Dukungan Luhut dan James Riady - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

12 Oktober 2013

Dukungan Luhut dan James Riady


Jokowi dipersiapkan sejumlah konglomerat untuk jadi presiden 2014. Siapa saja mereka?

Luar biasa.
Ade Armando, pengajar komunikasi dari Universitas Indonesia itu sampai berani mempertaruhkan lehernya bila Jokowi tak terpilih menjadi Presiden dalam  Pemilu 2014. ‘’Potong leher saya kalau Jokowi kalah. Jika dia maju saat ini,’’ kata Ade Armando  (lihat Liputan6.com, 26 September 2013).

Berdasarkan hasil riset lembaga Politicawave, Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjadi 2 tokoh terpopuler dalam perbincangan di media sosial untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2014. Dalam survei yang dirilis 24 September lalu, Jokowi-JK meraih kuantitas tertinggi dengan 16% dari 3.994.528 percakapan pengguna media sosial.  Di Indonesia saat ini pengguna media sosial mencapai 80 juta orang.

Menurut Ade Armando, hasil survei media sosial patut menjadi pertimbangan penting karena konten yang diperbincangkan di media sosial dapat mempengaruhi pemberitaan media massa, begitu pula sebaliknya. "Media sosial didominasi kelas menengah, tak menyeluruh, namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk mengabaikan pengaruh media sosial karena suara kelas menengah itu sangat kencang dan mempengaruhi media massa," katanya.

Betapa pun ini tetaplah sebuah estimasi. Artinya, bisa salah dan bisa benar. Yang sulit dimengerti mengapa Armando menjadi begitu berani mempertaruhkan lehernya untuk sebuah estimasi. Sebagai pengajar mestinya dia tahu terlalu banyak faktor yang bisa mempengaruhi sebuah estimasi. Apalagi Pemilu Presiden masih sekitar setahun lagi. Banyak perubahan bisa terjadi dalam tempo sepanjang itu. Hasil Pemilu legislatif April 2014, misalnya, akan menjadi faktor penting yang mempengaruhi partai-partai dalam mengusung seorang calon Presiden.

Gampang ditebak Ade Armando sedang menjadi Tim Sukses Jokowi, terang-terangan mau pun tersembunyi. Hanya untuk itu dia sedia mengorbankan reputasinya (kalau masih ada) di hadapan umum. Untuk itu nama institusinya (Universitas Indonesia) yang dia bawa-bawa turut dijadikannya korban.

Coba, partai apa yang akan mencalonkan Jokowi sebagai Presiden sampai sekarang belum jelas. Padahal ini faktor yang sangat menentukan. Tanpa dukungan partai mana mungkin Jokowi menjadi Presiden. Ketika PDIP mengadakan Rakernas di Ancol September lalu, misalnya, para pendukung Jokowi dengan sangat optimistis memasang berbagai poster dan spanduk seakan-akan partai yang dipimpin Megawati itu sudah pasti akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden.

Malah seakan Jokowi adalah tokoh perkasa yang sudah tak mungkin dikalahkan, di area Rakernas ditemukan poster yang mengelu-elukan Jokowi tapi mengejek Megawati: ‘’Jokowi Yes, Mega No’’. Spanduk dan poster itu kemudian dibersihkan Satgas yang bertugas di Rakernas.

Nyatanya seperti sama diketahui Rakernas itu sama sekali tak mencalonkan Jokowi.  Dalam kesempatan berpidato, dengan tegas Megawati Soekarno menyatakan tak akan mempublikasikan nama capres PDIP sebelum mengamankan 20% kursi DPR-RI atau 25% jumlah suara dalam Pemilu legislatif. Angka yang disebut Mega adalah ambang batas partai atau kelompok partai untuk mencalonkan seorang Presiden. Artinya, nama Capres PDIP baru diketahui setelah Pemilu Legislatif, bukan sekarang sebagaimana diinginkan para pendukung Jokowi.

Yang lebih penting dari itu, Ketua Umum Megawati belum sekali pun mengeluarkan pernyataan yang jelas bahwa Jokowi akan dijadikan Capres PDIP. Dalam Rakernas di Ecopark, Ancol, Jakarta Utara itu, misalnya, Mega menyebutkan nama sejumlah kader muda potensial PDIP. Nama Jokowi memang termasuk yang disebut. Tapi selain Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, putrinya Puan Maharani, dan Wakil Gubernur Banten Rano Karno, juga disebut Mega sebagai para calon pemimpin bangsa. Kemudian Mega menegaskan para tokoh PDIP (yang namanya disebut) itu masih harus banyak belajar.

Artinya, Megawati berpendapat Jokowi masih harus banyak belajar sebelum bisa dicalonkan sebagai Presiden dari PDIP. Selain itu ada lagi isu yang lebih penting. Para pengamat yang serius memperhatikan hubungan Megawati dengan Jokowi, akan melihat bahwa sesungguhnya hubungan keduanya tidaklah semulus yang diduga banyak orang.

KETUA UMUM PDIP BUKAN JOKOWI

Memang benar Jokowi adalah kader PDIP. Dia menjadi Walikota Solo dengan dukungan PDIP. Tapi ketika ia mau mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta (dengan modal mempromosikan mobil murah SMK buatan Solo. Sekarang sebagai gubernur Jokowi justru mengecam kebijakan mobil murah), PDIP tak mendukungnya. Pada waktu itu PDIP sedang mengelus-elus Gubernur petahana Fauzie Bowo alias Foke. Tokoh PDIP dan suami Megawati, Taufik Kiemas (kini almarhum) sudah dieskpose tampil bersama Foke di berbagai media. Puan Maharani, putri Megawati yang menjadi Ketua Fraksi PDIP di DPR dan salah satu Ketua DPP PDIP sudah mengumumkan bahwa PDIP tak akan mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.

Maka Jokowi yang sudah hampir putus asa kemudian melobi Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang dalam Pilpres 2009, maju sebagai Calon Wakil Presiden bersama calon Presiden Megawati. Prabowo lantas menemui Megawati, dan seperti sudah sama diketahui akhirnya Jokowi pun dicalonkan PDIP dan Partai Gerindra sebagai Gubernur Jakarta.

Sebuah sumber yang layak dipercaya mengungkapkan bahwa setelah Rakernas Ancol ditutup, Megawati mengundang sejumlah tokoh penting dan senior PDIP ke Istana Batutulis Bogor. Dalam kesempatan itu, menurut sumber itu, Megawati mengingatkan para tokoh partainya bahwa dialah Ketua Umum PDIP, dan bukan Jokowi. Artinya, kalau semua cerita ini benar, tak gampang bagi Jokowi dan pendukungnya untuk mendapatkan tiket calon Presiden dari PDIP.

Apalagi setelah setahun menjadi gubernur ternyata Jokowi tak ada apa-apanya. Kehebatannya hanya jalan sana, jalan sini meninjau daerahnya yang kemudian oleh pers pendukungnya disebut sebagai blusukan.

Apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya hanya meniru apa yang dilakukan Presiden Soeharto dulu di zaman Orde Baru. Ketika itu, Pak Harto sering bepergian ke desa-desa dan disebut sebagai ‘’turun ke bawah’’ atau lebih populer sebagai Turba. Terkadang Pak Harto dan rombongan menginap di desa-desa.

Sedang Jokowi hanya datang ke desa atau kampung sebentar saja. Yang penting ada acara yang sudah disiapkan lalu dia pun berdialog dengan rakyat yang akan segera diliput luas oleh media yang memang sudah sedia untuk itu. Jadi boleh dikata yang paling mencolok dari acara Jokowi adalah penggunaan atau pelibatan media yang begitu masif. Tak ada acara Jokowi tanpa media.

Untuk itu Jokowi didukung sebuah Tim Sukses dengan dana yang besar dari sejumlah konglomerat. Salah satu di antara mereka disebut nama James Riady dari kelompok bisnis Lippo dan yang lain Luhud Panjaitan, purnawirawan jenderal yang jadi pengusaha batubara. Pantas saja Ade Armando berani pertaruhkan lehernya untuk Jokowi.


Sumber : Facebook Artati Sansumardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here