Ini mungkin hanya cerita kecil bagaimana seorang pemimpin sebuah partai berlebel dakwah memperlakukan kadernya. Bagi saya yang bukan pengurus teras partai, hanya kader simpatisan biasa, hanya bisa terkejut dan bicara dalam hati, “kok bisa ya?”.
Saat itu tanggal 22 Maret 2014 para kader sibuk mensukseskan acara kampanye terbuka yang dihadiri 5000 kader dan simpatisan PKS. Begitu juga dengan saya, meskipun saya hanya panitia teknis yang diminta membantu update media, sayapun mondar mandir mencari momen-momen yang menarik. Bisa di bayangkan dengan massa yang lebih dari 5000 ribu itu memenuhi lapangan Sampangan seluas lapangan bola. Hampir semua panitia sibuk begitu juga dengan para pimpinan partai sedang menyiapkan acara dan orasi.
Satu hal yang membuat panitia menjadi sangat sibuk adalah menetralkan lokasi kampanye dari anak-anak. Sudah hal biasa apabila ada acara PKS, para kader dan simpatisan membawa serta anak-anaknya. Maklum PKS adalah partai keluarga, Suami dan istri biasanya semua kader sehingga anaknya pun akhirnya di ajak jika ada acara partai. Khusus untuk kampanye terbuka sesuai dengan peraturan KPU, Partai melarang melibatkan anak di lokasi kampanye, sehingga panitia sangat sibuk menetralisir lokasi karena bisa terancam sangsi. Berulang-ulang pembawa acara menyerukan kepada panitia dan relawan untuk mengajak anak ke pinggir lapangan, dan sudah di prediksikan memang sulit karena massa memang banyak.
Di tengah kesibukan itu, ada seorang ustad dengan wajah khawatir memanggil saya, “Akhi….!” Panggilnya. Akhi adalah bahasa arab yang berarti “Saudara” dan di PKS Akhi adalah panggilan akrab untuk para kader-kadernya. Sayapun bergegas menemui beliau, rasanya tidak ada seorang kaderpun di Kota Semarang ini kalau beliau yang memanggil tidak segera mendatanginya, bukan karena takut namun karena rasa hormat.
“Ada apa ustad?” Jawab saya sambil mendekat. Kemudian beliau berbicara kepada saya namun tidak terdengar karena suara sangat bising, acara kampanye terbuka sudah dimulai. “maaf ustad tidak kedengaran, ada apa tad?” ucap saya mengulangi pertanyaan. “Anak, anak bagaimana?” Tanya beliau sambil mendekat dan dengan ekspresi khawatir sangat terlihat di wajahnya. “o…iya tadz sudah kami netralisir kok, teman-teman sudah berusaha, diluar juga sudah di sediakan tempat penitipan anak” Jawab saya. Karena berulang kali pembawa acara mengingatkan agar anak tidak masuk ke lapangan, sangat wajar apabila beliau juga menanyakan langsung kepada panitia di lapangan bagaimana mengatasi anak yang masuk kelapangan, mungkin beliau khawatir terkena sanksi Panwas, pikir saya.
“Bukan, anak, anak?” Beliau mengulangi pertanyaan. Saya berfikir Ustad mungkin tidak mendengar jawaban saya tadi karena memang sangat bising sehingga saya ulangi jawaban yang sama, “Iya tad, sudah bisa tertangani insyaallah, di lapangan akan di netralisir” Jawab saya.
Namun rupanya bukan itu yang beliau tanyakan, “Bukan…., Anak antum bagaimana kabarnya, katanya kemarin habis kontrol mata di Jogja? hasilnya bagaimana?”. Saya sendiri sangat heran, kenapa di tengah kesibukan seperti ini, justru pertanyaan pertama bukan tugas kepanitiaan namun adalah kabar keluarga, bahkan saya tidak pernah terpikir akan muncul pertanyaan itu melihat ekspresi beliau yang sepertinya khawatir, hal yang darurat saat itu yang layak di khawatirkan adalah anak-anak yang mulai memasuki area kampanye.
Memang, dua hari yang lalu saya ijin rapat karena harus kontrol Mata ke RS YAP Jogja setelah1,5 tahun yang lalu operasi, rupanya beliau ingat dan menanyakan langsung kepada saya di lapangan kampanye terbuka. Dengan perasaan agak keheranan saya menjawab, “iya ustad, alhamdulillah sudah baik, pangestunipun” Jawabsaya, kemudian beliau menepuk punggung saya dan mengatakan “Alhamdulillah, Alhamdulillah”. Beliau adalah orang kedua yang menanyakan kondisi Anak saya setelah Ibu saya sendiri.
Itulah ustad Zubair Safawi, memperhatikan kadernya satu-persatu. Beliau sebenarnya mengenal saya belumlah lama, hanya saat pemilu ini saya di minta bantu beliau menjadi tim sukses. Pikir saya, siapa sih saya, kader biasa yang tidak masuk dalam pejabat teras, sedangkan beliau adalah Anggota Dewan DPR RI dan pejabat tinggi di DPP, ternyata beliau ingat dan memperhatikan persoalan keluarga kadernya.
Dengan sikap inilah yang membuat beliau sangat di hormati para kadernya. Tidak ada satupun yang tidak mengenal beliau. Dakwahnya membumi dan mengakar hingga sekarang seperti tumbuhan yang akan sulit tercabut.
Dan ternyata bukan hanya beliau, Istri beliau, Ibu Dyah rupanya juga memiliki kebiasaan khusus selepas magrib. Beliau buka data kader dan binaan lengkap dengan “cucu” dan “cicit” ideologisnya, kemudian beliau baca satu persatu dan mendoakannya masing-masing.
Bersama merekalahpara qiyadah yang memiliki mental seorang pemimpin yang mencintai kader-kadernya dengan hati. Dengan inilah dakwah bisa berkembang tanpa batas tanpa ada yang mampu menghalangi. Semoga Allah memberikan rahmat kepada para Qiyadah-qiyadar PKS yang telah berjuang dengan hati dan tulus ikhlas.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar