wajah asli mereka.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar