Korban penculikan menjelang reformasi 1998 Andi Arief mengingatkan masyarakat akan kebusukan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Kata mantan ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) ini, pada 2004 Megawati tertangkap basah merusak reformasi TNI/Polri dan menyeret-nyeret agama dalam politik sampai taraf yang membahayakan pluralisme.
Sementara di tahun 2009, Megawati membuat politik jadi penuh prasangka dengan mengatakan bahwa IT dan DPT sebagai sumber kecurangan pemilu. Padahal, sambung dia, IT dan DPT tak mungkin bisa menjadi alat kecurangan.
"Jika saat ini para pendukungnya meneriakkan soal pluralisme, HAM dan netralitas intelijen, harus benar-benar diterima dan dipelajari dengan kritis. Karena teori menebar namun memakai adalah khas Megawati dan inner circle-nya selama ini," ujar Andi Arief, Senin (9/6).
"Sejak 1996, saya sudah menyatakan bahwa Megawati adalah bagian dari problem demokrasi kita," sambungnya.
Andi Arief juga menceritakan bagaimana Megawati menolak bergabung dengan elemen sipil untuk memperkuat demokrasi.
"Setelah 27 Juli 1996, Mudrik Sangidu tokoh cerdik pandai PPP mendatangi Megawati agar bersatu padu. Tetapi Megawati menampik ajakan itu. Walau demikian Mudrik tetap menggunakan slogan Mega-Bintang," cerita Andi Arief.
Kata dia lagi, awalnya Joko Widodo yang digunakan Megawati dalam pemilihan presiden tahun ini mendapatkan dukungan dari kelas menengah yang marah dan kecewa. Tetapi belakangan, orang-orang yang mendukung Jokowi itu berbondong-bondong meninggalkannya.
"Inilah konsekuensi kesadaran palsu. Masyarakat bersiap, Megawati akan menyalahkan dan mencari-cari kesalahan pihak lain," demikian Andi Arief.
Sumber : petikan
Kata mantan ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) ini, pada 2004 Megawati tertangkap basah merusak reformasi TNI/Polri dan menyeret-nyeret agama dalam politik sampai taraf yang membahayakan pluralisme.
Sementara di tahun 2009, Megawati membuat politik jadi penuh prasangka dengan mengatakan bahwa IT dan DPT sebagai sumber kecurangan pemilu. Padahal, sambung dia, IT dan DPT tak mungkin bisa menjadi alat kecurangan.
"Jika saat ini para pendukungnya meneriakkan soal pluralisme, HAM dan netralitas intelijen, harus benar-benar diterima dan dipelajari dengan kritis. Karena teori menebar namun memakai adalah khas Megawati dan inner circle-nya selama ini," ujar Andi Arief, Senin (9/6).
"Sejak 1996, saya sudah menyatakan bahwa Megawati adalah bagian dari problem demokrasi kita," sambungnya.
Andi Arief juga menceritakan bagaimana Megawati menolak bergabung dengan elemen sipil untuk memperkuat demokrasi.
"Setelah 27 Juli 1996, Mudrik Sangidu tokoh cerdik pandai PPP mendatangi Megawati agar bersatu padu. Tetapi Megawati menampik ajakan itu. Walau demikian Mudrik tetap menggunakan slogan Mega-Bintang," cerita Andi Arief.
Kata dia lagi, awalnya Joko Widodo yang digunakan Megawati dalam pemilihan presiden tahun ini mendapatkan dukungan dari kelas menengah yang marah dan kecewa. Tetapi belakangan, orang-orang yang mendukung Jokowi itu berbondong-bondong meninggalkannya.
"Inilah konsekuensi kesadaran palsu. Masyarakat bersiap, Megawati akan menyalahkan dan mencari-cari kesalahan pihak lain," demikian Andi Arief.
Sumber : petikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar