Reaksi Presiden SBY merespons
kasus yang menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mendapat
banyak gugatan publik. SBY dinilai terlalu jauh melakukan intervensi
persoalan di MK. Perppu MK dinilai sebagai upaya kooptasi Presiden pada
lembaga penegak konstitusi itu.
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menilai rencana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Presiden SBY dalam merespons persoalan di MK merupakan langkah yang berlebihan. "Saya khawatir Kita semua harus waspada betul. Muncul gagasan yang terlalu jauh dari konteks yang dihadapi MK," ujar Lukman kepada INILAH.COM di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (8/10/2013).
Ia mencontohkan, gagasan mengembalikan fungsi Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim MK termasuk meminta mundur seluruh hakim MK serta wacana pembubaran MK merupakan usulan yang berlebihan dan tidak mendasar.
"Menjadi tidak etis dan tidak inkonstitusional bila menghidupan norma itu, karena putusan MK setara dengan UUD 1945. Ketika MK mengeluarkan putusan terkait judicial review maka putusannya merupakan konstitusi. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak bisa institusi lain mengoreksi putusan MK," sebut Lukman.
Menurut Lukman, MK pada 2006 telah memutus UU Komisi Yudisial terkait pengawasan KY pada hakim MK. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Menurut dia, hanya MPR yang bisa mengoreksi putusan MK dengan cara amandemen UUD 1945.
Lukman tidak menampik bila reaksi yang muncul belakangan tidak terlepas dari kepentingan Pemilu 2014 mendatang. Hal ini kata Lukman, disebabkan kinerja MK selama ini cukup baik. "Reputasi MK selama ini cukup baik. Menjadi rusak karena ulah Ketua MK saja," kata Lukman.
Sementara terpisah, Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara Indonesia (ASHTN Indonesia) menengarai respons Presiden SBY terhadap persoalan Akil Mochtar sebagai upaya pemboncengan untuk kepentingan melemahkan lembaga MK. "Kami melihat ada upaya sistematis untuk melemahkan
institusi MK dengan membonceng kasus Akil," ujar Presidium ASHTN Indonesia Sudiyatmiko Aribowo di Jakarta, Selasa (8/10/2013).
Sudiyatmiko menyebutkan, respons aktif Presiden SBY dengan mengumpulkan pimpinan lembaga tinggi negara minus MK, memberi preseden buruk dalam hubungan antar lembaga negara. "Kita akan cermati sejauh mana isi Perppu MK ini. Jangan sampai MK menjadi lembaga insubordinat lembaga tinggi lainnya, apalagi di bawah kooptasi presiden, ini sama saja memutar balik era Orde Baru," ingat Sudiyatmiko yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
ASHTN Indonesia mengharapkan kasus yang menimpa Akil Mochtar dijadikan momentum untuk membenahi kelembagaan internal. Hanya saja, asosiasi ini mengingatkan reformasi kelembagaan MK bukan berarti mengkooptasi apalagi melemahkan lembaga pengawal konstitusi. "Concern kami, MK harus tetap tegak sebagai lembaga pengawal konstitusi. Jika ada tikus di lumbung padi, bukan lumbungnya yang dibakar, tapi tikusnya," tandas Sudiyatmiko bertamsil.
Sementara di tempat yang sama, Presidium ASHTN Indonesia lainnya, Mei Susanto menyebutkan memang perlu reformasi di internal MK. Ia mencontohkan, sengketa hasil suara dalam pilkada semestinya tidak ditangani MK. "MK jangan lagi menangani sengketa hasil pilkada, ini tidak sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kami mendesak, melalui pembahasan RUU Pilkada di DPR, persoalan ini harus direspons serius," tegas Mei.
Hanya saja Mei mengingatkan, jika pada akhirnya sengketa pilkada beralih di Mahkamah Agung, lembaga peradilan itu juga harus dipastikan steril dari praktik-praktik kotor seperti jual beli perkara dan sejenisnya. "MA juga harus firm. Bukan justru memindahkan praktik suap dari MK ke MA. Itu sama saja," cetus Mei yang juga alumnus Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Sebelumnya, Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan penerbitan Perppu MK merupakan langkah konstitusional. "Perppu merupakan hak dan kewenangan Presiden yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 22," kata Djoko. Ia membantah bila Perppu MK merupakan langkah tergesa-gesa dari Presiden, namun upaya ini justru untuk menyelematkan MK.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menilai rencana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Presiden SBY dalam merespons persoalan di MK merupakan langkah yang berlebihan. "Saya khawatir Kita semua harus waspada betul. Muncul gagasan yang terlalu jauh dari konteks yang dihadapi MK," ujar Lukman kepada INILAH.COM di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (8/10/2013).
Ia mencontohkan, gagasan mengembalikan fungsi Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim MK termasuk meminta mundur seluruh hakim MK serta wacana pembubaran MK merupakan usulan yang berlebihan dan tidak mendasar.
"Menjadi tidak etis dan tidak inkonstitusional bila menghidupan norma itu, karena putusan MK setara dengan UUD 1945. Ketika MK mengeluarkan putusan terkait judicial review maka putusannya merupakan konstitusi. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak bisa institusi lain mengoreksi putusan MK," sebut Lukman.
Menurut Lukman, MK pada 2006 telah memutus UU Komisi Yudisial terkait pengawasan KY pada hakim MK. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Menurut dia, hanya MPR yang bisa mengoreksi putusan MK dengan cara amandemen UUD 1945.
Lukman tidak menampik bila reaksi yang muncul belakangan tidak terlepas dari kepentingan Pemilu 2014 mendatang. Hal ini kata Lukman, disebabkan kinerja MK selama ini cukup baik. "Reputasi MK selama ini cukup baik. Menjadi rusak karena ulah Ketua MK saja," kata Lukman.
Sementara terpisah, Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara Indonesia (ASHTN Indonesia) menengarai respons Presiden SBY terhadap persoalan Akil Mochtar sebagai upaya pemboncengan untuk kepentingan melemahkan lembaga MK. "Kami melihat ada upaya sistematis untuk melemahkan
Sudiyatmiko menyebutkan, respons aktif Presiden SBY dengan mengumpulkan pimpinan lembaga tinggi negara minus MK, memberi preseden buruk dalam hubungan antar lembaga negara. "Kita akan cermati sejauh mana isi Perppu MK ini. Jangan sampai MK menjadi lembaga insubordinat lembaga tinggi lainnya, apalagi di bawah kooptasi presiden, ini sama saja memutar balik era Orde Baru," ingat Sudiyatmiko yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
ASHTN Indonesia mengharapkan kasus yang menimpa Akil Mochtar dijadikan momentum untuk membenahi kelembagaan internal. Hanya saja, asosiasi ini mengingatkan reformasi kelembagaan MK bukan berarti mengkooptasi apalagi melemahkan lembaga pengawal konstitusi. "Concern kami, MK harus tetap tegak sebagai lembaga pengawal konstitusi. Jika ada tikus di lumbung padi, bukan lumbungnya yang dibakar, tapi tikusnya," tandas Sudiyatmiko bertamsil.
Sementara di tempat yang sama, Presidium ASHTN Indonesia lainnya, Mei Susanto menyebutkan memang perlu reformasi di internal MK. Ia mencontohkan, sengketa hasil suara dalam pilkada semestinya tidak ditangani MK. "MK jangan lagi menangani sengketa hasil pilkada, ini tidak sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kami mendesak, melalui pembahasan RUU Pilkada di DPR, persoalan ini harus direspons serius," tegas Mei.
Hanya saja Mei mengingatkan, jika pada akhirnya sengketa pilkada beralih di Mahkamah Agung, lembaga peradilan itu juga harus dipastikan steril dari praktik-praktik kotor seperti jual beli perkara dan sejenisnya. "MA juga harus firm. Bukan justru memindahkan praktik suap dari MK ke MA. Itu sama saja," cetus Mei yang juga alumnus Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Sebelumnya, Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan penerbitan Perppu MK merupakan langkah konstitusional. "Perppu merupakan hak dan kewenangan Presiden yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 22," kata Djoko. Ia membantah bila Perppu MK merupakan langkah tergesa-gesa dari Presiden, namun upaya ini justru untuk menyelematkan MK.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar