Barangkali dalang banyak peristiwa dunia kini tak lagi dimonopoli AS dan Yahudi. Para penggila teori konspirasi mungkin sudah harus menambahkan keluarga Kerajaan Saudi.
Jangan jauh-jauh merujuk peristiwa 911, alias penghancuran Gedung WTC pada 11 September 2001, yang sudah banyak dibahas dan ditunjuk. Kemelut politik dan sosial yang terjadi di Suriah, hingga vonis mati ganjil kepada 529 anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir akhir-akhir ini, tampaknya tak lepas dari tangan-tangan ‘the royal family of Saudi’.
Analisis ini bisa bermula dari—sebut saja, teori Arab sewot. Beberapa waktu terakhir Arab Saudi merasa kecewa dengan sikap patron yang selama ini dengan setia diturutinya, hingga bagi sebagian kalangan mungkin terasa bagai menghamba. Tentu, tak lain dari Amerika.
Ada banyak alasan yang membuat Saudi kecewa. Pertama, di awal merebaknya ‘Arab Spring’ Amerika cenderung lebih menunjukkan sikap mendukung penggulingan Hosni Mubarak. Padahal kita tahu, sebagai sesama pemerintahan represif, keluarga Saudi terkenal merupakan sahabat Mubarak sejak lama.
Yang lebih membuat Arab kecewa, AS pun di awal sempat-sempatnya mendukung pemerintahan Mursi. Satu hal yang wajar, karena bagaimana pun pemerintahan Mursi memang terpilih secara demokratis.
Sebenarnya sikap AS tersebut bisa dibaca tak hanya dengan kedatangan Obama ke Timur Tengah, Juni 2009. Sikap AS di bawah Obama yang lebih terbuka itu ditegaskan Agustus 2010 dengan memorandum bertajuk ‘Political Reform in the Middle East and North Africa’, yang kemudian tersebar luas melalui the New Yorker, May 2011.
Benar, AS kemudian bersikap pragmatis dengan membiarkan Mursi digulingkan, manakala Mursi kebelet mengusung konstitusi Islam dan membuat Gedung Putih kesal. Tetapi sikap AS itu tak mampu menawarkan Saudi yang keburu sewot.
Kedua, penolakan AS pada usulan Saudi untuk mendukung kelompok Islam garis keras yang disokongnya memerangi pemerintahan Bashar Assad, saat Assad dituding menggunakan gas beracun, kian membuat kepala Arab Saudi panas. Padahal, Saudi yakin, itulah saat yang tepat untuk menggebuk Assad.
Apalagi, Erdogan pun kemudian berdekat-dekat dengan Ikhwanul Muslimin, kelompok yang sejak lama dibenci Saudi. Ikhwan dibenci sebagai organisasi yang selalu menghalangi upaya pembentukan Pan Arabisme yang dibangun Saudi dengan Hosni Mubarak. Apalagi Ikhwanlah yang menggulingkan Mubarak.
Ketika Mursi digulingkan, Erdogan sigap merespons dengan menyayangkan hal itu. “Siapa di balik ini? Israel, dan kami memiliki bukti,” kata Erdogan di televisi nasional Turki. Ia juga mengkritik sejumlah negara Islam yang dinilainya telah mengkhianati Mesir dengan mendukung pemerintahan boneka militer negara itu.
Berseberangan dengan sikap Erdogan, Saudi tentu saja bergembira dengan jatuhnya Mursi. Kejatuhan itu, apalagi dengan kembali berkuasanya militer Mesir, menjamin kepentingan politik mereka di Timur Tengah.
Puncak kemarahan saudi kerjapada Erdogan tedi manakala PM Turki itu—seperti AS, justru mengunjungi Teheran pada 29 Januari lalu, dan mengucapkan selamat pada Presiden Rouhani yang baru terpilih.
Kian tersudut, Saudi beberapa pekan lalu akhirnya nekad memberi Ikhwanul Muslimin label sebagai organisasi teroris. Tujuan sebenarnya jelas tak hanya pernyataan permusuhan resmi kepada Ikhwan. Lebih dari itu, Saudi juga menegaskan sikap itu kepada Erdogan.
Hanya entah mengapa, meski dalam soal Mesir seharusnya Saudi tengah diuntungkan, negara Arab juga malah justru meradang. Itu terlihat saat Konferensi Tingkat Tinggi Liga arab di Kuwait, yang gerakhir Rabu (26/3/2014) lalu. Marah kepada Qatar yang tetap mendukung Ikhwan, delegasi Arab Saudi yang dipimpin Putra Mahkota pangeran Salman bin Abdel-aziz memilih walk-out dan langsung meninggalkan Kuwait, hanya beberapa saat usai KTT itu dibuka.
Apalagi, Erdogan pun kemudian berdekat-dekat dengan Ikhwanul Muslimin, kelompok yang sejak lama dibenci Saudi. Ikhwan dibenci sebagai organisasi yang selalu menghalangi upaya pembentukan Pan Arabisme yang dibangun Saudi dengan Hosni Mubarak. Apalagi Ikhwanlah yang menggulingkan Mubarak.
Ketika Mursi digulingkan, Erdogan sigap merespons dengan menyayangkan hal itu. “Siapa di balik ini? Israel, dan kami memiliki bukti,” kata Erdogan di televisi nasional Turki. Ia juga mengkritik sejumlah negara Islam yang dinilainya telah mengkhianati Mesir dengan mendukung pemerintahan boneka militer negara itu.
Berseberangan dengan sikap Erdogan, Saudi tentu saja bergembira dengan jatuhnya Mursi. Kejatuhan itu, apalagi dengan kembali berkuasanya militer Mesir, menjamin kepentingan politik mereka di Timur Tengah.
Puncak kemarahan saudi kerjapada Erdogan tedi manakala PM Turki itu—seperti AS, justru mengunjungi Teheran pada 29 Januari lalu, dan mengucapkan selamat pada Presiden Rouhani yang baru terpilih.
Kian tersudut, Saudi beberapa pekan lalu akhirnya nekad memberi Ikhwanul Muslimin label sebagai organisasi teroris. Tujuan sebenarnya jelas tak hanya pernyataan permusuhan resmi kepada Ikhwan. Lebih dari itu, Saudi juga menegaskan sikap itu kepada Erdogan.
Hanya entah mengapa, meski dalam soal Mesir seharusnya Saudi tengah diuntungkan, negara Arab juga malah justru meradang. Itu terlihat saat Konferensi Tingkat Tinggi Liga arab di Kuwait, yang gerakhir Rabu (26/3/2014) lalu. Marah kepada Qatar yang tetap mendukung Ikhwan, delegasi Arab Saudi yang dipimpin Putra Mahkota pangeran Salman bin Abdel-aziz memilih walk-out dan langsung meninggalkan Kuwait, hanya beberapa saat usai KTT itu dibuka.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar