Bukti-bukti kehancuran bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sudah begitu nyata dan dirasakan seluruh lapisan bangsa Indonesia. Bahwa sistem politik melalui Pilkada (Pemilihan kepala daerah, langsung), bupati, walikota dan gubernur, terbukti menjadi alat penggerus masa depan bangsa dan NKRI.
Rakyat Indonesia lebih 90%, hakikatnya tidak siap dengan konsekuensi Pilkada. Jangan bandingkan rakyat AS yang berpendapatan 50.000 dollar AS/tahun, sehingga siap memilih presiden secara langsung. Kepala daerah di AS pun ternyata tidak dipilih secara langsung. Di Indonesia berlebihan, kepala daerah dipilih melalui Pilkada langsung dan mengakibatkan politik sogok secara massif, juga ekses anarkhisme, sekaligus jauh panggang dari api mengharapkan Sang Kepala Daerah yang terpilih akan membangun daerahnya. Alih-alih bupati, walikota, dan gubernur membangun daerah yang dipimpinnya, yang terjadi lebih 65% kepala daerah saat ini mengidap kasus hukum : ada yang sudah masuk penjara, ada yang dalam proses pengadilan, dan ada yang sedang dalam proses penyidikan.
Betapa bergidik membayangkan kini bupati dan walikota di seluruh Indonesia berjumlah hampir 600 orang meningkat hampir dua kali lipat di era orde baru yang hanya 360-an orang. Penerapan otonomi daerah yang menempatkan posisi bupati dan walikota bak raja kecil di wilayahnya, menjadikan jabatan itu diperebutkan habis-habisan dengan segala cara. Hasilnya sungguh mengerikan yakni perilaku sogok yang total melibatkan semua orang, dimulai calon kepala daerah menyogok partai politik untuk membayar mahar pencalonan dirinya, konspirasi dengan pengusaha untuk membiayai pencalonannya termasuk membiayai kampanye Pilkada, dengan imbalan kelak dibayar dengan proyek-proyek strategis, diteruskan menyogok rakyat untuk memilih dirinya. Pasca Pilkada diteruskan sogok-menyogok lanjutan, di antaranya membayar massa untuk mendemo calon yang menang dan dianggap curang, membayar KPUD, Panwaslu, dan puncaknya menyogok hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Belum lagi diperhitungkan ekses kekerasan menyertai Pilkada, yang selalu muncul dengan bentrok horizontal antar pendukung yang selalu terjadi di setiap Pilkada. Tindak anarkhistis pun terjadi dengan membakar gedung kantor bupati, toko-toko, seperti terjadi di Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan seterusnya.
Kocek Negara bertriliun-triliun rupiah pun amblas sia-sia membiayai Pilkada di seluruh Indonesia. Hasilnya nihil alias nol besar. Fakta seperti ini dilihat siapa saja di semua daerah di seluruh Indonesia. Bupati tidak membangun daerahnya sama sekali, bahkan tidak merawat fasilitas, infrastruktur, seperti jalan, jembatan yang sudah ada dan dibiarkan semakin hancur di mana-mana. Sebaliknyanya APBD, dan dana hibah, digerogoti sang bupati, untuk kampanye dan menebar pesona. Pers tidak pernah memuat detail fakta kebobrokan ini. Tapi sewaktu kasus sogok Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar terbongkar juga terkait adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah yang juga diduga terlibat, maka pers pun membongkar habis-habisan perilaku gubernur Banten yang diduga korup beserta keluarga besarnya. Profil korup pemerintah daerah Banten ini hakikatnya berlaku di seluruh daerah dengan kadar-volume beragam. Bayangkan daerah sangat miskin Lebak saja hendak dijarah oleh adik Gubernur Atut yang superkaya, dengan koleksi mobil mewah belasan buah bernilai ratusan milyar rupiah. Terbayang, suatu hari adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan melintas ke desa-desa di Rangkasbitung Lebak mengendarai Lamborghini yang harganya 12 milyar, sementara orang-orang yang di lewatinya di Lebak, kondisi nasibnya ada yang makan saja hanya bisa dua kali sehari.
Tokoh yang pertamakali ‘nyadar’ akan bahaya Pilkada langsung ini, adalah KH. Hasyim Muzadi saat ia masih menjabat sebagai Ketua PBNU, “Hentikan saja Pilkada langsung ini, dan dikembalikan ke model lama bupati-walikota dipilih oleh DPRD!” ujarnya tegas. Ide ini tidak ada yang menanggapi negatif apalagi menentangnya. Kenapa ? Karena semua orang juga sudah ‘nyadar’ pula hakikatnya Pilkada langsung sangat membahayakan kehidupan dan masa depan bangsa Indonesia. Tapi mengapa pula ide tersebut oleh pihak-pihak yang berkompeten, mulai politisi, penguasa, bahkan tokoh yang dianggap negarawan, tidak pernah direspons secara kongkrit ? Jawabannya sangat sederhana, yakni pihak-pihak yang berkompeten itu justru berkepentingan agar Pilkada langsung itu tetap dipertahankan. Mereka ikut ‘menikmati’ model sogok Pilkada ini. Dengan kata lain, para anggota DPR, DPRD, pejabat dari tingkat kroco sampai tingkat tinggi, sama-sama menikmati sebagaimana yang dinikmati Ketua MK, Akil Mochtar. Dengan kata yang lebih lugas, mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Akil Mochtar. Karena itu kaum politisi itu justru ingin terus mempertahankan Pilkada langsung ini. Mereka tidak peduli Negara dan bangsa Indonesia dibuat hancur jika sistem itu diteruskan. Ada yang mengatakan apa yang menimpa Akil Mochtar karena Akil tertimpa ‘apes’ saja, karena hakikatnya semua pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, tak terkecuali kini pelaku korupsi, sehingga mengubah istilah Trias Politika menjadi Trias Koruptika.
Kini mengikuti pendirian KH. Hasyim Muzadi bahwa Pilkada langsung harus segera dihentikan diganti model lama, mulai disuarakan tokoh, seperti Yusril Ihza Mahendra, dan tak kurang bekas Ketua Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif-- walau terselip keraguan Syafii pula-- jangan-jangan DPRD yang diberi wewenang memilih bupati ganti dijadikan sasaran sogokan. Pernyataan seperti ini sejatinya, koreksi yang malu-malu bahwa Pilkada langsung niscaya tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sebelumnya angin reformasi dianggap sebagai jawaban bagi masa depan Indonesia jika diterapkan model demokrasi ala Amerika Serikat. Lalu segala apa saja sistem yang diterapkan di Amerika Serikat ingin diterapkan di Indonesia, seperti sistem politik yang kapitalistik-liberalistik itu. Kini setelah terbukti sistem yang diadopsinya itu justru membawa kehancuran bagi NKRI, terpaksa mengakui sistem yang sebelumnya dianut rezim orde baru justru lebih tepat diterapkan di Indonesia.
Sejak awal model politik reformasi dengan mengubah UUD 1945 dengan empat kali amandemennya itu, tabloid ini sudah sangat gencar mengingatkan rejim reformasi tidak menyadari semua sistem yang dianutnya hakikatnya merupakan penerapan Kolonialisme Gaya Baru Barat dengan bungkus reformasi, globalisasi, dan demokratisasi, serta HAM. Rejim demi rejim reformasi silih berganti, mulai Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sampai dua periode, yang terbukti setiap rejim tidak membawa kemasylahatan bagi NKRI, malah sebaliknya semakin memperpuruk negeri ini bagai tanpa masa depan dengan hutang NKRI begitu besarnya tak tertanggungkan dan harus “dinikmati” anak-cucu Tujuh Turunan. Perlu diingat pula bahwa senjata handal Barat untuk mempertahankan Kolonialisme Gaya Baru itu, adalah memaksakan NKRI harus terus membuat hutang-hutang baru yang menjadikan semakin tergantung kepada Barat, dan Barat pun terus-menerus mengeksploitir bahkan menjarah harta rakyat Indonesia dengan leluasa.
Adalah SBY yang pada awal-awal pemerintahannya belum genap setahun pada September 2005 dengan lantang berpidato :”Pengurangan hutang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan riil, tak hanya Negara Kurang Berkembang, tetapi juga bagi Negara Berkembang berpenghasilan menengah!” Dermikian dengan gagah berani SBY berpidato di forum Financing for Development New York. Seolah-olah dengan berani SBY hendak membendung pemaksaan hutang Barat yang hakikatnya akan menjadi alat pemeras Barat bagi bangsa Indonesia. Namun janji SBY akan menolak hutang itu ternyata justru terjadi sebaliknya.
Di era SBY ini hutang Indonesia justru digenjot habis-habisan, menteri ekonomi beraliran Barkeley, yang liberal malah diangkat. Hutang-hutang baru pun terus dibuat, termasuk dari dalam negeri seperti melalui Sertifikat BI, SUN dan seterusnya, dengan berbagai macam alasan. Malah hutang-hutang baru itu dibuat dengan jangka pembayaran pendek dengan bunga sangat tinggi. Hutang yang telah dibukukan rejim SBY niscaya tercatat mencapai record tertinggi di antara rejim yang pernah berkuasa di negeri ini. Hanya di masa pemerintahannya saja, SBY tercatat menambah hutang negeri ini sebesar Rp 724,22 Triliun sampai dengan Juni 2013, sehingga total hutang NKRI berjumlah Rp 2.156 triliun, belum lagi hutang-hutang baru yang sudah dijanjikan tetapi belum cair sampai sekarang.
Inilah warisan hutang rejim SBY yang luar biasa besar, dan niscaya akan menjadi beban rejim pemerintah, juga bagi anak-cucu tujuh turunan di masa yang akan datang. Di tengah warisan hutang dan ekonomi ‘jeblog’ seperti ini terbayang lebih gelap lagi jika sistem politik, di antaranya melalui Pilkada langsung yang amat merusak ini tidak segera dihapuskan dan diganti total. Hakikatnya semua sistem politik dan ekonomi di negeri ini yang jelas-jelas hanya mengadopsi total model Amerika Serikat mutlak dihapuskan juga secara total tanpa kecuali. Jika sudah demikian, bolehlah kita berharap cita-cita keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia bisa tercapai.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Rakyat Indonesia lebih 90%, hakikatnya tidak siap dengan konsekuensi Pilkada. Jangan bandingkan rakyat AS yang berpendapatan 50.000 dollar AS/tahun, sehingga siap memilih presiden secara langsung. Kepala daerah di AS pun ternyata tidak dipilih secara langsung. Di Indonesia berlebihan, kepala daerah dipilih melalui Pilkada langsung dan mengakibatkan politik sogok secara massif, juga ekses anarkhisme, sekaligus jauh panggang dari api mengharapkan Sang Kepala Daerah yang terpilih akan membangun daerahnya. Alih-alih bupati, walikota, dan gubernur membangun daerah yang dipimpinnya, yang terjadi lebih 65% kepala daerah saat ini mengidap kasus hukum : ada yang sudah masuk penjara, ada yang dalam proses pengadilan, dan ada yang sedang dalam proses penyidikan.
Betapa bergidik membayangkan kini bupati dan walikota di seluruh Indonesia berjumlah hampir 600 orang meningkat hampir dua kali lipat di era orde baru yang hanya 360-an orang. Penerapan otonomi daerah yang menempatkan posisi bupati dan walikota bak raja kecil di wilayahnya, menjadikan jabatan itu diperebutkan habis-habisan dengan segala cara. Hasilnya sungguh mengerikan yakni perilaku sogok yang total melibatkan semua orang, dimulai calon kepala daerah menyogok partai politik untuk membayar mahar pencalonan dirinya, konspirasi dengan pengusaha untuk membiayai pencalonannya termasuk membiayai kampanye Pilkada, dengan imbalan kelak dibayar dengan proyek-proyek strategis, diteruskan menyogok rakyat untuk memilih dirinya. Pasca Pilkada diteruskan sogok-menyogok lanjutan, di antaranya membayar massa untuk mendemo calon yang menang dan dianggap curang, membayar KPUD, Panwaslu, dan puncaknya menyogok hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Belum lagi diperhitungkan ekses kekerasan menyertai Pilkada, yang selalu muncul dengan bentrok horizontal antar pendukung yang selalu terjadi di setiap Pilkada. Tindak anarkhistis pun terjadi dengan membakar gedung kantor bupati, toko-toko, seperti terjadi di Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan seterusnya.
Kocek Negara bertriliun-triliun rupiah pun amblas sia-sia membiayai Pilkada di seluruh Indonesia. Hasilnya nihil alias nol besar. Fakta seperti ini dilihat siapa saja di semua daerah di seluruh Indonesia. Bupati tidak membangun daerahnya sama sekali, bahkan tidak merawat fasilitas, infrastruktur, seperti jalan, jembatan yang sudah ada dan dibiarkan semakin hancur di mana-mana. Sebaliknyanya APBD, dan dana hibah, digerogoti sang bupati, untuk kampanye dan menebar pesona. Pers tidak pernah memuat detail fakta kebobrokan ini. Tapi sewaktu kasus sogok Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar terbongkar juga terkait adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah yang juga diduga terlibat, maka pers pun membongkar habis-habisan perilaku gubernur Banten yang diduga korup beserta keluarga besarnya. Profil korup pemerintah daerah Banten ini hakikatnya berlaku di seluruh daerah dengan kadar-volume beragam. Bayangkan daerah sangat miskin Lebak saja hendak dijarah oleh adik Gubernur Atut yang superkaya, dengan koleksi mobil mewah belasan buah bernilai ratusan milyar rupiah. Terbayang, suatu hari adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan melintas ke desa-desa di Rangkasbitung Lebak mengendarai Lamborghini yang harganya 12 milyar, sementara orang-orang yang di lewatinya di Lebak, kondisi nasibnya ada yang makan saja hanya bisa dua kali sehari.
Tokoh yang pertamakali ‘nyadar’ akan bahaya Pilkada langsung ini, adalah KH. Hasyim Muzadi saat ia masih menjabat sebagai Ketua PBNU, “Hentikan saja Pilkada langsung ini, dan dikembalikan ke model lama bupati-walikota dipilih oleh DPRD!” ujarnya tegas. Ide ini tidak ada yang menanggapi negatif apalagi menentangnya. Kenapa ? Karena semua orang juga sudah ‘nyadar’ pula hakikatnya Pilkada langsung sangat membahayakan kehidupan dan masa depan bangsa Indonesia. Tapi mengapa pula ide tersebut oleh pihak-pihak yang berkompeten, mulai politisi, penguasa, bahkan tokoh yang dianggap negarawan, tidak pernah direspons secara kongkrit ? Jawabannya sangat sederhana, yakni pihak-pihak yang berkompeten itu justru berkepentingan agar Pilkada langsung itu tetap dipertahankan. Mereka ikut ‘menikmati’ model sogok Pilkada ini. Dengan kata lain, para anggota DPR, DPRD, pejabat dari tingkat kroco sampai tingkat tinggi, sama-sama menikmati sebagaimana yang dinikmati Ketua MK, Akil Mochtar. Dengan kata yang lebih lugas, mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Akil Mochtar. Karena itu kaum politisi itu justru ingin terus mempertahankan Pilkada langsung ini. Mereka tidak peduli Negara dan bangsa Indonesia dibuat hancur jika sistem itu diteruskan. Ada yang mengatakan apa yang menimpa Akil Mochtar karena Akil tertimpa ‘apes’ saja, karena hakikatnya semua pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, tak terkecuali kini pelaku korupsi, sehingga mengubah istilah Trias Politika menjadi Trias Koruptika.
Kini mengikuti pendirian KH. Hasyim Muzadi bahwa Pilkada langsung harus segera dihentikan diganti model lama, mulai disuarakan tokoh, seperti Yusril Ihza Mahendra, dan tak kurang bekas Ketua Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif-- walau terselip keraguan Syafii pula-- jangan-jangan DPRD yang diberi wewenang memilih bupati ganti dijadikan sasaran sogokan. Pernyataan seperti ini sejatinya, koreksi yang malu-malu bahwa Pilkada langsung niscaya tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sebelumnya angin reformasi dianggap sebagai jawaban bagi masa depan Indonesia jika diterapkan model demokrasi ala Amerika Serikat. Lalu segala apa saja sistem yang diterapkan di Amerika Serikat ingin diterapkan di Indonesia, seperti sistem politik yang kapitalistik-liberalistik itu. Kini setelah terbukti sistem yang diadopsinya itu justru membawa kehancuran bagi NKRI, terpaksa mengakui sistem yang sebelumnya dianut rezim orde baru justru lebih tepat diterapkan di Indonesia.
Sejak awal model politik reformasi dengan mengubah UUD 1945 dengan empat kali amandemennya itu, tabloid ini sudah sangat gencar mengingatkan rejim reformasi tidak menyadari semua sistem yang dianutnya hakikatnya merupakan penerapan Kolonialisme Gaya Baru Barat dengan bungkus reformasi, globalisasi, dan demokratisasi, serta HAM. Rejim demi rejim reformasi silih berganti, mulai Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sampai dua periode, yang terbukti setiap rejim tidak membawa kemasylahatan bagi NKRI, malah sebaliknya semakin memperpuruk negeri ini bagai tanpa masa depan dengan hutang NKRI begitu besarnya tak tertanggungkan dan harus “dinikmati” anak-cucu Tujuh Turunan. Perlu diingat pula bahwa senjata handal Barat untuk mempertahankan Kolonialisme Gaya Baru itu, adalah memaksakan NKRI harus terus membuat hutang-hutang baru yang menjadikan semakin tergantung kepada Barat, dan Barat pun terus-menerus mengeksploitir bahkan menjarah harta rakyat Indonesia dengan leluasa.
Adalah SBY yang pada awal-awal pemerintahannya belum genap setahun pada September 2005 dengan lantang berpidato :”Pengurangan hutang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan riil, tak hanya Negara Kurang Berkembang, tetapi juga bagi Negara Berkembang berpenghasilan menengah!” Dermikian dengan gagah berani SBY berpidato di forum Financing for Development New York. Seolah-olah dengan berani SBY hendak membendung pemaksaan hutang Barat yang hakikatnya akan menjadi alat pemeras Barat bagi bangsa Indonesia. Namun janji SBY akan menolak hutang itu ternyata justru terjadi sebaliknya.
Di era SBY ini hutang Indonesia justru digenjot habis-habisan, menteri ekonomi beraliran Barkeley, yang liberal malah diangkat. Hutang-hutang baru pun terus dibuat, termasuk dari dalam negeri seperti melalui Sertifikat BI, SUN dan seterusnya, dengan berbagai macam alasan. Malah hutang-hutang baru itu dibuat dengan jangka pembayaran pendek dengan bunga sangat tinggi. Hutang yang telah dibukukan rejim SBY niscaya tercatat mencapai record tertinggi di antara rejim yang pernah berkuasa di negeri ini. Hanya di masa pemerintahannya saja, SBY tercatat menambah hutang negeri ini sebesar Rp 724,22 Triliun sampai dengan Juni 2013, sehingga total hutang NKRI berjumlah Rp 2.156 triliun, belum lagi hutang-hutang baru yang sudah dijanjikan tetapi belum cair sampai sekarang.
Inilah warisan hutang rejim SBY yang luar biasa besar, dan niscaya akan menjadi beban rejim pemerintah, juga bagi anak-cucu tujuh turunan di masa yang akan datang. Di tengah warisan hutang dan ekonomi ‘jeblog’ seperti ini terbayang lebih gelap lagi jika sistem politik, di antaranya melalui Pilkada langsung yang amat merusak ini tidak segera dihapuskan dan diganti total. Hakikatnya semua sistem politik dan ekonomi di negeri ini yang jelas-jelas hanya mengadopsi total model Amerika Serikat mutlak dihapuskan juga secara total tanpa kecuali. Jika sudah demikian, bolehlah kita berharap cita-cita keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia bisa tercapai.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar