Hidup dengan orientasi dakwah akan membawa seseorang kepada anak
tangga anak tangga persoalan. Di mana setiap anak tangganya menunjukkan
sejauh mana level dari orang tersebut. Sebagaimana ketika ingin menempati
posisi yang lebih tinggi, tentu harus ada gerakan dan dorongan energi
lebih. Tanpa itu, kedudukan akan tetap, stagnan. Tiada perubahan.
Sesungguhnya, upaya untuk tetap naik dan meng-upgrade diri adalah sebuah tantangan bagi seorang da’i dalam membuktikan keberadaannya dalam dakwah. Tak sedikit kiranya, bagi beberapa orang, ada yang kuat menerima ujian-ujian tertentu, tapi juga rentan terhadap terpaan-terpaan tertentu. Padahal, apapun tingkatan persoalan yang dihadapi, tidak lain adalah fase-fase yang telah Allah siapkan guna membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Untuk itu, tak seyogyanya kita menjalani dakwah ini dengan dada yang sempit, sehingga ada prasangka-prasangka negatif dan pesimis ketika menemui suatu ujian tertenu. Sebaliknya, kita mesti menguatkan militansi kita dalam berdakwah.
Militansi itu tidak diukur dari tebalnya jenggot dan hitamnya dahi seorang ikhwan, atau dari lebarnya jilbab seorang akhwat. Bukan pula dilihat dari banyaknya amanah yang melengkapi curiculum vitae-nya. Bukan juga dirasa dari kerasnya takbir atau cemerlangnya gagasan ketika syuro dan diskusi. Karena militansi itu hanya dapat diukur dari ketulusan dan kejujuran dalam berjuang menjalankan amanah dakwahnya.
Ada sifat totalitas dan loyalitas pada dirinya. Itu disebabkan adanya ideologi yang kuat. Sehingga tak aneh apabila ia kuat dan tidak mencari-cari alasan, apalagi mengeluh saat berjuang. Ada kejernihan dan keteguhan pada keyakinan, pemikiran, dan sikapnya. Itu semata karena energi dakwahnya hanya karena-Nya. Sehingga tidak ada ‘topeng’ kemunafikan yang kian mengganggu, apalagi melemahkan dirinya.
Lebih jauh Ust. Rahmat Abdullah mengaitkan kata milintasi dengan konsep jiddiyah, kesungguhan. Sementara Motivator Mario Teguh menjelaskan kesungguhan itu dengan rumus “10+1”. Artinya, yang disebut sungguh-sungguh adalah mengoptimalkan kontribusi melebihi potensi yang dimiliki.
Rumus “10+1” adalah bukti, bahwa sudah semestinya perjuangan dan itu diiringi dengan nilai pembelajaran. Karena yang disebut kesungguhan adalah kontribusi utuh yang tidak hanya memberikan apa yang ia bisa atau sesuai kapasitasnya saja, tapi juga termasuk mengusahakan apa-apa yang mampu ia usahakan untuk mencapai mimpi besar yang telah ia yakini adanya.
Tentu dalam dakwah, ketika mimpi besarnya adalah membumikan Islam hingga mencapai kejayaan, namun sebelum adanya daya yang optimal, atau jika selama ini hanya memberikan kontribusi yang kita bisa-bisa saja, artinya kita belumlah sungguh-sungguh dalam berdakwah. Kenapa? Karena melakukan apa yang ‘hanya dibisa’ adalah hal yang biasa. Kenapa? Karena ia takut melewati ranah abu-abu yang berada di luar kemampuannya. Karena menguatirkan resiko secara berlebihan, ia akhirnya tidak berani mengambil tantangan. Karena tidak suka mengambil tantangan, dirinya akan flat, tidak berkembang, tidak berproses, tidak belajar untuk menjadi lebih baik.
Bagaimana mungkin, suatu mimpi besar bisa terwujud hanya dengan kontribusi yang biasa-biasa saja? ‘Biasa-biasa saja’ itu artinya seadanya. Kalau perjuangan dakwah sudah seadanya, apakah nantinya kita biarkan perjuangan ini menjadi mengada-ada atau ada-ada saja? Masya Allah…
Saudaraku, sampai kapan kita begini? Kemana militansi yang selama ini kita gaungkan? Kemana kesungguhan yang kerap kita katakan? Bukankah semakin besar ujian yang didapat, maka semakin tinggi pula level kasih sayang Allah kepada kita (QS. 29:2-3)? Bukankah kita yakin selalu ada pertolongan dari-Nya (QS. 47:7)? Bukankah kita tahu, bahwa Allah tidak menguji di luar kesanggupan kita (QS. 2:286)? Bukankah kita telah paham, bahwa muara perjuangan ini akan berakhir kepada surga-Nya (QS. 9:111)?
Lantas apa yang kita risaukan, Saudaraku? Sebenarnya apa yang membuat berat langkah kita? Lihatlah orang-orang sukses terdahulu. Di mana keberhasilan yang mereka dapatkan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kesuksesan bisa mereka dapatkan tidak lain karena mereka sungguh-sungguh dalam berjuang.
Rasulullah SAW, begitu sungguh-sungguh bermunajat pada Allah SWT hingga diriwayatkan kakinya sampai bengkak-bengkak. Nabi Nuh, bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah SWT membuat perahu. Perahu tersebut dibuat di atas gunung yang tinggi, sehingga mengharuskan Nabi Nuh naik-turun gunung. Nabi Ibrahim bersungguh-sungguh menghancurkan berhala, hingga dibakar dengan api. Nabi Adam dalam sebuah riwayat baru bertemu kembali dengan Hawa setelah mencari selama ratusan tahun. Siti Hajar baru mendapatkan air setelah bolak-balik dari Safa hingga Marwa sebanyak tujuh kali. Abu Bakar menahan sakit atas gigitan ular kala bersembunyi dengan Rasulullah SAW dari kejaran orang kafir saat hijrah. Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan begitu gigih dalam membukukan al-Qur’an. Ali bin Abi Thalib menghadapi kemelut politik di zamannya. Tidaklah mereka sedemikian berjuang, kecuali dengan bersungguh-sungguh. Dan tidaklah mereka bersungguh-sungguh, melainkan karena adanya keimanan yang telah terinternalisasi secara benar di diri mereka.
Betapa sejarah hanya dipenuhi orang-orang yang bersungguh-sungguh. Maka ada benarnya pepatah Arab yang mengatakan ”Man Jadda Wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan yang ia mau. Sementara dalam al-Qur’an pun, tercatat sifat-sifat kesungguhan yang dimiliki Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya. Allah SWT memiliki sifat sungguh-sungguh (QS. 21:16), malaikat juga bersungguh-sungguh (QS. 7:206), orang kafir bersungguh-sungguh (QS. 2:217), bahkan setan pun bersifat sungguh-sungguh (QS. 43:37).
Lalu bagaimana dengan kita, Saudaraku? Akankah perjuangan kita nantinya turut menggores bentuk peradaban, atau hanya lekang dimakan zaman? Semua tergantung dari kesungguhan kita.
Saudaraku, hidup ini berlalu sangat singkat dan dipenuhi dengan banyak pilihan. Maka sangat merugilah kita jika menjalani hidup yang sangat singkat ini dengan pilihan-pilihan yang salah. Pilihan untuk tidak sungguh-sungguh, pilihan untuk malas, pilihan untuk tidak amanah, ataupun pilihan untuk mundur dari dakwah
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Sesungguhnya, upaya untuk tetap naik dan meng-upgrade diri adalah sebuah tantangan bagi seorang da’i dalam membuktikan keberadaannya dalam dakwah. Tak sedikit kiranya, bagi beberapa orang, ada yang kuat menerima ujian-ujian tertentu, tapi juga rentan terhadap terpaan-terpaan tertentu. Padahal, apapun tingkatan persoalan yang dihadapi, tidak lain adalah fase-fase yang telah Allah siapkan guna membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Untuk itu, tak seyogyanya kita menjalani dakwah ini dengan dada yang sempit, sehingga ada prasangka-prasangka negatif dan pesimis ketika menemui suatu ujian tertenu. Sebaliknya, kita mesti menguatkan militansi kita dalam berdakwah.
Militansi itu tidak diukur dari tebalnya jenggot dan hitamnya dahi seorang ikhwan, atau dari lebarnya jilbab seorang akhwat. Bukan pula dilihat dari banyaknya amanah yang melengkapi curiculum vitae-nya. Bukan juga dirasa dari kerasnya takbir atau cemerlangnya gagasan ketika syuro dan diskusi. Karena militansi itu hanya dapat diukur dari ketulusan dan kejujuran dalam berjuang menjalankan amanah dakwahnya.
Ada sifat totalitas dan loyalitas pada dirinya. Itu disebabkan adanya ideologi yang kuat. Sehingga tak aneh apabila ia kuat dan tidak mencari-cari alasan, apalagi mengeluh saat berjuang. Ada kejernihan dan keteguhan pada keyakinan, pemikiran, dan sikapnya. Itu semata karena energi dakwahnya hanya karena-Nya. Sehingga tidak ada ‘topeng’ kemunafikan yang kian mengganggu, apalagi melemahkan dirinya.
Lebih jauh Ust. Rahmat Abdullah mengaitkan kata milintasi dengan konsep jiddiyah, kesungguhan. Sementara Motivator Mario Teguh menjelaskan kesungguhan itu dengan rumus “10+1”. Artinya, yang disebut sungguh-sungguh adalah mengoptimalkan kontribusi melebihi potensi yang dimiliki.
Rumus “10+1” adalah bukti, bahwa sudah semestinya perjuangan dan itu diiringi dengan nilai pembelajaran. Karena yang disebut kesungguhan adalah kontribusi utuh yang tidak hanya memberikan apa yang ia bisa atau sesuai kapasitasnya saja, tapi juga termasuk mengusahakan apa-apa yang mampu ia usahakan untuk mencapai mimpi besar yang telah ia yakini adanya.
Tentu dalam dakwah, ketika mimpi besarnya adalah membumikan Islam hingga mencapai kejayaan, namun sebelum adanya daya yang optimal, atau jika selama ini hanya memberikan kontribusi yang kita bisa-bisa saja, artinya kita belumlah sungguh-sungguh dalam berdakwah. Kenapa? Karena melakukan apa yang ‘hanya dibisa’ adalah hal yang biasa. Kenapa? Karena ia takut melewati ranah abu-abu yang berada di luar kemampuannya. Karena menguatirkan resiko secara berlebihan, ia akhirnya tidak berani mengambil tantangan. Karena tidak suka mengambil tantangan, dirinya akan flat, tidak berkembang, tidak berproses, tidak belajar untuk menjadi lebih baik.
Bagaimana mungkin, suatu mimpi besar bisa terwujud hanya dengan kontribusi yang biasa-biasa saja? ‘Biasa-biasa saja’ itu artinya seadanya. Kalau perjuangan dakwah sudah seadanya, apakah nantinya kita biarkan perjuangan ini menjadi mengada-ada atau ada-ada saja? Masya Allah…
Saudaraku, sampai kapan kita begini? Kemana militansi yang selama ini kita gaungkan? Kemana kesungguhan yang kerap kita katakan? Bukankah semakin besar ujian yang didapat, maka semakin tinggi pula level kasih sayang Allah kepada kita (QS. 29:2-3)? Bukankah kita yakin selalu ada pertolongan dari-Nya (QS. 47:7)? Bukankah kita tahu, bahwa Allah tidak menguji di luar kesanggupan kita (QS. 2:286)? Bukankah kita telah paham, bahwa muara perjuangan ini akan berakhir kepada surga-Nya (QS. 9:111)?
Lantas apa yang kita risaukan, Saudaraku? Sebenarnya apa yang membuat berat langkah kita? Lihatlah orang-orang sukses terdahulu. Di mana keberhasilan yang mereka dapatkan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kesuksesan bisa mereka dapatkan tidak lain karena mereka sungguh-sungguh dalam berjuang.
Rasulullah SAW, begitu sungguh-sungguh bermunajat pada Allah SWT hingga diriwayatkan kakinya sampai bengkak-bengkak. Nabi Nuh, bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah SWT membuat perahu. Perahu tersebut dibuat di atas gunung yang tinggi, sehingga mengharuskan Nabi Nuh naik-turun gunung. Nabi Ibrahim bersungguh-sungguh menghancurkan berhala, hingga dibakar dengan api. Nabi Adam dalam sebuah riwayat baru bertemu kembali dengan Hawa setelah mencari selama ratusan tahun. Siti Hajar baru mendapatkan air setelah bolak-balik dari Safa hingga Marwa sebanyak tujuh kali. Abu Bakar menahan sakit atas gigitan ular kala bersembunyi dengan Rasulullah SAW dari kejaran orang kafir saat hijrah. Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan begitu gigih dalam membukukan al-Qur’an. Ali bin Abi Thalib menghadapi kemelut politik di zamannya. Tidaklah mereka sedemikian berjuang, kecuali dengan bersungguh-sungguh. Dan tidaklah mereka bersungguh-sungguh, melainkan karena adanya keimanan yang telah terinternalisasi secara benar di diri mereka.
Betapa sejarah hanya dipenuhi orang-orang yang bersungguh-sungguh. Maka ada benarnya pepatah Arab yang mengatakan ”Man Jadda Wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan yang ia mau. Sementara dalam al-Qur’an pun, tercatat sifat-sifat kesungguhan yang dimiliki Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya. Allah SWT memiliki sifat sungguh-sungguh (QS. 21:16), malaikat juga bersungguh-sungguh (QS. 7:206), orang kafir bersungguh-sungguh (QS. 2:217), bahkan setan pun bersifat sungguh-sungguh (QS. 43:37).
Lalu bagaimana dengan kita, Saudaraku? Akankah perjuangan kita nantinya turut menggores bentuk peradaban, atau hanya lekang dimakan zaman? Semua tergantung dari kesungguhan kita.
Saudaraku, hidup ini berlalu sangat singkat dan dipenuhi dengan banyak pilihan. Maka sangat merugilah kita jika menjalani hidup yang sangat singkat ini dengan pilihan-pilihan yang salah. Pilihan untuk tidak sungguh-sungguh, pilihan untuk malas, pilihan untuk tidak amanah, ataupun pilihan untuk mundur dari dakwah
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar