Ada cerita menarik yang beredar terbatas di kalangan petinggi Kompas Gramedia Group. Tentang konspirasi di balik opini bentukan jaringan media menghadapi pemilu 2014. Tentang "kolaborasi kotor" kelompok misionaris Katolik, konglomerasi Tionghoa dan elit PDIP. Tentang rekayasa pencitraan Jokowi - Ahok menggilas akal sehat publik.
Kisah penuh misteri itu berawal di akhir bulan Desember 2013. Orang - orang berduit triliun rupiah yang kemudian dikenal dengan "cukong", berkumpul bersama petinggi Kompas Gramedia Group, elite PDIP dan misionaris Katolik. Atas nama kesamaan kepentingan ideologi, merumuskan sebuah konspirasi jahat.
"Kita sudah berhasil membawa Jokowi - Ahok di posisi jabatan strategis DKI Jakarta, kini selanjutnya mempermulus jalan untuk memastikan Jokowi menjadi Presiden dan Ahok tampil memimpin Jakarta." Sembari menegaskan: "Ini tahapan finalisasi untuk menguasai Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim."
Dengan mengusung tema liputan "Indonesia Satu", crew redaksi Kompas bergerak lincah menyebarkan serangkaian isu dan opini penuh tipu muslihat ke ruang publik. Sasaran mendongkrak popularitas Jokowi - Ahok dan menghembuskan kebencian rakyat kepada elite dan partai non PDIP.
Hasilnya, dalam kurun waktu yang tidak lama, Jokowi - Ahok diposisikan sebagai figur fenomenal di panggung politik nasional jelang Pemilu 2014. Publik hampir setiap hari disuguhi berbagai berita dari aneka lakon dua boneka yang terus melenggang bebas mewakili ambisi cukong dan jaringan katolik.
Dengan mengabaikan visi, Jokowi - Ahok hadir bagai sinetron berdurasi tanpa batas menyihir pembaca dan pemirsa. Mulai dari serangkaian kisah blusukan Jokowi yang menguras anggaran miliaran rupiah dari APBD, hingga celoteh penuh amarah tanpa etika diperankan secara membabi-buta oleh Ahok. Mirip pertunjukan "topeng monyet", yang setiap gerak-geriknya sudah terlatih dan sepenuhnya dikendali oleh dalang alias cukong.
Jejak Hitam
Kompas punya sejarah panjang dalam kongsi kepentingan dengan cukong. Media utama milik kelompok Katolik ini, telah menjadi jaringan yang terus menggurita. Di tahun 1998 - 1999, Kompas sukses mencitrakan pengaruh Uskup Belo dalam pergolakkan politik paling spektakuler yang berujung pada pelepasan Timor-Timur dari wilayah NKRI.
Uskup Belo dikesankan bagai pahlawan kemanusiaan yang secara sporadis menyudutkan ABRI (TNI) sebagai penjahat HAM dalam serangkaian kasus pembantaian massal di Timor-Timur. Tudingan tanpa bukti itu, nyaris setiap hari menghias halaman utama koran Kompas dan memicu intervensi kekuatan asing.
Setelah setahun Timor-Timur lepas dari NKRI, publik kemudian baru menyadari ternyata: Uskup Belo dan Kompas terlibat bermain mata untuk memuluskan kepentingan cukong yang mengincar sumber kekayaan minyak di Laut Timor. Dan untuk hajat busuk itu, maka jalan ekstrim disintegrasi pun dimainkan.
Sangat menyedihkan, konspirasi Kompas dan gereja Katolik yang dipimpin oleh Uskup Belo sukses menyulut api kebencian di hati rakyat Timor-Timur. Di mana ratusan ribu warga Indonesia yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa yang puluhan tahun menetap di Timor-Timur menjadi sasaran perlakuan tidak manusiawi, diusir dan ribuan dari mereka kehilangan nyawa serta harta bendanya.
Tragedi berdarah lepasnya Timor-Timur (Timor Leste) dari wilayah Indonesia adalah fakta sejarah yang tak terlupakan. Wilayah yang berpenduduk mayoritas Katolik tersebut oleh Kompas sangat berkepentingan untuk menjadikannya sebagai negara boneka dalam kendali Australia, Eropa dan Amerika.
Timor Leste memiliki potensi sumber kekayaan alam dan berada di zona strategis serta berdampingan dengan NTT yang berpenduduk mayoritas Katolik. Dan oleh Australia, Timor Leste telah dijadikan pangkalan militer yang setiap saat dapat memperluas pengaruhnya dengan mencaplok kawasan di sekitarnya. Jalan kearah itu semakin terbuka lebar. Dan lagi-lagi, Kompas menyembunyikan rencana licik itu dari perhatian publik.
Bagaimana dengan Jokowi - Ahok...?
Kompas Gramedia Group, cukong dan basis jaringan Katolik dengan mencolok tengah gencar memainkan "disintegrasi politik" yang memporak-porandakan tatanan sosial di negeri ini. Melalui penunggangan PDIP, Jokowi dipaksakan tampil sebagai boneka mereka untuk dipersiapkan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Skenario busuk itu tidak lain bertujuan untuk memperluas pengaruh Katolik dan cukong dalam penguasaan negara, sentra ekonomi-keuangan dan sebagainya. Ambisi itu sangat nyata, dan secara terbuka tokoh Katolik paling berpengaruh, Frans Maknis Suseno menyampaikan pesan berupa ancaman: "Bila Jokowi tidak jadi presiden maka Indonesia akan rusuh..."
Pernyataan misionaris Katolik Frans Maknis Suseno, tidak berbeda dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Uskup Belo: "Lebih baik membawa mayoritas Katolik Timor-Timur lepas dari NKRI dari pada bergabung dengan ummat Islam dalam kebhinekaan Indonesia..."
Cara pandang para tokoh Katolik yang berkonsiprasi dengan cukong, membuat banyak pihak bertanya: "Di mana sikap nasionalisme Megawati dan politisi PDIP...?".
Hem, uang dan kerakusan kekuasaan telah melunturkan spirit nasionalisme elite partai. Masa depan rakyat di negeri ini tengah berjalan menuju jurang kehancuran. Prihatin !(Faisal Assegaf)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Kisah penuh misteri itu berawal di akhir bulan Desember 2013. Orang - orang berduit triliun rupiah yang kemudian dikenal dengan "cukong", berkumpul bersama petinggi Kompas Gramedia Group, elite PDIP dan misionaris Katolik. Atas nama kesamaan kepentingan ideologi, merumuskan sebuah konspirasi jahat.
"Kita sudah berhasil membawa Jokowi - Ahok di posisi jabatan strategis DKI Jakarta, kini selanjutnya mempermulus jalan untuk memastikan Jokowi menjadi Presiden dan Ahok tampil memimpin Jakarta." Sembari menegaskan: "Ini tahapan finalisasi untuk menguasai Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim."
Dengan mengusung tema liputan "Indonesia Satu", crew redaksi Kompas bergerak lincah menyebarkan serangkaian isu dan opini penuh tipu muslihat ke ruang publik. Sasaran mendongkrak popularitas Jokowi - Ahok dan menghembuskan kebencian rakyat kepada elite dan partai non PDIP.
Hasilnya, dalam kurun waktu yang tidak lama, Jokowi - Ahok diposisikan sebagai figur fenomenal di panggung politik nasional jelang Pemilu 2014. Publik hampir setiap hari disuguhi berbagai berita dari aneka lakon dua boneka yang terus melenggang bebas mewakili ambisi cukong dan jaringan katolik.
Dengan mengabaikan visi, Jokowi - Ahok hadir bagai sinetron berdurasi tanpa batas menyihir pembaca dan pemirsa. Mulai dari serangkaian kisah blusukan Jokowi yang menguras anggaran miliaran rupiah dari APBD, hingga celoteh penuh amarah tanpa etika diperankan secara membabi-buta oleh Ahok. Mirip pertunjukan "topeng monyet", yang setiap gerak-geriknya sudah terlatih dan sepenuhnya dikendali oleh dalang alias cukong.
Jejak Hitam
Kompas punya sejarah panjang dalam kongsi kepentingan dengan cukong. Media utama milik kelompok Katolik ini, telah menjadi jaringan yang terus menggurita. Di tahun 1998 - 1999, Kompas sukses mencitrakan pengaruh Uskup Belo dalam pergolakkan politik paling spektakuler yang berujung pada pelepasan Timor-Timur dari wilayah NKRI.
Uskup Belo dikesankan bagai pahlawan kemanusiaan yang secara sporadis menyudutkan ABRI (TNI) sebagai penjahat HAM dalam serangkaian kasus pembantaian massal di Timor-Timur. Tudingan tanpa bukti itu, nyaris setiap hari menghias halaman utama koran Kompas dan memicu intervensi kekuatan asing.
Setelah setahun Timor-Timur lepas dari NKRI, publik kemudian baru menyadari ternyata: Uskup Belo dan Kompas terlibat bermain mata untuk memuluskan kepentingan cukong yang mengincar sumber kekayaan minyak di Laut Timor. Dan untuk hajat busuk itu, maka jalan ekstrim disintegrasi pun dimainkan.
Sangat menyedihkan, konspirasi Kompas dan gereja Katolik yang dipimpin oleh Uskup Belo sukses menyulut api kebencian di hati rakyat Timor-Timur. Di mana ratusan ribu warga Indonesia yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa yang puluhan tahun menetap di Timor-Timur menjadi sasaran perlakuan tidak manusiawi, diusir dan ribuan dari mereka kehilangan nyawa serta harta bendanya.
Tragedi berdarah lepasnya Timor-Timur (Timor Leste) dari wilayah Indonesia adalah fakta sejarah yang tak terlupakan. Wilayah yang berpenduduk mayoritas Katolik tersebut oleh Kompas sangat berkepentingan untuk menjadikannya sebagai negara boneka dalam kendali Australia, Eropa dan Amerika.
Timor Leste memiliki potensi sumber kekayaan alam dan berada di zona strategis serta berdampingan dengan NTT yang berpenduduk mayoritas Katolik. Dan oleh Australia, Timor Leste telah dijadikan pangkalan militer yang setiap saat dapat memperluas pengaruhnya dengan mencaplok kawasan di sekitarnya. Jalan kearah itu semakin terbuka lebar. Dan lagi-lagi, Kompas menyembunyikan rencana licik itu dari perhatian publik.
Bagaimana dengan Jokowi - Ahok...?
Kompas Gramedia Group, cukong dan basis jaringan Katolik dengan mencolok tengah gencar memainkan "disintegrasi politik" yang memporak-porandakan tatanan sosial di negeri ini. Melalui penunggangan PDIP, Jokowi dipaksakan tampil sebagai boneka mereka untuk dipersiapkan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Skenario busuk itu tidak lain bertujuan untuk memperluas pengaruh Katolik dan cukong dalam penguasaan negara, sentra ekonomi-keuangan dan sebagainya. Ambisi itu sangat nyata, dan secara terbuka tokoh Katolik paling berpengaruh, Frans Maknis Suseno menyampaikan pesan berupa ancaman: "Bila Jokowi tidak jadi presiden maka Indonesia akan rusuh..."
Pernyataan misionaris Katolik Frans Maknis Suseno, tidak berbeda dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Uskup Belo: "Lebih baik membawa mayoritas Katolik Timor-Timur lepas dari NKRI dari pada bergabung dengan ummat Islam dalam kebhinekaan Indonesia..."
Cara pandang para tokoh Katolik yang berkonsiprasi dengan cukong, membuat banyak pihak bertanya: "Di mana sikap nasionalisme Megawati dan politisi PDIP...?".
Hem, uang dan kerakusan kekuasaan telah melunturkan spirit nasionalisme elite partai. Masa depan rakyat di negeri ini tengah berjalan menuju jurang kehancuran. Prihatin !(Faisal Assegaf)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar