Bismillah …
Tadi malam saya di-mention oleh seorang sahabat yang tidak setuju dengan kuliah twitter (kultwit) pemilik akun twitter @penikhairunnisa. Kultwit dari @penikhairunnisa tersebut berjudul: “Sesungguhnya Rasulullah Juga Tidak Mendukung Poligami” dengan dihiasi tagar #TolakPartaiPoligami.
Memang dalam seminggu ini secara sporadis setiap hari di dunia twitter (twitter land) dibanjiri kampanye #TolakPartaiPoligami. Landasan dasar penolakan yang mereka sampaikan sebenarnya sangat lemah. Terlihat sekali kalau mereka memang tidak memahami hukum Islam dengan baik. Apalagi koordinator kampanye #TolakPartaiPoligami adalah akun anonim beragama anonim yang sering menyerang hukum Islam [Twit 1], lebih parah lagi mereka juga memanipulasi (mengedit) grafik Indeks Partai Korupsi, sehingga PKS yang aslinya berada pada urutan buncit menjadi 3 besar jawara korupsi [Twit 2]. Anda pasti tahu maksud dan tujuan kampanye tersebut menjelang Pemilu 2014 ini.
Dalam jurnal ini, saya tidak membahas kampanye #TolakPartaiPoligami yang sepertinya sudah kehilangan akal sehat, namun saya akan fokuskan untuk merespon isi kultwit dari @penikhairunnisa.
Peni Khairunnisa menulis:
Memang kalau dilihat dalam konteks sejarah dan membaca teks Al-Qur’an seakan-akan ada pembenaran dengan poligami. Dalam sejarah, memang benar ada praktek nabi berpoligami. Namun, sebenarnya beliau tidak mendukung akan poligami tsb. Walaupun dilihat secara kasat mata, Beliau melaksanakan poligami. Namun sebetulnya Beliau tidak setuju akan hal tersebut.
Tanggapan saya:
Luar biasa Peni ini begitu beraninya mengingkari apa yang Allah dan Rasul-nya tetapkan. Tidak takutkah dengan peringatan Allah pada ayat ini?
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah tersesat, sesat yang nyata.” [QS Al-Ahzab: 33-36].
Peni Khairunnisa menulis:
Di Alquran sendiripun dalam QS.Annisa’ ayat 129 mengatakan: “Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cinta, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Kalau kita mencermati QS. Annisa’ 2-3 dan Qs. Annisa’ 129 terdapat pertentangan disini. Yang satu menyuruh poligami, tapi harus adil. Dan Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa suami tidak akan bisa berlaku adil. Berarti secara tidak langsung ayat tersebut mengajurkan untuk monogami saja.
Tanggapan saya:
Biasanya ayat itu seringkali dijadikan senjata andalan pertama bagi siapa saja yang menentang poligami. Padahal yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” dalam QS An-Nisaa’ ayat 129 adalah bahwa kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecenderungan hati, ketertarikan dan berhubungan intim. Karena para ulama dan ahli tafsir seperti Imam asy-Syafi’i, Imam al-Bukhari, Imam al-Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam Ibnu Katsir telah sepakat, bahwa menyamakan yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya.
Sedangkan sikap “adil” dalam poligami yang dimaksud dalam QS An-Nisaa’ ayat 2-3, yaitu adil / tidak berat sebelah dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka serta semua hal yang manusia masih mampu melakukannya. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya, yang ini jelas di luar kemampuan manusia, dan orang di luar pun sulit menilai atau mengukurnya.
Untuk lebih jelasnya silakan simak “[Dialog] Perlukah Menolak Hukum Poligami?” pada bagian: Prinsip Sikap “Adil” Dalam Berpoligami.
Peni Khairunnisa menulis:
Lantas bagaimana dengan Rasulullah sendiri?
Kebanyakan mereka yang berpoligami mengatakan bahwa poligami adalah sunnah Nabi. Benarkah demikian?
Alasan jika memang dianggap sunnah, mengapa justru Nabi tidak melakukannya hal tsb pertama kali dalam berumah tangga?
Realitanya, Nabi sepanjang hayatnya lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Rumah tangga Nabi bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwailid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itupun Beliau jalani hanya sekitar 8 tahun dari sisa hidup Beliau.
Tanggapan saya:
Betul, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam lebih lama bermonogami daripada berpoligami, dan beliau menjalani poligami hanya sekitar 8 tahun dari sisa hidup beliau.
Namun demikian, yang perlu dipahami bahwa poligami bukanlah syariat wajib, juga tidak bisa disunahkan atau diharamkan. Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah alias mubah / boleh dilakukan dan boleh tidak; atau istihbaab atau dianjurkan. Untuk memahami hikmah poligaminya Rasulullah silakan simak: “[Dialog] Tuduhan di Seputar Poligami Rasulullah“. Jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak mengharamkan, lalu siapalah kita? Kalau betul Anda seorang muslimah, seharusnya para ummul mukminin adalah panutan Anda, dan kita semua. Akankah kita turut menghujat apa yang mereka lakukan?
Peni Khairunnisa menulis:
Melihat kenyataan dari lain kasus bahwa Nabi melarang menantu Beliau, Ali bin Abi Thalib RA, melakukan poligami. Nabi Muhammad marah besar ketika mendengar putri Beliau, Fatimah binti Muhammad SAW,akan dipoligami Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Nabi langsung menuju masjid dan naik mimbar, lalu berseru, “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah. putriku itu bagian dariku, apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, -apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jami’al-Ushul, juz XII, 162, Nomor hadits:9026)
“Inni la adzan, tsumma la adzan, tsumma la adzan, illa an ahabba ibn Abi Thalib an yuthalliq ibnati, -Fathimah bidh’atun minni, yuribuni ma arabaha wayu’dzini ma adzaha”.
Bahkan Sampai tiga kali ditegaskan oleh Rasulullah penolakannya tersebut. Seperti yang dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan dan juga menyakiti hati orang tuanya!!!
Jika pernyataan Nabi diatas dijadikan dasar, maka yang sunah yg sesungguhnya itu adalah tidak mempraktekkan poligami. Dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib RA tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat. Dari penjelasan tersebut secara tidak langsung bahwa rasulullah juga menolak akan poligami. Karena beliau punya anak perempuan yang tidak ingin disakiti oleh lelaki siapapun.
Tanggapan saya:
Riwayat yang disampaikan Peni di atas sering dijadikan senjata andalan kedua bagi mereka penolak / penggugat hukum poligami. Biasanya mereka bilang: “Rasulullaah saja melarang Ali memadu Fathimah, apalagi kita.”
Bagi saya, tidak mungkin lelaki terbaik sepanjang jaman yang nama dan teladannya ditorehkan di dalam Al-Qur’an dengan seenaknya melarang / mengharamkan menantunya mengamalkan salah satu hal yang dihalalkan oleh Allah, hanya dengan bekal alasan “sayang anak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengistimewakan putri-putri beliau atas muslimah yang lain, seperti diriwayatkan sebagai berikut:
Kata Al-Athtar: “Tidak didapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Beliau mengkhususkan Fatimah dengan hukum-hukum tertentu untuknya. Justru yang nyata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Beliau memperlakukan Fatimah sebagaimana Umat Islam lainnya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Demi yg memegang jiwaku, sekalipun Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya” [HR Muslim]
Kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meng-khusus-kan (mengecualikan) hukum Allah, maka begitu pula sikapnya ketika putrinya mau dimadu. Dan sebenarnya inilah kronologis peristiwa lengkapnya.
Diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ia berada di atas mimbar: “Sesungguhnya Bani Hasyim bin al Mughirah minta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, kemudian (tsumma) Saya tidak mengizinkan, kemudian (tsumma) Saya tidak mengizinkan, kecuali putra Abi Thalib menceraikan Putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dari diriku, mencemaskanku apa yang mencemaskannya dan menyakitiku apa yg menyakitinya” [HR Bukhari]
Potongan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda di atas mimbar ini sering dijadikan andalan sebagai alasan untuk menolak poligami. Padahal, perhatikan riwayat selanjutnya, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih melanjutkan sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan putri musuh Allah selamanya.” [HR Bukhari: 3110 dan Shahih Muslim: 2449]
Lihatlah generasi penerus penentang hukum Allah yang menampilkah hadits andalannya itu hanya sepotong saja, entah sengaja mempermainkan agar sesuai dengan tujuannya atau karena belum tahu, sehingga seakan-akan masalahnya hanyalah sekedar Rasulullah melarang Fathimah dimadu. Padahal jika kita lihat hadits-nya secara lengkap, masalah sebenarnya sepertinya jauh lebih dalam dari itu.
Lanjutan redaksi hadits tersebut sangat jelas: tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Jadi sebenarnya, hubungan antara calon madu dengan Abu Jahal inilah yang menjadi pertimbangan penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Jahal adalah seorang penentang hukum Allah yang kejam dan licik.
Tetapi mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan anaknya dimadu bersama anak musuh Allah? Bukankan anak musuh Allah itu sendiri sudah memeluk Islam. Ini jawab beliau:
Diriwayatkan dari Zuhri, bahwa Nabi bersabda: “Saya khawatir akan terfitnah (rusak) agamanya” [Ibnu Hajar]
Siapa yang menjamin bila Ali radiallahu ‘anhu menikah dengan seorang mualaf anaknya Abu Jahal itu kelak bakal aman-aman saja? Selama sikap Abu Jahal saat itu masih bengis atau jahat memusuhi umat Islam, maka wajar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam ada perasaan kuatir terhadap Abu Jahal yang berpotensi melakukan infiltrasi melalui rumah tangga Ali radiallahu ‘anhu.
Maka jelaslah, bahwa bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perkara fitnah agama adalah perkara terpenting melebihi cacat badan, hilangnya nyawa sendiri ataupun orang yang dicintai. Ini menjadi bagian dari pendidikan parenting, bagaimana kepedulian seorang ayah terhadap kualitas iman anaknya. Oleh karena itu Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam bab “kasih sayang orang tua kepada anak”.
Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu tetap monogami hingga Fatimah wafat. Namun, perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Ali radiallahu ‘anhu sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho'il Ash-Shohabah no.889]. Ini menunjukkan bahwa poligami juga dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi jangan tertipu oleh penolak syariah poligami yang berkata: “Jadi boleh saja menolak syari’ah demi perasaan, toh Rasulullah mencontohkan demikian.”
Na’udzubillahi min dzalik.
Adalah sangat tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan imannya hanya karena alasan sesempit itu. Ini semua demi kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Allah subhanahu wa ta’ala semata. Seluruh hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijalani dengan iman, setiap keputusannya dilandasi oleh iman. Semoga kita tidak termasuk mereka yang meyakini bahwa satu saja keputusan beliau hanya dilandasi oleh perasaan, karena sungguh sikap ini merendahkan kedudukan beliau sebagai “teladan yang baik sepanjang masa”.
Demikianlah …
Buat para aktivis #TolakPartaiPoligami … sudahlah, Anda jangan melakukan hal-hal yang absurd sehingga memperkosa ayat-ayat suci dan hadits demi tercapainya tujuan kalian. Tidak ada hubungannya antara korupsi dengan poligami. Coba jujur saja, berapa persen kerugian negara yang dilakukan oleh koruptor yang berpoligami? Saya telah menghitungnya, hasilnya jauh sediiiiiikit sekali dibandingkan koruptor yang monogami.
Bukan poligami nya yang patut menjadi kambing hitam. Poligami atau pun monogami, tak menutup kemungkinan terjadi hal baik atau pun buruk. Nyatanya dalam pernikahan monogami, juga banyak kasus yang berakhir tidak bahagia. Jadi masalahnya bukan soal mono atau poli-nya, tapi … soal sikap tanggungjawab pelakunya. Perbuatan dan perilaku individu tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran bahwa praktek poligami itu buruk dan harus ditolak.
Justru yang harus kalian pahami, wahai aktivis penyeru #TolakPartaiPoligami … bahwa kalau seorang laki-laki yang berpoligami mampu mengelola dengan baik istri-istrinya sehingga bahagia lahir dan batin, di wilayah dalam melahirkan keturunan-keturunan yang sholeh/shalihah dan unggul, kemudian di wilayah luar mampu mengelola organisasi yang sangat besar dan terbukti solid, maka kualitas kepemimpinan laki-laki tersebut telah teruji dengan baik, integritasnya telah teruji dengan baik. Ada banyak contoh success story pengisi sejarah nasional negeri ini yang mudah kalian temukan, salah satu contohnya: KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi massa Islam besar di negeri ini.
Poligami sifatnya tidaklah memaksa. Oleh karena itu, tidak perlu diikuti dengan menolak atau menggugat hukum poligami. Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak hukum poligami.
Wallahu ‘alam bish shawab.(Iwan Yuliyanto)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar