Televisi Aljazeera, Ahad (29/12/2013) memuat sebuah wawancara eksklusif dengan dua orang gadis Yahudi Israel yang baru saja mengikrarkan keislamannya di Masjidil Aqsha. Berikut kisah keislaman mereka yang dirangkai dari petikan wawancara tersebut.
Sembuh dari sakitnya, Aisyah, gadis Yahudi berumur dua puluh tahunan ini menjadi ingin mempelajari agama Islam lebih jauh. Renungan saat menderita sakit membuatnya ingin mengenal Islam. Dia pun bergabung dengan Islamic Center Darussalam, selain juga melalui media dan internet.
Pada tahun 2008, beberapa tahun setelah kedatangannya ke Israel, Aisyah mengunjungi salah seorang temannya di daerah Arab, salah satu wilayah Palestina yang dikuasai oleh Israel. Saat pulang dari sana, dia mendapatkan sebuah buku kecil berbahasa Ibrani yang berjudul “Jalan Menuju Kebahagiaan”. Buku itu berisi tentang bukti-bukti kebenaran ajaran Islam.
Disimpannya buku itu tanpa membacanya dan mencoba mengetahui isinya. Beberapa bulan kemudian, Aisyah menderita sakit parah yang hampir-hampir merenggut jiwanya. Untuk mendapatkan ketenangan, dia coba membaca buku kecil tentang kebahagiaan itu.
Aisyah pun mulai tertarik. Dia ingin mengenal Islam lebih jauh. Tanpa rasa takut kepada sesama Yahudi, Aisyah berusaha menghubungi beberapa orang da’i Palestina yang tergabung dalam Islamic Center “Darussalam”. Lembaga ini berada di wilayah Palestina yang dijajah Israel tahun 1948. Setelah enam bulan belajar di sana, Aisyah membulatkan tekad untuk masuk Islam. Dia pergi ke Masjidil Aqsha untuk mengikrarkan keislamannya.
Saat mengisahkan pengalamannya kepada televisi Aljazeera, Qatar, Aisyah menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya. Dia seakan baru saja diciptakan untuk kehidupan yang baru. Menurutnya, yang menarik dalam Islam adalah pernyataan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama ini. Memeluk Islam didasarkan pada sukarela dan keyakinan. Dalam agama ini, seorang hamba juga tidak memerlukan perantara siapapun untuk berhubungan dengan Penciptanya.
Aisyah hidup dengan keluarganya. Keluarga besarnya belum mengetahui kabar keislamannya. Hanya ayahnya yang mengetahui dan mendukung keputusan keislaman itu. Sedangkan ibunya adalah seorang Yahudi fanatik, sangat membenci umat Islam. Kalau ibunya tahu, sangat mungkin dia akan membuka rahasia keislaman Aisyah kepada orang banyak. Sungguh berat mempertahankan Islam di lingkungan Yahudi.
Aisyah semakin memperhatikan bagaimana berpakaian yang menutup auratnya, walaupun belum bisa tega memakai jilbab di depan ibunya. Shalat wajib dilaksanakannya tepat waktu. Malam hari, saat keluarganya tertidur, dihabiskannya untuk shalat dan membaca Al-Qur’an hingga pagi. Asiyah memohon kepada Allah swt. agar diberi kekuatan bisa menyampaikan keislamannya kepada ibunya. Sudah enam tahun dia menyembunyikan keislamannya. Sudah enam tahun juga dia harus berpura-pura sebagai penganut Yahudi, melaksanakan ritual-ritual dari Talmud. Dia ingin segera sempurna dalam menutup auratnya, ingin melaksanakan shalat dengan bebas tanpa mencuri-curi.
Syukur, Aisyah mempunyai pembimbing di “Darussalam” yang selalu menguatkan dirinya bersama lima orang gadis mantan Yahudi lainnya untuk tetap hidup damai dan tidak bermusuhan dengan keluarga dan lingkungannya. Walaupun menyembunyikan keislamannya, Aisyah bisa menjaga akhlak Islam, dan menjauhi semua hal haram. Kehidupan hura-hura pun dijauhinya. Hal ini mulai memancing kerugiaan teman-temannya. Lambat-laun mereka pun akhirnya tahu.
Diri Aisyah semakin kuat setelah Hanin bergabung bersamanya. Hanin adalah seorang Yahudi Kroasia yang pindah ke Isarel sendirian tanpa keluarganya. Alih-alih menjadi seorang Yahudi pendukung Israel, Hanin tertarik dengan Islam dan menjadi teman Aisyah dalam mempelajari Islam. Hanin menilai bahwa Islam adalah agama yang sempurna dalam memperlakukan wanita. Hanin juga menolak jika Islam diperbandingkan dengan agama lain. Agama lain tidak ada apa-apanya.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Sembuh dari sakitnya, Aisyah, gadis Yahudi berumur dua puluh tahunan ini menjadi ingin mempelajari agama Islam lebih jauh. Renungan saat menderita sakit membuatnya ingin mengenal Islam. Dia pun bergabung dengan Islamic Center Darussalam, selain juga melalui media dan internet.
Pada tahun 2008, beberapa tahun setelah kedatangannya ke Israel, Aisyah mengunjungi salah seorang temannya di daerah Arab, salah satu wilayah Palestina yang dikuasai oleh Israel. Saat pulang dari sana, dia mendapatkan sebuah buku kecil berbahasa Ibrani yang berjudul “Jalan Menuju Kebahagiaan”. Buku itu berisi tentang bukti-bukti kebenaran ajaran Islam.
Disimpannya buku itu tanpa membacanya dan mencoba mengetahui isinya. Beberapa bulan kemudian, Aisyah menderita sakit parah yang hampir-hampir merenggut jiwanya. Untuk mendapatkan ketenangan, dia coba membaca buku kecil tentang kebahagiaan itu.
Aisyah pun mulai tertarik. Dia ingin mengenal Islam lebih jauh. Tanpa rasa takut kepada sesama Yahudi, Aisyah berusaha menghubungi beberapa orang da’i Palestina yang tergabung dalam Islamic Center “Darussalam”. Lembaga ini berada di wilayah Palestina yang dijajah Israel tahun 1948. Setelah enam bulan belajar di sana, Aisyah membulatkan tekad untuk masuk Islam. Dia pergi ke Masjidil Aqsha untuk mengikrarkan keislamannya.
Saat mengisahkan pengalamannya kepada televisi Aljazeera, Qatar, Aisyah menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya. Dia seakan baru saja diciptakan untuk kehidupan yang baru. Menurutnya, yang menarik dalam Islam adalah pernyataan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama ini. Memeluk Islam didasarkan pada sukarela dan keyakinan. Dalam agama ini, seorang hamba juga tidak memerlukan perantara siapapun untuk berhubungan dengan Penciptanya.
Aisyah hidup dengan keluarganya. Keluarga besarnya belum mengetahui kabar keislamannya. Hanya ayahnya yang mengetahui dan mendukung keputusan keislaman itu. Sedangkan ibunya adalah seorang Yahudi fanatik, sangat membenci umat Islam. Kalau ibunya tahu, sangat mungkin dia akan membuka rahasia keislaman Aisyah kepada orang banyak. Sungguh berat mempertahankan Islam di lingkungan Yahudi.
Aisyah semakin memperhatikan bagaimana berpakaian yang menutup auratnya, walaupun belum bisa tega memakai jilbab di depan ibunya. Shalat wajib dilaksanakannya tepat waktu. Malam hari, saat keluarganya tertidur, dihabiskannya untuk shalat dan membaca Al-Qur’an hingga pagi. Asiyah memohon kepada Allah swt. agar diberi kekuatan bisa menyampaikan keislamannya kepada ibunya. Sudah enam tahun dia menyembunyikan keislamannya. Sudah enam tahun juga dia harus berpura-pura sebagai penganut Yahudi, melaksanakan ritual-ritual dari Talmud. Dia ingin segera sempurna dalam menutup auratnya, ingin melaksanakan shalat dengan bebas tanpa mencuri-curi.
Syukur, Aisyah mempunyai pembimbing di “Darussalam” yang selalu menguatkan dirinya bersama lima orang gadis mantan Yahudi lainnya untuk tetap hidup damai dan tidak bermusuhan dengan keluarga dan lingkungannya. Walaupun menyembunyikan keislamannya, Aisyah bisa menjaga akhlak Islam, dan menjauhi semua hal haram. Kehidupan hura-hura pun dijauhinya. Hal ini mulai memancing kerugiaan teman-temannya. Lambat-laun mereka pun akhirnya tahu.
Diri Aisyah semakin kuat setelah Hanin bergabung bersamanya. Hanin adalah seorang Yahudi Kroasia yang pindah ke Isarel sendirian tanpa keluarganya. Alih-alih menjadi seorang Yahudi pendukung Israel, Hanin tertarik dengan Islam dan menjadi teman Aisyah dalam mempelajari Islam. Hanin menilai bahwa Islam adalah agama yang sempurna dalam memperlakukan wanita. Hanin juga menolak jika Islam diperbandingkan dengan agama lain. Agama lain tidak ada apa-apanya.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar