Untuk kesekian kalinya Presiden Anis Matta bisa menunjukkan apa makna 3 besar PKS itu dalam jangkauan realistis penguasaan wilayah Indonesia. Terbukti sampai saat ini PKS memiliki jaringan keterwakilan di wilayah provinsi sekelas dengan Golkar dan Demokrat, yakni memiliki keterwakilan 8-9 Gubernur. Dan hanya berbeda sedikit dengan PDIP yang mencapai 11 Gubernur. Sehingga nampak benar peta persaingan penguasaan wilayah PKS memang sudah sekelas partai-partai besar yang secara fenomenal menguasai peta politik tanah air.
Namun yang menarik adalah trend itu positif buat PKS dan sementara Demokrat masih berhadapan dengan masalah internal partai. Sebagaimana kita ketahui manuver Anas Urbaningrum yang sudah menjadi fakta adalah dengan bergulirnya PPI. Dimana dari pendiriannya saja sudah mulai membuat beberapa kader Demokrat berani menyeberang ke PPI ini sampai rela dipecat dari kursi empuk anggota dewan yang terhormat. Tentu ini semakin memuluskan perjuangan PKS menguasai 3 besar itu.
Trend positif itu pun terus didukung dengan beberapa kemenangan di pilkada daerah tingkat-II. Dimana kabar terakhir di daerah basis PDIP, calon yang diusung PKS dan partai lainnya memenangkan pilkada di sana. Dimana Paryono calon yang diusung PDIP, yang masih menjabat Wakil Bupati dan Ketua DPC, serta dipasangkan dengan DIah Shintawati calon dari Demokrat, dikalahkan oleh calon yang diusung oleh Golkar, PKS, PAN dan Gerindra. Berita lebih lengkap.
Sebelumnya, dalam pertarungan pilkada yang menunjukkan refresentasi kerja jaringan PKS juga memenangkan 3 pilkada dari 5 pilkada di Sulawesi Selatan. Bahkan sekum DPW PKS Sulsel, Amru Saher yang bertarung di pilkada Luwu menurut quick count Celebes Research Centre (CRC) menang dengan prosentase 45,85%. Berita lebih lengkap.
Tentu saja membaca kemenangan PKS jangan dibaca sebagai kemenangan politik dengan gaya politik partai-partai pada umumnya. Karena kemenangan ini membawa arus bergeraknya jaringan PKS yang mengakar dan terkonsolidasi. Dimana sebuah kemenangan itu adalah hasil sebuah kerja yang bisa membuat kerja lain yang membuat kapitalisasi suara. Dimana jaringan itu bisa memaintenance dan berdampak untuk tumbuh meluas.
Apalagi dengan kemenangan-kemenangan di daerah-daerah yang memiliki jaringan pemerintahan DT-I yang Gubernurnya diusung oleh PKS juga. Seperti yang terjadi di pilkada Padang Panjang. Paslon yang diusung PKS memenangkan pertarungan dengan petahana. Berita lebih lengkap.
Dengan demikian pemerintahan DT-I akan lebih mudah membuat jaringan kerja yang masiv, terbuka dan berakselerasi tinggi untuk pembangunan. Sebagaimana yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat. Begitu seorang Ridwan Kamil yang maju dari tiket PKS untuk Walikota Bandung terpilih, tidak lama kemudian idenya soal monorel sudah mendapat ruang dari gubernur Jabar untuk realisasi di Bandung Raya, bukan hanya kota Bandung.
Betapa strategisnya penguasaan wilayah dalam membaca kekuatan partai dalam skala nasional, sesungguhnya merupakan second-opinion dari survey kepartaian yang banyak dilakukan sejauh ini. Karena perolehan dalam setiap pilkada ini lebih faktual dari survey. Sehingga lebih layak menjadi perhatian dan tentu saja ini difahami oleh para petinggi partai dan pemain politik yang membaca dengan cermat.
Apalagi mengingat, jaringan dari setiap layer kepemimpinan secara nasional juga harus mendapat dukungan oleh jaringan kepemerintahan secara politik dan struktur formil. Ini bisa dirasakan oleh kepemimpinan perubahan yang idealis dan visioner dari seorang Jokowi di Jakarta yang harus berhadapan frontal dengan kepemimpinan pusat atau perangkat kepemimpinan lainnya. Terlebih bila itu sudah menyangkut adu kuat jaringan politik yang bisa membuat sebuah masalah sederhana menjadi sangat aneh.
Saya pribadi sampai ‘gemes’ mendengar ungkapan Jokowi yang sudah sedemikian vulgar menyebutkan “angkotan transportasi yang murah, bukan mobil murah”. Kita semua sudah faham pertentangan ide dasar perbaikan kemacetan di Jakarta itu seperti apa, dan bagaimana pergulatan idealisme dan fragmatisme yang ada. Sehingga, kekuatan seorang tokoh pendobrak itu memang mesti memiliki benteng yang kokoh berupa kerja politik untuk membuat sebuah idealisme bisa tuntas sampai ke tingkat aplikasi.
Ini yang harus kita fahami, bahwa dikotomis antara tokoh dan kepartaian harus dihentikan. Dimana tokoh yang memiliki integritas perbaikan dengan partai yang juga memiliki intergitas yang sama tentang kecintaan kepada bangsa ini, harus mulai membuat kerja yang harmonis.
Untuk itulah seorang Presiden Anis Matta, yang mulai bisa mengkolaborasikan antara berbagai potensi bangsa terlihat memiliki peran politis dalam menggagas perbaikan yang idealis namun realistis. Sehingga orang-orang semacam Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan mungkin berbagai tokoh fenomenal dan inspiratif bangsa ini bisa semakin leluasa mencurahkan hasil kerjanya bagi perbaikan bangsa ini.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Namun yang menarik adalah trend itu positif buat PKS dan sementara Demokrat masih berhadapan dengan masalah internal partai. Sebagaimana kita ketahui manuver Anas Urbaningrum yang sudah menjadi fakta adalah dengan bergulirnya PPI. Dimana dari pendiriannya saja sudah mulai membuat beberapa kader Demokrat berani menyeberang ke PPI ini sampai rela dipecat dari kursi empuk anggota dewan yang terhormat. Tentu ini semakin memuluskan perjuangan PKS menguasai 3 besar itu.
Trend positif itu pun terus didukung dengan beberapa kemenangan di pilkada daerah tingkat-II. Dimana kabar terakhir di daerah basis PDIP, calon yang diusung PKS dan partai lainnya memenangkan pilkada di sana. Dimana Paryono calon yang diusung PDIP, yang masih menjabat Wakil Bupati dan Ketua DPC, serta dipasangkan dengan DIah Shintawati calon dari Demokrat, dikalahkan oleh calon yang diusung oleh Golkar, PKS, PAN dan Gerindra. Berita lebih lengkap.
Sebelumnya, dalam pertarungan pilkada yang menunjukkan refresentasi kerja jaringan PKS juga memenangkan 3 pilkada dari 5 pilkada di Sulawesi Selatan. Bahkan sekum DPW PKS Sulsel, Amru Saher yang bertarung di pilkada Luwu menurut quick count Celebes Research Centre (CRC) menang dengan prosentase 45,85%. Berita lebih lengkap.
Tentu saja membaca kemenangan PKS jangan dibaca sebagai kemenangan politik dengan gaya politik partai-partai pada umumnya. Karena kemenangan ini membawa arus bergeraknya jaringan PKS yang mengakar dan terkonsolidasi. Dimana sebuah kemenangan itu adalah hasil sebuah kerja yang bisa membuat kerja lain yang membuat kapitalisasi suara. Dimana jaringan itu bisa memaintenance dan berdampak untuk tumbuh meluas.
Apalagi dengan kemenangan-kemenangan di daerah-daerah yang memiliki jaringan pemerintahan DT-I yang Gubernurnya diusung oleh PKS juga. Seperti yang terjadi di pilkada Padang Panjang. Paslon yang diusung PKS memenangkan pertarungan dengan petahana. Berita lebih lengkap.
Dengan demikian pemerintahan DT-I akan lebih mudah membuat jaringan kerja yang masiv, terbuka dan berakselerasi tinggi untuk pembangunan. Sebagaimana yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat. Begitu seorang Ridwan Kamil yang maju dari tiket PKS untuk Walikota Bandung terpilih, tidak lama kemudian idenya soal monorel sudah mendapat ruang dari gubernur Jabar untuk realisasi di Bandung Raya, bukan hanya kota Bandung.
Betapa strategisnya penguasaan wilayah dalam membaca kekuatan partai dalam skala nasional, sesungguhnya merupakan second-opinion dari survey kepartaian yang banyak dilakukan sejauh ini. Karena perolehan dalam setiap pilkada ini lebih faktual dari survey. Sehingga lebih layak menjadi perhatian dan tentu saja ini difahami oleh para petinggi partai dan pemain politik yang membaca dengan cermat.
Apalagi mengingat, jaringan dari setiap layer kepemimpinan secara nasional juga harus mendapat dukungan oleh jaringan kepemerintahan secara politik dan struktur formil. Ini bisa dirasakan oleh kepemimpinan perubahan yang idealis dan visioner dari seorang Jokowi di Jakarta yang harus berhadapan frontal dengan kepemimpinan pusat atau perangkat kepemimpinan lainnya. Terlebih bila itu sudah menyangkut adu kuat jaringan politik yang bisa membuat sebuah masalah sederhana menjadi sangat aneh.
Saya pribadi sampai ‘gemes’ mendengar ungkapan Jokowi yang sudah sedemikian vulgar menyebutkan “angkotan transportasi yang murah, bukan mobil murah”. Kita semua sudah faham pertentangan ide dasar perbaikan kemacetan di Jakarta itu seperti apa, dan bagaimana pergulatan idealisme dan fragmatisme yang ada. Sehingga, kekuatan seorang tokoh pendobrak itu memang mesti memiliki benteng yang kokoh berupa kerja politik untuk membuat sebuah idealisme bisa tuntas sampai ke tingkat aplikasi.
Ini yang harus kita fahami, bahwa dikotomis antara tokoh dan kepartaian harus dihentikan. Dimana tokoh yang memiliki integritas perbaikan dengan partai yang juga memiliki intergitas yang sama tentang kecintaan kepada bangsa ini, harus mulai membuat kerja yang harmonis.
Untuk itulah seorang Presiden Anis Matta, yang mulai bisa mengkolaborasikan antara berbagai potensi bangsa terlihat memiliki peran politis dalam menggagas perbaikan yang idealis namun realistis. Sehingga orang-orang semacam Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan mungkin berbagai tokoh fenomenal dan inspiratif bangsa ini bisa semakin leluasa mencurahkan hasil kerjanya bagi perbaikan bangsa ini.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar