Jokowi saat sambangi Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Paulus, Jakarta Pusat |
Dari kalangan Katolik, sebuah dukungan terbuka terhadap Jokowi disuarakan oleh pastor Aloysius Budi Purnomo, melalui artikel berjudul “Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat” di Harian Sinar Harapan (http://sinarharapan.co/news/read/140417053/Jesus-Jokowi-dan-Keselamatan-Rakyat, 17/4/2014). Artikel Aloysius ini segera memicu kontroversi yang luas. Itu karena Aloysius membenarkan adanya sejumlah persamaan antara Jokowi dan Jesus, dengan menggunakan perspektif teologi Kristen.
Disebutkan, bahwa diantara persamaan antara Jesus dan Jokowi adalah: (1) keduanya sama-sama berinisial huruf J, (2) baik Jesus maupun Jokowi sama-sama anak tukang kayu, (3) keduanya sama-sama mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel, (4) sama seperti Jesus, Jokowi suka blusukan, menjumpai rakyat kecil, (5) konon keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah, yang dalam hal ini terdapat perbedaan; Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus orang “Kudus”.
Meskipun persamaan itu bersumberkan pada “guyonan”, Aloysius menjelaskan:
“Guyonan itu hemat saya merupakan harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik yang notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan guyonan itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul membaca atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak marah.”
Lebih jauh ditulis oleh Aloysius: “Jangankan disamakan dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan kerinduan masyarakat kecil menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus bahkan menyamakan diri dengan mereka yang lapar, haus, yang telanjang, terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius 25:30). Jesus berkata, “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudaraku yang paling hina itu, kamu lakukan untuk Aku!”
Sebagai seorang muslim, saya berasumsi, bahwa yang ditulis oleh teolog Katolik itu adalah hal yang sebenarnya, seperti yang ia pahami.; bukan untuk tujuan pencitraan Jokowi. Aloysius tentu memahami, bahwa munculnya Jokowi sebagai tokoh fenomenal sangat didukung oleh pencitraan media. Tanpa menafikan prestasi dan pribadinya yang sederhana, masyarakat Indonesia tidak akan mengenal Jokowi jika sejumlah media massa tidak mengangkat Jokowi begitu dahsyatnya, sehingga dicitrakan sebagai sosok “juru selamat”, termasuk apa yang dilakukan oleh Aloysius melalui artikelnya.
Dalam hal keberpihakan terhadap rakyat kecil ini, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi juga perlu dipertanyakan. Dalam Bibel sendiri dijelaskan, bahwa Jesus justru melawan penguasa global dan penguasa agama (Yahudi) ketika itu. Fakta dan sejumlah manuver Jokowi justru menunjukkan, bagaimana kuatnya dukungan kaum berduit dan penguasa global saat ini. Dalam Matius 25:30 disebutkan: “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Alkitab, versi LAI, tahun 2007).
Tentang Teologi “Blusukan”
Aloysius menulis bahwa ribuan tahun silam – sebelum Jokowi — Jesus memang punya hobi blusukan. Kehadiran-Nya di dunia sebagai “Sang Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana. Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia. Itulah teologi inkarnasi.
Masih menurut Aloysius, dalam perspektif iman Kristiani, Jesus disebut “Putra Allah yang Mahatinggi”, yang sejak awal mula bersama-sama dengan Allah dalam kesatuan kasih mesra. Namun karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia, Allah berkenan mengutus Putra yang tunggal ke dunia agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan Yohanes 3:16). Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus menjadi Kristiani dan dibaptis formal.
“Karl Rahner berterminologi yang disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun yang serba benar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2),” tulis Aloysius.
Begitulah opini yang dikembangkan Aloysius.
Menarik membaca tulisan Aloysius itu, bahwa pengertian percaya kepada Yesus sebagai Putra yang tunggal itu tidak harus menjadi Kristiani dan dibaptis secara formal. Ia mengenalkan istilah “baptis batin” yang katanya disebutkan oleh teolog Jerman Karl Rahner. Tidak jelas benar apa yang dimaksudkan oleh Aloysius dengan “babtis batin”. Sebab, Karl Rahner sendiri dikenal dengan gagasannya tentang “anonymous Christianity” (Kristen tanpa nama). Bahwa, orang-orang yang belum mengenal Jesus dapat dikategorikan sebagai “Kristen” tapi “tanpa nama”, meskipun mereka sudah memeluk agama tertentu. Hanya saja, Rahner berpendapat, bahwa agama orang-orang itu tidak sah lagi jika misi Kristen sudah sampai pada mereka dan Bibel diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
“Once a religion really confronts the gospel – once the gospel is translated into the new culture and embodied in community – than that religion loses its validity,” tulis Karl Rahner seperti dikutip Paul F. Knitter dalam bukunya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religion (London: SCM Press Ltd., 1985).
Jadi, dalam perspektif teologi inklusif model Karl Rahner, setelah agama Kristen disebarkan ke Indonesia, maka agama-agama selain Kristen sudah tidak sah lagi.
Dalam artikelnya, Aloysius juga menyebut, bahwa tokoh Hindu Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya. Ditulis oleh Aloysius: “Jesus Kristus itu unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati sabda bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan dicatat dalam Injil.”
Benarkah Mahatma Gandhi bersikap simpatik terhadap Jesus seperti yang ditulis Aloysius itu? Tahun 2012, penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul “Dialog Gandhi dengan Missionaris tentang Kristen dan Konversi”. Buku ini aslinya berjudul “Gandhi on Christianity” (Maryknoll New York: Orbis Books, 1991). Buku ini memaparkan sikap kritis Gandhi terhadap kepercayaan kaum Kristen pada Jesus:
“Saya menganggap Yesus sebagai seorang guru besar kemanusiaan, tapi saya tidak
menganggap dia sebagai satu-satunya anak yang dilahirkan Tuhan. Julukan itu dalam penafsiran materialnya tidak dapat diterima. Secara kiasan kita semua adalah anak-anak yang dilahirkan Tuhan, tapi untuk masing-masing kita mungkin ada anak-anak lain yang dilahirkan Tuhan dalam pengertian khusus… Saya percaya dengan kesempurnaan untuk menjadi sempurna dari hakikat manusia. Yesus telah menjadi sedekat mungkin pada kesempurnaan itu. Mengatakan bahwa dia sempurna sama dengan menolak superioritas Tuhan atas manusia… Saya juga tidak memerlukan ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban untuk mengakui kebenaran Yesus sebagai seorang guru. Tidak ada yang lebih ajaib dari tiga tahun kependetaannya, “Tidak ada keajaiban dalam sejarah manusia yang dihidupi dengan segenggam roti. Seorang tukang sulap dapat membuat ilusi (tipuan pandang) semacam itu. Tapi terkutuklah hari ketika seorang pesulap dihormati sebagai penyelamat kemanusiaan.” (hal. 124-125).
Tentang keselamatan universal – baik bagi yang percaya atau yang tidak percaya kepada Ketuhanan Jesus – Aloysius menulis: “Blusukan-Nya mendatangkan keselamatan universal bagi semua orang, yang mengimani Dia, maupun yang tidak mengimani-Nya, bahkan yang memusuhi-Nya. Itu karena Ia pun berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan-Nya agar diampuni Allah, yang disebut-Nya Bapa, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).”
Membaca tulisan Aloysius tersebut, kita dapat bertanya, benarkah orang yang tidak mengimani Yesus juga mendapatkan keselamatan, sebagaimana digambarkan oleh Pastor Aloysius? Masalah keselamatan universal ini telah menyita perdebatan panjang dalam internal Kristen. Benarkah ada keselamatan di luar gereja Katolik? Jika memang ada, untuk apa Gereja Katolik memerintahkan kaum Katolik untuk menjalankan misinya agar percaya kepada Yesus.
Dalam artikelnya, Aloysius mengenalkan diri sebagai “rohaniwan”, budayawan interreligius, dan Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah. Sebagai rohaniwan Katolik, Aloysius tetunya sangat paham tentang perdebatan seputar wacana “keselamatan di luar gereja Katolik”. Sebelumnya, Gereja berpegang pada doktrin “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kemudian, Konsili Vatikan II (1962-1965), menetapkan satu dokumen Nostra Aetate yang bersifat cukup simpatik terhadap agama lain, termasuk Islam. Tetapi, sejumlah dokumen Konsili Vatikan II juga mempertahankan sikap eksklusifitasnya dalam soal keselamatan.
Dekrit ‘ad gentes’ mewajibkan aktivitas misi Katolik ke seluruh umat manusia:
“Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church’s preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body… And hence missionary activity today as always retains its power and necessity.” (Karena itu, haruslah semua orang dikonversikan kepada Dia, Yang dikenal lewat misi Gereja; semua manusia harus menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja dengan pembaptisan, yang adalah Tubuhnya… Oleh sebab itu, aktivitas misi Kristen dewasa ini senantiasa tetap mempunyai kekuatannya dan tetap dibutuhkan).
Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975, yang menyebutkan: “Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya.”
Menyimak sejumlah dokumen Gereja Katolik tentang kewajiban menjalankan misi Kristen untuk membaptis seluruh manusia, maka patut ditanyakan, apakah dukungan kaum Kristen kepada Jokowi merupakan bagian dari aktivitas misi tersebut? Bisanya, agak berbeda dengan kaum Kristen evangelis yang menyampaikan misi dengan “vulgar”, Geraja Katolik menjalankan misinya dengan halus melalui program akulturasi atau kemanusiaan.
Jadi, apa sebenarnya misi kaum Kristen yang secara menggebu-gebu mendorong Jokowi sebagai calon Presiden RI? Wallahu a’lam.
Jokowi akan dikorbankan?
Aloysius menulis: “Jesus menjadi tokoh ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban, bukan kepada penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan dan praksis dari pastoral blusukan Jesus. Akibatnya, Jesus dijatuhi hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh menggunakan ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka agama dan politikus busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman mati.”
Bagi kaum Kristen, babak terpenting dari episode kehidupan Jesus adalah penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah inti agama Kristen (Christianity). Tidak ada agama Kristen tanpa adanya konsep penyaliban dan kebangkitan (crucifixion and resurrection) Jesus. Maka, kita patut bertanya, jika Jokowi disamakan dengan Jesus dalam perspektif Kristen, apakah pada akhirnya Jokowi juga akan “disalib” dan “dikorbankan” demi “menebus dosa kaum tertentu”?
Kaum Katolik Indonesia mengaku memiliki “syahadat” versi Katolik yang bunyinya: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…” (Lihat buku, Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37).
Jokowi adalah muslim. Bahkan, sudah menunaikan ibada haji. Sebagai Muslim, ia sudah bersaksi, bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.” Jokowi pasti yakin, Allah tidak punya anak dan tidak diperanakkan. Ia juga yakin akan kebenaran al-Quran, yang menjelaskan bahwa Jesus (Isa a.s.) adalah manusia, seorang Nabi. Jesus bukan Tuhan atau anak Tuhan. Bahkan al-Quran dengan tegas menyatakan: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah itu sama dengan Isa Ibnu Maryam. Padahal, al-Masih Isa Ibnu Maryam berkata, wahai Bani Israil sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Sesungguhnya siapa yang menserikatkan Allah maka Allah akan mengharamkan sorga baginya, dan tempatnya di neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak akan mendapatkan pertolongan.” (QS 5:72).
Juga, disebutkan dalam al-Quran, sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Isa adalah salah satu dari yang tiga (QS 5:73). Allah juga murka karena dituduh punya anak. Orang yang menuduh Allah punya anak, sungguh telah melakukan kejahatan besar di mata Allah (QS 19:88-91). Al-Quran pun membantah bahwa Nabi Isa a.s. telah mati di tiang salib. Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang itu. (QS 4:157, QS 18:4-5). Menuduh Allah punya anak atau punya sekutu adalah tindakan syirik, dosa terbesar dalam pandangan Islam. Karena itu syirik disebut sebagai “kezaliman besar”. (QS 31:13). Nabi Muhammad saw ditugaskan oleh Allah untuk mengajak kaum Kristen agar mereka kembali kepada “satu kata” yang sama, yaitu hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga (misi Tauhid) (QS 3:64).
Dalam perspektif Islam, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi bisa dikatakan “sangat keliru” dan “sangat berlebihan”. Kaum Muslim Indonesia tentu berharap, Haji Jokowi tidak mau “disalib” dan “dikorbankan” untuk dinobatkan sebagai juru selamat kaum tertentu di Indonesia. Tapi, itu terpulang kepada Pak Haji Jokowi, karena beliau sendiri yang akan bertanggung jawab kepada Allah: apakah ikut berjuang memperkuat misi seluruh Nabi dalam menegakkan Tauhid dan Rahmatan lil-alamin atau mendukung dan memperkuat kesesatan dan kemusyrikan di negeri tercinta ini. Sebagai rakyat, kita hanya menyampaikan taushiyah, hanya sekedar mengingatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.*/Depok, 17 Mei 2014
Penulis Dr. Adian Husaini
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar