Membuktikan suatu perbuatan korupsi politik, khususnya perdagangan alias "jual beli" pengaruh, dinilai bukanlah perkara yang mudah. Dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi misalnya, akan menjadi kesulitan tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan penerimaan uang Rp 1,3 miliar oleh mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, sementara uang tersebut belum sampai di tangan Luthfi.
"Apakah misalnya uang yang Rp 40 miliar itu sudah ada bukti diterima pada yang disangkakan, ini sulitnya. Karena memang ada janji, tapi kalau dihukum, orang akan menuntut apakah uangnya sudah diterima, buktinya mana?" kata peneliti Centre for Strategic and International Studies J Kristiadi, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Kristiadi mendatangi Gedung KPK untuk mengikuti diskusi terbatas mengenai korupsi politik. Lebih jauh dia mengungkapkan, tidak mudah melibas korupsi politik karena sulit untuk menangkap orang yang melakukan perdagangan pengaruh.
"Yang sulit itu adalah perbuatannya, aksi mana yang dianggap tindakannya itu memperdagangkan pengaruh kekuasannya ini," kata Kristiadi.
Perdagangan pengaruh, katanya, sulit dibuktikan karena bedanya tipis dengan lobi-lobi politik. Kristiadi mengungkapkan, lobi politik dihalalkan hingga tahap tertentu. Ketika sudah ada transaksi dengan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan yang spesifik, maka lobi politik bisa dianggap sebagai perdagangan pengaruh.
"Sebab di politik, lobi tidak diharamkan. Tapi kalau ada transaksi kepentingan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan spesifik dari lobi itu," ungkap Kristiadi.
Dia juga mengungkapkan, lobi politik bisa menjadi perkara korupsi ketika otoritas kekuasaan yang diemban sang penyelenggara negara/pejabat digunakan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga dan bukan untuk kepentingan umum.
Sumber: kompas.com
"Apakah misalnya uang yang Rp 40 miliar itu sudah ada bukti diterima pada yang disangkakan, ini sulitnya. Karena memang ada janji, tapi kalau dihukum, orang akan menuntut apakah uangnya sudah diterima, buktinya mana?" kata peneliti Centre for Strategic and International Studies J Kristiadi, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Kristiadi mendatangi Gedung KPK untuk mengikuti diskusi terbatas mengenai korupsi politik. Lebih jauh dia mengungkapkan, tidak mudah melibas korupsi politik karena sulit untuk menangkap orang yang melakukan perdagangan pengaruh.
"Yang sulit itu adalah perbuatannya, aksi mana yang dianggap tindakannya itu memperdagangkan pengaruh kekuasannya ini," kata Kristiadi.
Perdagangan pengaruh, katanya, sulit dibuktikan karena bedanya tipis dengan lobi-lobi politik. Kristiadi mengungkapkan, lobi politik dihalalkan hingga tahap tertentu. Ketika sudah ada transaksi dengan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan yang spesifik, maka lobi politik bisa dianggap sebagai perdagangan pengaruh.
"Sebab di politik, lobi tidak diharamkan. Tapi kalau ada transaksi kepentingan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan spesifik dari lobi itu," ungkap Kristiadi.
Dia juga mengungkapkan, lobi politik bisa menjadi perkara korupsi ketika otoritas kekuasaan yang diemban sang penyelenggara negara/pejabat digunakan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga dan bukan untuk kepentingan umum.
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar