Demokrasi harus menguntungkan Amerika dan Barat. Jika tidak, maka harus diberangus.
Mohammed Mursi Issa Ayyat, menjadi Presiden ke-5 Mesir yang menjabat sejak 30 Juni 2012. Dialah Presiden Mesir pertama yang hafal Al Qur’an. Bahkan istri dan kelima anaknya juga Penghafal Al Qur’an. Ketiga cucunya pun dibesarkan dalam alunan Qur’an.
Sejak 30 April 2011, Mursi menjabat Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), partai politik yang didirikan Ikhwanul Muslimin setelah Revolusi Tahrir 2011. Ia maju sebagai calon presiden dari FJP pada pemilu presiden Mei-Juni 2012. Penghafal Qur’an ini mendapat kepercayaan mayoritas (51,7%) rakyat Mesir untuk jadi presiden.
Namun baru setahun memerintah, militer mengkudetanya. Setelah merampas kekuasaan Ikhwanul Muslimin, junta militer menangkap dan memenjarakan Presiden Terpilih Muhammad Mursi, menangkapi tokoh-tokoh Ikhwan, membunuhi pengikutnya termasuk keluarga tokoh Ikhwan dengan ganas, dan membubarkan serta melarang partai tersebut.
Meski tragedi di Mesir jelas-jelas kudeta militer, namun Amerika Serikat tidak pernah menyebutnya sebagai kudeta militer. Sebab, Amerika adalah induk semang militer Mesir. Bahkan militer Mesir mendapat bantuan Amerika terbesar kedua setelah bantuan untuk militer Israel.
Mengapa Amerika yang konon biangnya demokrasi, malah merampok hasil demokrasi di Mesir?
Sebab, kebijakan Mursi dinilai tidak lagi menguntungkan kepentingan Amerika. Yang fatal adalah membuka Refah, gerbang perbatasan Mesir-Gaza. Ini ancaman serius buat Israel.
Demokrasi, dalam kamus politik Amerika, adalah ‘’US-first’’ dan ‘’Israel-first’’. Seperti dikatakan mantan presiden George W Bush: ”Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).
Mesir bukan satu-satunya korban demokrasi. Sebelumnya, Palestina pun merasakan. Setelah memenangi Pemilu di Palestina secara telak, pada 2006 Hamas menggantikan rejim Fatah di Gaza. Memperoleh dukungan publik 70%, Hamas berbaik hati memberikan kursi presiden kepada Fatah (Mahmoud Abbas).
Namun Abbas yang antek Amerika-Israel, terus berulah. Ketika Israel menyerbu Lebanon dan Gaza pada 2006, Abbas malah berniat menggelar referendum di Gaza. Dia berpikir, dengan serangan militer Israel dan pemboikotan Arab serta Barat, mayoritas warga Gaza bakal berbalik memilih Fatah yang diayomi Barat.
Gagal dengan referendum, pada 14 Juni 2007 Presiden Mahmoud Abbas langsung saja mengkudeta pemerintahan Hamas di bawah PM Ismail Haniya. Dia lalu mengumumkan kondisi gawat darurat di Jalur Gaza.
Perang saudara pun meletus. Sehari kemudian, Hamas menguasai Jalur Gaza setelah menaklukkan pasukan keamanan Fatah loyalis Abbas. Mahmoud Abbas tersingkir.
Setelah anteknya kalah, pada 27 Desember 2008, tiga angkatan militer Israel menyerbu Gaza dengan senjata senapan mesin berat, bom pintar GBU-235, bom fosfor putih (Wiily Pete), bom perontok manusia (Dense Inert Metal Explosive), bom berkadar nuklir rendah (depeleted uranium), dan anjing-anjing buas.
Selama 3 pekan agresi Israel atas Gaza, lebih dari 1300 warga Gaza tewas terbantai, termasuk 400-an bocah dan 100-an perempuan.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, agresi Israel sampai medio Januari 2009 menyebabkan sekitar 26.000 warga Gaza menjadi pengungsi baru. Sekitar 20.000 bangunan penduduk porak-poranda dan 4000-an infrastruktur umum hancur total termasuk 18 gedung sekolah dan perguruan tinggi, diantaranya Universitas Islam Gaza.
Sebelum tragedi di Palestina, demokrasi juga menjadi pil pahit bagi Aljazair. Pada pemilu putaran pertama, 26 Desember 1991, ketika FIS (Front Penyelamatan Islam atau Islamic Front Salvation) memenangkan pemilu multi partai di Aljazair dan tinggal selangkah lagi menguasai pemerintahan, pemerintah Aljazair dengan dukungan militer dan Barat tiba-tiba membredelnya tiga hari menjelang pelaksanaan pemilu putaran kedua.
Demokrasi Indonesia
Indonesia pun pernah mengalami tragedi demokrasi. Partai Masyumi yang hendak menerapkan syariat Islam di Tanah Air, dijegal. Padahal, Masyumi sempat memenangi pemilu secara nasional dan menguasai Parlemen dengan PM Moh Natsir.
Akhirnya, hanya Pemilu 1955 itu yang terus dikenang sebagai pemilu paling demokratis pertama di Indonesia. Sedangkan tragedi yang menimpa Masyumi akibat demokrasi, tak menjadi pelajaran berharga bagi politisi muslim. Bahkan sebagian tokoh Muslim haqqul yaqin bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik bagi masa depan Indonesia.
Setelah menyelenggarakan pemilu 2004, Indonesia diberi “Medali Demokrasi” oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik). Indonesia juga menjadi tuan rumah Konferensi IAPC ke-40 di Bali tahun 2007. Co Chairman Komite Konferensi IAPC, Robert Murdoch, mengatakan, pemilihan ini selain sebagai penghormatan bagi Indonesia juga merupakan syiar demokrasi di seluruh dunia (web.bisnis.com, 13/11/07).
Memang, pemilu 2004 dan selanjutnya bukan cuma milik Indonesia. Amerika misalnya, turut ‘’menentukan’’ pemilu 2004 dengan gelontoran duit Rp 32 Milyar melalui 28 institusi yang kebanyakan LSM.
Untuk cawe-cawe pemilu 2009, dana asing ke Indonesia mencapai 12,35 juta USD, berasal dari Australia, Belanda, Inggris , Kanada, Spanyol, dan Swedia. Sedangkan duit asing yang tak melalui UNDP sebesar US$38,1 juta. Antara lain dari Amerika US$7 juta dan Australia US$19 juta. Demikian pemaparan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo di Kantor Bappenas, Jakarta (19/9/2008).
Amien Rais pernah mensinyalir bahwa Presiden SBY menerima dana kampanye dari Amerika. Dengan emosional SBY membantah. Dan akhirnya, ‘’silaturahim Bandara Halim’’ Amien-SBY mengubur hak rakyat untuk mengetahui dusta apa diantara mereka. Yang jelas, Amien kemudian bungkam soal itu dan dia aman dari kriminalisasi dana kampanye Rp 200 juta yang diterimanya dari dana pungutan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Produk Pro-Asing
Dengan mensponsori pemilu di Indonesia, kepentingan asing menelusup di bilik-bilik gedung MPR dan DPR RI. Hasilnya, UUD 45 diamandemen berkali-kali sehingga sangat liberalistik. Demikian pula UU sebagai produk legislasi DPR.
Misalnya UU di bidang energi. Menurut pengamat politik-ekonomi Ichsanuddin Noorsy, kebijakan BBM dan listrik Indonesia sesuai dengan amanat kepentingan asing. ‘’Ini memperlihatkan pemerintah sudah didikte asing agar subsidi dihapus,’’ tandas Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP).
Ichsanuddin mengingatkan, kenaikan TDL (tarif dasar listrik) adalah bagian dari skenario liberalisasi listrik berdasarkan UU No 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. Sedang kenaikan harga BBM, sesuai UU Migas No 22/2001 yang disusun atas arahan dan dukungan biaya USAID serta World Bank.
Sejak awal Mei 2011, IMF mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Dalihnya, guna menahan laju subsidi yang terus meroket karena tingginya harga minyak.
Hal itu disampaikan oleh Senior Representative IMF Milan Zavadjil di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Selasa (3/5/2011).
"Pemerintah harus melakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi. Kebijakan ini dibutuhkan saat ini bukan hanya karena ada risiko kenaikan harga minyak internasional. Namun karena subsidi BBM ini sangat tidak produktif," kata Milan.
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembatasan tadi hanya akan menguntungkan sebagian pihak. PT Pertamina misalnya, sebagai pemasar BBM bersubsidi bakal kehilangan omset konsumen premium. Sebab, belum tentu pengguna premium beralih ke Pertamax. Bisa saja mereka membeli BBM di SPBU Shell, Petronas, maupun Total. "Ini sudah menjadi risiko pasar BBM yang terbuka," katanya.
Hal itu diakui Pertamina. “Pertamina mengakui ada konsekuensi bisnis atas pemberlakuan pembatasan BBM Subsidi yang akan menguntungkan SPBU-SPBU asing,” jelas VP Corporate Communications Pertamina, Mochamad Harun dalam acara Olimpiade Science Nasional Pertamina di Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/9/2010).
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Mohammed Mursi Issa Ayyat, menjadi Presiden ke-5 Mesir yang menjabat sejak 30 Juni 2012. Dialah Presiden Mesir pertama yang hafal Al Qur’an. Bahkan istri dan kelima anaknya juga Penghafal Al Qur’an. Ketiga cucunya pun dibesarkan dalam alunan Qur’an.
Sejak 30 April 2011, Mursi menjabat Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), partai politik yang didirikan Ikhwanul Muslimin setelah Revolusi Tahrir 2011. Ia maju sebagai calon presiden dari FJP pada pemilu presiden Mei-Juni 2012. Penghafal Qur’an ini mendapat kepercayaan mayoritas (51,7%) rakyat Mesir untuk jadi presiden.
Namun baru setahun memerintah, militer mengkudetanya. Setelah merampas kekuasaan Ikhwanul Muslimin, junta militer menangkap dan memenjarakan Presiden Terpilih Muhammad Mursi, menangkapi tokoh-tokoh Ikhwan, membunuhi pengikutnya termasuk keluarga tokoh Ikhwan dengan ganas, dan membubarkan serta melarang partai tersebut.
Meski tragedi di Mesir jelas-jelas kudeta militer, namun Amerika Serikat tidak pernah menyebutnya sebagai kudeta militer. Sebab, Amerika adalah induk semang militer Mesir. Bahkan militer Mesir mendapat bantuan Amerika terbesar kedua setelah bantuan untuk militer Israel.
Mengapa Amerika yang konon biangnya demokrasi, malah merampok hasil demokrasi di Mesir?
Sebab, kebijakan Mursi dinilai tidak lagi menguntungkan kepentingan Amerika. Yang fatal adalah membuka Refah, gerbang perbatasan Mesir-Gaza. Ini ancaman serius buat Israel.
Demokrasi, dalam kamus politik Amerika, adalah ‘’US-first’’ dan ‘’Israel-first’’. Seperti dikatakan mantan presiden George W Bush: ”Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).
Mesir bukan satu-satunya korban demokrasi. Sebelumnya, Palestina pun merasakan. Setelah memenangi Pemilu di Palestina secara telak, pada 2006 Hamas menggantikan rejim Fatah di Gaza. Memperoleh dukungan publik 70%, Hamas berbaik hati memberikan kursi presiden kepada Fatah (Mahmoud Abbas).
Namun Abbas yang antek Amerika-Israel, terus berulah. Ketika Israel menyerbu Lebanon dan Gaza pada 2006, Abbas malah berniat menggelar referendum di Gaza. Dia berpikir, dengan serangan militer Israel dan pemboikotan Arab serta Barat, mayoritas warga Gaza bakal berbalik memilih Fatah yang diayomi Barat.
Gagal dengan referendum, pada 14 Juni 2007 Presiden Mahmoud Abbas langsung saja mengkudeta pemerintahan Hamas di bawah PM Ismail Haniya. Dia lalu mengumumkan kondisi gawat darurat di Jalur Gaza.
Perang saudara pun meletus. Sehari kemudian, Hamas menguasai Jalur Gaza setelah menaklukkan pasukan keamanan Fatah loyalis Abbas. Mahmoud Abbas tersingkir.
Setelah anteknya kalah, pada 27 Desember 2008, tiga angkatan militer Israel menyerbu Gaza dengan senjata senapan mesin berat, bom pintar GBU-235, bom fosfor putih (Wiily Pete), bom perontok manusia (Dense Inert Metal Explosive), bom berkadar nuklir rendah (depeleted uranium), dan anjing-anjing buas.
Selama 3 pekan agresi Israel atas Gaza, lebih dari 1300 warga Gaza tewas terbantai, termasuk 400-an bocah dan 100-an perempuan.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, agresi Israel sampai medio Januari 2009 menyebabkan sekitar 26.000 warga Gaza menjadi pengungsi baru. Sekitar 20.000 bangunan penduduk porak-poranda dan 4000-an infrastruktur umum hancur total termasuk 18 gedung sekolah dan perguruan tinggi, diantaranya Universitas Islam Gaza.
Sebelum tragedi di Palestina, demokrasi juga menjadi pil pahit bagi Aljazair. Pada pemilu putaran pertama, 26 Desember 1991, ketika FIS (Front Penyelamatan Islam atau Islamic Front Salvation) memenangkan pemilu multi partai di Aljazair dan tinggal selangkah lagi menguasai pemerintahan, pemerintah Aljazair dengan dukungan militer dan Barat tiba-tiba membredelnya tiga hari menjelang pelaksanaan pemilu putaran kedua.
Demokrasi Indonesia
Indonesia pun pernah mengalami tragedi demokrasi. Partai Masyumi yang hendak menerapkan syariat Islam di Tanah Air, dijegal. Padahal, Masyumi sempat memenangi pemilu secara nasional dan menguasai Parlemen dengan PM Moh Natsir.
Akhirnya, hanya Pemilu 1955 itu yang terus dikenang sebagai pemilu paling demokratis pertama di Indonesia. Sedangkan tragedi yang menimpa Masyumi akibat demokrasi, tak menjadi pelajaran berharga bagi politisi muslim. Bahkan sebagian tokoh Muslim haqqul yaqin bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik bagi masa depan Indonesia.
Setelah menyelenggarakan pemilu 2004, Indonesia diberi “Medali Demokrasi” oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik). Indonesia juga menjadi tuan rumah Konferensi IAPC ke-40 di Bali tahun 2007. Co Chairman Komite Konferensi IAPC, Robert Murdoch, mengatakan, pemilihan ini selain sebagai penghormatan bagi Indonesia juga merupakan syiar demokrasi di seluruh dunia (web.bisnis.com, 13/11/07).
Memang, pemilu 2004 dan selanjutnya bukan cuma milik Indonesia. Amerika misalnya, turut ‘’menentukan’’ pemilu 2004 dengan gelontoran duit Rp 32 Milyar melalui 28 institusi yang kebanyakan LSM.
Untuk cawe-cawe pemilu 2009, dana asing ke Indonesia mencapai 12,35 juta USD, berasal dari Australia, Belanda, Inggris , Kanada, Spanyol, dan Swedia. Sedangkan duit asing yang tak melalui UNDP sebesar US$38,1 juta. Antara lain dari Amerika US$7 juta dan Australia US$19 juta. Demikian pemaparan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo di Kantor Bappenas, Jakarta (19/9/2008).
Amien Rais pernah mensinyalir bahwa Presiden SBY menerima dana kampanye dari Amerika. Dengan emosional SBY membantah. Dan akhirnya, ‘’silaturahim Bandara Halim’’ Amien-SBY mengubur hak rakyat untuk mengetahui dusta apa diantara mereka. Yang jelas, Amien kemudian bungkam soal itu dan dia aman dari kriminalisasi dana kampanye Rp 200 juta yang diterimanya dari dana pungutan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Produk Pro-Asing
Dengan mensponsori pemilu di Indonesia, kepentingan asing menelusup di bilik-bilik gedung MPR dan DPR RI. Hasilnya, UUD 45 diamandemen berkali-kali sehingga sangat liberalistik. Demikian pula UU sebagai produk legislasi DPR.
Misalnya UU di bidang energi. Menurut pengamat politik-ekonomi Ichsanuddin Noorsy, kebijakan BBM dan listrik Indonesia sesuai dengan amanat kepentingan asing. ‘’Ini memperlihatkan pemerintah sudah didikte asing agar subsidi dihapus,’’ tandas Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP).
Ichsanuddin mengingatkan, kenaikan TDL (tarif dasar listrik) adalah bagian dari skenario liberalisasi listrik berdasarkan UU No 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. Sedang kenaikan harga BBM, sesuai UU Migas No 22/2001 yang disusun atas arahan dan dukungan biaya USAID serta World Bank.
Sejak awal Mei 2011, IMF mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Dalihnya, guna menahan laju subsidi yang terus meroket karena tingginya harga minyak.
Hal itu disampaikan oleh Senior Representative IMF Milan Zavadjil di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Selasa (3/5/2011).
"Pemerintah harus melakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi. Kebijakan ini dibutuhkan saat ini bukan hanya karena ada risiko kenaikan harga minyak internasional. Namun karena subsidi BBM ini sangat tidak produktif," kata Milan.
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembatasan tadi hanya akan menguntungkan sebagian pihak. PT Pertamina misalnya, sebagai pemasar BBM bersubsidi bakal kehilangan omset konsumen premium. Sebab, belum tentu pengguna premium beralih ke Pertamax. Bisa saja mereka membeli BBM di SPBU Shell, Petronas, maupun Total. "Ini sudah menjadi risiko pasar BBM yang terbuka," katanya.
Hal itu diakui Pertamina. “Pertamina mengakui ada konsekuensi bisnis atas pemberlakuan pembatasan BBM Subsidi yang akan menguntungkan SPBU-SPBU asing,” jelas VP Corporate Communications Pertamina, Mochamad Harun dalam acara Olimpiade Science Nasional Pertamina di Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/9/2010).
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar