Muslim Bali Luar Biasa, PKS-nya Juga - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

11 November 2014

Muslim Bali Luar Biasa, PKS-nya Juga


Ada kabar menggembirakan bagi kita, Kapolda Bali Jenderal Bintang Dua Polri Albertus Julius Benny Mokalu menjadi seorang muslim. Selain hal tersebut, sebenarnya ada sesuatu yang cukup istimewa dari saudara-saudara kita muslim di Bali.

Masih ingat kisah heroik PKS Denpasar dalam mempertahankan sebuah kursi DPRD pada Pemilu 2014 lalu? Dengan hanya selisih 82 suara, menghadapi pemungutan suara ulang, serasa kursi itu akan lepas. Tetapi diluar dugaan, perolehan suara PKS malah meningkat, sehingga selisih suara menjadi unggul 144 suara.

Bukan hanya solidnya konstituen, juga para saksi TPS yang luar biasa. Solidnya PKS disana ternyata bukan kebetulan atau tiba-tiba belaka. Kisah berikut bisa menjadi gambaran betapa saudara-saudara kita di Bali memang luar biasa.

Suatu ketika Ustaz Bachtiar Nasir bertanya kepada suatu jamaah, “Islam manakah yang paling baik?” Menurut Beliau Islam yang paling baik itu bukan Aceh, Sumatera Barat atau Yogyakarta, tetapi Islam terbaik di Indonesia itu adalah Bali.

Bagaimana mungkin? Ternyata hanya di Bali jamaah Shalat Subuh lebih banyak dari pada jamaah Shalat Jumat. Di Masjid Baitul Makmur Denpasar misalnya, jamaah Shalat Subuhnya bisa mencapai 700 orang, bahkan untuk hari Ahad lebih banyak lagi, sehingga tidak muat lagi di dalam masjid.

Bukan shalat-shalat jamaah saja yang semarak, kegiatan-kegiatan seperti taklim dan kajian keislaman tak kalah semangat. Mereka sangat antusias dalam mengkaji tafsir, hadis dan sebagainya, bahkan mendatangkan ustaz-ustaz dari luar.

Demikian pula dalam berinfak, tak heran bila amal-amal sosial muslim di Bali lebih terurus dengan baik dibanding dengan yang dikelola umat lain yang mayoritas sekalipun.

Bali selama ini kita persepsikan tak identik dengan Islam. Para pendatang dari luar di Bali kebanyakan memang beragama Islam, tetapi mungkin kita lebih mengasumsikan mereka yang memilih bekerja di sana bukan muslim yang taat. Mungkin kita mengasumsikan muslim yang taat cenderung tidak memilih bekerja di Bali. Tetapi kenyataan yang terjadi, Islam di Bali justru tumbuh menakjubkan.

Lantas bagaimana dengan kita? Dalam kondisi sebagai mayoritas, kita lebih mengenal Islam, lingkungan dan tempat kita bekerja lebih kondusif untuk menjalankannya, lebih tersedia berbagai sarana di sekitar kita yang mempermudah untuk kita menjalankan ibadah. Tetapi ternyata kemalasan membuat amal kita tak sebanding dengan peluang yang semestinya bisa diraih. 

Masjid-masjid kita yang sepi, padahal hampir tiap RT ada masjid. Sedikitnya orang yang mau mendatangi majelis-majelis ilmu. Nyaris tak ada lagi rumah-rumah yang membiasakan membaca Al Quran di dalamnya. Tak sebanding dengan semaraknya hal-hal yang bersifat hiburan duniawi dan hura-hura di sekitar kita.

Beberapa dekade lalu, suasana di Bali masih seperti di negara-negara Barat, nyaris tanpa simbol-simbol Islam yang menonjol. Untuk mencari tempat shalat saja sulit. Tak dinyana jika di kemudian hari, syiar Islam di sana justru tampak bergairah. Sebaliknya kita, sepertinya malah seperti sudah jenuh dalam beragama. 

Beragama bagi kita rasanya seperti hanya turun-temurun semata.
Antara kuantitas dan kualitas, kita yang secara jumlah mayoritas tampak seperti hanya minoritas, mungkin seperti buih di lautan. Sebaliknya, mereka dalam kondisi sebagai minoritas, mampu melampauinya, dan benar-benar menampakkan syiar Islamnya.

Begitulah, dalam kondisi minoritas, penuh keterbatasan, tak menjadikannya penghalang, melampaui keterbatasan tersebut. Sedang kita, begitu banyak kesempatan yang terbuka, tetapi kita menyia-nyiakannya. Tidakkah kita malu dengan prestasi yang dicapai saudara-saudara kita di Bali?

Bahkan kita mungkin pernah terburu-buru menilai Bali dengan pandangan miring. Ketika sebuah partai Islam mengadakan Munas di Bali, terlontar juga banyak pandangan tak sedap. Padahal tak semestinya kita mengabaikan sesuatu yang menurut kita tak bernilai sekalipun. Bisa jadi dibaliknya ada hal yang lebih bernilai dari kita.

Seringkali dengan berbagai nikmat yang diberikan kepada kita, tak membuat kita lebih dekat kepada agama, malah kita lebih banyak lalai, kita seperti tidak butuh dengan Islam. Sementara, saudara-saudara kita yang sedang terkena berbagai musibah, cobaan yang berat, menjadi korban konflik dan peperangan, tetapi dalam kondisi demikian sulit justru membuat mereka mendekat dengan agama.

Jika lebih banyak kesempatan kita sia-siakan, bagaimana jika nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita ini dicabut? Apakah kita menunggu mendapat cobaan-cobaan seperti itu, baru mau mendekat kepada-Nya?





Sumber : pks nongsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here