Hukum adalah panglima. Begitulah jargon yang kita pernah dengar sejak era Orde Baru, namun dalam kenyataannya, hukum adalah serdadunya dari panglima yaitu kekuasaan. Demikian yang tampak dari pengamatan saya selama 35 tahun menjadi akademisi dalam bidang hukum.
Mengapa saya katakan demikian, karena ada banyak contoh perkara pidana yang pembuktiannya dibolak-balik yang bersumber pada uang, kekuasaan, dan kebencian semata-mata. Kekuasaan tidak akan pernah berhenti menghancurkan hukum (kepastian hukum dan keadilan) karena ketika hukum tegak setegak- tegaknya maka kekuasaan sewenang- wenang berhenti dengan sendirinya.
Jika kesewenangan berhenti, maka kepentingan perorangan atau kelompok pemegang kekuasaan akan digilas oleh kepentingan publik karena hukum sejatinya adalah kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan perorangan atau sekelompok orang. Bahkan, dengan tegaknya hukum maka kekuasaan yang sewenang-wenang serta korupsi tidak dapat hidup abadi. Keduanya selalu terganggu oleh hukum dan menjadi tidak nyaman karena prinsip persamaan di muka hukum dan asas praduga tak bersalah tidak dapat dibolak-balikkan menjadi prinsip kepentingan dan asas praduga bersalah.
Uang menjadi sumber kedua dari kezaliman dalam penegakan hukum karena filsafat hidup materialisme telah mendarah-daging pada sejumlah praktisi hukum, termasuk penasihat hukum.
Uanglah yang dapat membolak-balikan kepastian hukum menjadi ketidakpastian hukum. Uanglah yang dapat membolak-balikkan keadilan menjadi ketidakadilan dengan cara melahirkan tafsir hukum semau-maunya sendiri dan sering terdengar ucapan menyesatkan, "Jika tidak dilarang artinya boleh saja" atau ucapan "buktikan di pengadilan" atau "masih ada upaya hukum untuk melawan putusan pengadilan". Seolah- olah perjalanan tegaknya hukum selama ini terkunci dengan ucapan-ucapan seperti itu.
Kebencian terhadap orang perorangan atau terhadap suatu golongan sering menjadi dasar penuntutan dengan dakwaan yang dicari-cari. Hanya karena kebencian muncul dari perseteruan politik, pribadi, dan ketersinggungan pribadi karena berbagai alasan, baik alasan pribadi maupun alasan kelembagaan, seseorang bisa menjadi korban kezaliman dalam penegakan hukum.
Tiga sumber kezaliman ini kini telah menjadi tren penegakan hukum sekaligus modus operandi proses peradilan sesat atau dikenal sebagai miscarriage of justice (Nigel Walker). Jika ketiga sumber kezaliman penegakan hukum ini diberi peluang oleh praktisi hukum yang lemah iman, integritas, akuntabilitas, dan profesionalitas maka ketiga-tiganya semakin arogan dan semakin dominan dalam menjungkirbalikkan kepastian hukum.
Keadilan dan yang pasti rakyat pencari keadilan yang tidak punya cukup uang, tidak dekat kekuasaan, dan tidak bersahabat dengan personel kekuasaan akan menjadi `korban abadi' dari proses peradilan sesat. Kezaliman penegakan hukum seperti ini sering didukung oleh pers yang bebas dan tidak bertanggung jawab sehingga semakin memarakkan situasi kezaliman tanpa ada sedikit pun hati nurani kekuasaan dan insan pers bahwa sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa juga Maha Mengetahui apa-apa yang dinyatakan dan tidak dinyatakan manusia (surah Yasin ayat 76).
Tiga sumber kezaliman penegakan hukum pasti akan berbuah karma, terutama bagi mereka yang taat beragama, karena itu hanya ada dua golongan manusia dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu yang sesat dan yang mulia di sisi-Nya. Tiga sumber kezaliman penegakan hukum inilah yang akan menjadi dorongan keadaan di mana musibah dan malapetaka semakin merundung kehidupan manusia Indonesia.
Tiga sumber kezaliman penegakan hukum dalam praktik dikuatkan oleh pendapat ahli yang tidak memiliki integritas dan bersedia `melacurkan ilmunya' demi kepentingan pribadi atau ke lompoknya. Hal ini mengakibatkan pertimbangan pengambilan putusan sejak penyidikan sampai pada putusan pengadilan menjadi bias dan kental "dagang hukum".
Praktik yang tidak terpuji itu telah terjadi dalam kasus sisminbakum dimana penulis telah menjadi korban kezaliman penegak hukum sejak proses penetapan tersangka sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada akhirnya kebenaran juga yang diridhai Allah SWT yang menyelamatkan penulis dari kezaliman yang bersumber dari kekuasaan, kebencian, dan juga uang karena lawan yang dihadapi adalah grup kong lomerat BLBI yang bersedia mengucurkan dana Rp 50 miliar untuk menjerumuskan penulis ke dalam bui sehingga tidak lagi dapat mengusik-ngusik BLBI sekaligus proses pembunuhan karakter penulis.
Akibat sosial yang harus penulis tanggung dari kezaliman tersebut masih terasa sampai saat ini, yakni oleh ICW dan KPK dianggap layaknya "orang berpenyakit lepra" sekalipun secara hukum telah dinyatakan bebas dari hukuman oleh Mahkamah Agung RI. Tiga sumber kezaliman ini semakin nyata ketika penulis mendekam di cabang Rutan Salemba di Kejaksaan Agung selama 5 bulan dan 5 hari. Wawancara dengan 16 orang tahanan telah diperoleh kesimpulan bahwa 7 (tujuh) dari 17 (tujuh belas) tahanan ketika itu termasuk penulis, telah menjadi korban kezaliman yang bersumber dari uang, kekuasaan, dan kebencian aparatur penegak hukum.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar