Nama asli dari capres Indonesia dari PDI Perjuangan adalah Hebertus Handoko Joko Widodo. Ayahandanya bernama Oey Hong Liong. Pria peranakan tionghoa ini terlahir dari pasangan saudagar di kota Solo. Betul-betul berdarah cina dan bukan sekedar berwajah cina. Cina atau tidaknya seorang capres di Indonesia bukanlah topik sensitif dan bukan juga menjadi alasan seseorang tidak memilihnya.
Yang menarik untuk disimak adalah motif dari tim pendukungnya yang terdiri dari sekian taipan kayaraya dan negara superpower, Amerika Serikat.
Apa yang menjadi motifnya?
Jika para taipan dan saudagar supertajir seperti James R Riady bisa lah dibaca dengan cepat bahwa dunia bisnis membutuhkan kepastian dan bantuan logistik politik untuk melancarkan operasional aktifitas bisnisnya. Persentuhan bisnis dengan aksentuasi dan dengan latarbelakang sejarah dari akar budaya yang sama membuat upaya menjadikan pria keturunan cina tersebut menjadi RI-1 menjadi sesuatu yang harus dan betul-betul diperjuangankan.
Taipan-taipan tersebut tidak membutuhkan pemimpin yang tegas dan memiliki spirit kebangsaan yang kuat. Mereka hanya membutuhkan pria yang minim jam terbang dan memiliki wawasan nasionalisme dalam angle bisnis. Dan itulah Jokowi.
Kenapa angle bisnis dalam wawasan kebangsaan merupakan nilai lebih seorang kader PDI Perjuangan? Tentu saja para pembaca memiliki rekaman mengenai transaksi dari gas Tangguh dan Indosat? Nah silahkan kembali dibaca untuk refreshment mengenai definis wawasan kebangsaan dalam angle bisnis.
Yang menjadi pertanyaan adalah kepentingan Paman Sam terhadap dukungan yang tersirat kepada Jokowi, apa yang menjadi landasan dukungan. Apakah karena ke-cina-an Jokowi, partai yang menjadi alat tunggangan politiknya atau ketiadaan konsep yang menampakkan nasionalisme yang alot dan keyakinan akan agamanya yang kuat. Meskipun di duga dahulunya Jokowi adalah seorang nasrani yang berpindah keyakinan ke dalam pangkuan Islam, Jokowi dipandang memiliki kelenturan khas dari seorang penganut liberalisme yang kuat.
Amerika Serikat juga bisa diprediksi melakukan preventive action atas upaya kuat para taipan yang masih menyatakan tiongkok adalah negara pertama (terbukti ketika mereka maling di Indonesia dengan ringan hati mendeposit harta karun mereka di Hongkong dan Singapore). Menggeliatnya RRC sebagai negara yang mulai menindas sebagian besar penjualan saham di New York membuat Obama dan kawan-kawan ketar-ketir melihat gelagat mendekatnya kekuatan ras keturunan cina di tim sukses premium Jokowi. Harus di balancing untuk menjaga hegemoni cina di ring-1 pencapresan Jokowi.
Jadi jika ada yang masih berdalih ada upaya sistimatis untuk membungkam Jokowi terkait isu rasis, maka sesungguhnya yang bergerak di epicentrum Jokowi saat ini adalah penganut rasisme itu sendiri.
Branding dan jualan ikon bernama Jokowi untuk Indonesia lebih baik betul-betul sukses diramu oleh tim divisi marketingnya. Mass media yang berorientasi kepada profit memang menjadi obyek yang gampang ditaklukkan. Idealisme dan kaidah-kaidah jurnalistik yang kuat dengan upaya investigatif reporting sudah tidak lagi jamannya. Media lebih menyerupai wadah belanjaan (trolly) di supermarket dimana detergen, ayam beku, kecap dan shampoo bisa saling tumpuk ketimbang corong masjid yang bening suaranya.
Jokowi bak Syahrini yang minim pengalaman dengan suara yang jauh dari kualitas suara diva lokal maupun internasional tapi mampu menyihir audiens dengan rambut berjambul khatulistiwa dan bulu mata cetar membahana. Aksi-aksi yang tidak terkait langsung dengan dunia tarik suara sebagai domain seorang penyanyi ‘dirusak’ Syahrini hanya sekedar menjadi riuh publisitas dan minim prestasi.
Indonesia bak menyambut Syahrini dalam seri politik dalam episode lima tahun ke depan. Jokowi hanya akan menjadi rindu dendam anak-anak bangsa atas runtuhnya moralitas bangsa melalui pergulatan dan tontonan perpolitikan kita yang penuh carut marut seperti korupsi, gratifikasi gila-gilaan, memperkaya diri sendiri dan jauh dari nilai moral yakni esejahteraan bagi rakyat Indonesia dalam makna hakiki.
Jokowi dari seorang medioker (setidaknya menurut Sri Bintang Pamungkas yang warga Solo asli menilai Jokowi) kelak menjadi presiden dari negara yang sarat persinggungan nilai-nilai sensitif dan menjadi bulan-bulanan rakyatnya sendiri saat dianggap gagal lepas dari jeratan problematika bangsa. Format trial and error sangat kuat dibalik euforia Jokowi sebagai figur sederhana sebagai capres.
Para taipan bermata sipit dan hegemoni USA yang mulai digerogoti oleh RRC menjadi kekuatan dahsyat yang menyembulkan Jokowi ke pentas politik nomor satu di Indonesia. Ketidakmampuan Jokowi menyelesaikan banjir seperti yang terjadi di Solo saat dia menjabat dan kekuatan FX Rudi sebagai wakilnya, persis seperti Ahok yang menjalankan operasional pemerintahan daerah DKI ketimbang Jokowi yang hanya sibuk dengan komunikasi politik dengan Megawati ketimbang pemerintah pusat seharusnya menjadi indikasi ketidakmampuan Jokowi sebagai orang pertama di republik ini.
Who the real president? Jusuf Kalla? Mahfud MD atau malahan Prabowo Subianto Djojohadikusumo?
Salam anti presiden bebal!(Muslimina)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Yang menarik untuk disimak adalah motif dari tim pendukungnya yang terdiri dari sekian taipan kayaraya dan negara superpower, Amerika Serikat.
Apa yang menjadi motifnya?
Jika para taipan dan saudagar supertajir seperti James R Riady bisa lah dibaca dengan cepat bahwa dunia bisnis membutuhkan kepastian dan bantuan logistik politik untuk melancarkan operasional aktifitas bisnisnya. Persentuhan bisnis dengan aksentuasi dan dengan latarbelakang sejarah dari akar budaya yang sama membuat upaya menjadikan pria keturunan cina tersebut menjadi RI-1 menjadi sesuatu yang harus dan betul-betul diperjuangankan.
Taipan-taipan tersebut tidak membutuhkan pemimpin yang tegas dan memiliki spirit kebangsaan yang kuat. Mereka hanya membutuhkan pria yang minim jam terbang dan memiliki wawasan nasionalisme dalam angle bisnis. Dan itulah Jokowi.
Kenapa angle bisnis dalam wawasan kebangsaan merupakan nilai lebih seorang kader PDI Perjuangan? Tentu saja para pembaca memiliki rekaman mengenai transaksi dari gas Tangguh dan Indosat? Nah silahkan kembali dibaca untuk refreshment mengenai definis wawasan kebangsaan dalam angle bisnis.
Yang menjadi pertanyaan adalah kepentingan Paman Sam terhadap dukungan yang tersirat kepada Jokowi, apa yang menjadi landasan dukungan. Apakah karena ke-cina-an Jokowi, partai yang menjadi alat tunggangan politiknya atau ketiadaan konsep yang menampakkan nasionalisme yang alot dan keyakinan akan agamanya yang kuat. Meskipun di duga dahulunya Jokowi adalah seorang nasrani yang berpindah keyakinan ke dalam pangkuan Islam, Jokowi dipandang memiliki kelenturan khas dari seorang penganut liberalisme yang kuat.
Amerika Serikat juga bisa diprediksi melakukan preventive action atas upaya kuat para taipan yang masih menyatakan tiongkok adalah negara pertama (terbukti ketika mereka maling di Indonesia dengan ringan hati mendeposit harta karun mereka di Hongkong dan Singapore). Menggeliatnya RRC sebagai negara yang mulai menindas sebagian besar penjualan saham di New York membuat Obama dan kawan-kawan ketar-ketir melihat gelagat mendekatnya kekuatan ras keturunan cina di tim sukses premium Jokowi. Harus di balancing untuk menjaga hegemoni cina di ring-1 pencapresan Jokowi.
Jadi jika ada yang masih berdalih ada upaya sistimatis untuk membungkam Jokowi terkait isu rasis, maka sesungguhnya yang bergerak di epicentrum Jokowi saat ini adalah penganut rasisme itu sendiri.
Branding dan jualan ikon bernama Jokowi untuk Indonesia lebih baik betul-betul sukses diramu oleh tim divisi marketingnya. Mass media yang berorientasi kepada profit memang menjadi obyek yang gampang ditaklukkan. Idealisme dan kaidah-kaidah jurnalistik yang kuat dengan upaya investigatif reporting sudah tidak lagi jamannya. Media lebih menyerupai wadah belanjaan (trolly) di supermarket dimana detergen, ayam beku, kecap dan shampoo bisa saling tumpuk ketimbang corong masjid yang bening suaranya.
Jokowi bak Syahrini yang minim pengalaman dengan suara yang jauh dari kualitas suara diva lokal maupun internasional tapi mampu menyihir audiens dengan rambut berjambul khatulistiwa dan bulu mata cetar membahana. Aksi-aksi yang tidak terkait langsung dengan dunia tarik suara sebagai domain seorang penyanyi ‘dirusak’ Syahrini hanya sekedar menjadi riuh publisitas dan minim prestasi.
Indonesia bak menyambut Syahrini dalam seri politik dalam episode lima tahun ke depan. Jokowi hanya akan menjadi rindu dendam anak-anak bangsa atas runtuhnya moralitas bangsa melalui pergulatan dan tontonan perpolitikan kita yang penuh carut marut seperti korupsi, gratifikasi gila-gilaan, memperkaya diri sendiri dan jauh dari nilai moral yakni esejahteraan bagi rakyat Indonesia dalam makna hakiki.
Jokowi dari seorang medioker (setidaknya menurut Sri Bintang Pamungkas yang warga Solo asli menilai Jokowi) kelak menjadi presiden dari negara yang sarat persinggungan nilai-nilai sensitif dan menjadi bulan-bulanan rakyatnya sendiri saat dianggap gagal lepas dari jeratan problematika bangsa. Format trial and error sangat kuat dibalik euforia Jokowi sebagai figur sederhana sebagai capres.
Para taipan bermata sipit dan hegemoni USA yang mulai digerogoti oleh RRC menjadi kekuatan dahsyat yang menyembulkan Jokowi ke pentas politik nomor satu di Indonesia. Ketidakmampuan Jokowi menyelesaikan banjir seperti yang terjadi di Solo saat dia menjabat dan kekuatan FX Rudi sebagai wakilnya, persis seperti Ahok yang menjalankan operasional pemerintahan daerah DKI ketimbang Jokowi yang hanya sibuk dengan komunikasi politik dengan Megawati ketimbang pemerintah pusat seharusnya menjadi indikasi ketidakmampuan Jokowi sebagai orang pertama di republik ini.
Who the real president? Jusuf Kalla? Mahfud MD atau malahan Prabowo Subianto Djojohadikusumo?
Salam anti presiden bebal!(Muslimina)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar