Oleh: Abu Nida
Follow Twitter: @AbuNida2008
Tahukan anda apa salah satu penyebab Kafir Quraisy membenci Islam dan Nabi Muhammad ketika itu?, kebencian mereka terhadap Islam dan Rasulullah bukan karena mereka benci dengan kejujuran Nabi Muhammad dan kemulyaan budi pekerti Rasulullah. Kebencian Kafir Quraisy terhadap Islam dan Nabi Muhammad justru karena mereka memahami makna Syahadatain.
Kafir Quraisy memahami bahwa dengan ucapan Syahadatain berarti seseorang telah menyerahkan hidupnya kepada Islam dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan Jahiliah yang dulu pernah dilakukannya, dengan Syahadain berarti seseorang tidak lagi jadi penyembah berhala, dengan Syahadatain berarti seseorang sudah tidak lagi tunduk dengan Undang-Undang Kafir Quraisy dan hanya taat kepada aturan Islam, dengan Syahadatain berarti juga seseorang akan menentang aturan-aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu ketika Abu Dzar Alghifari menyataan diri sebagai Pengikut Islam, beliau di hajar habis-habisan oleh orang-orang Kafir Quraisy.
Konsekwensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah berikrar dengan Syahadatain maka dirinya wajib untuk melakukan reformasi diri dari kehidupan sebelumnya dengan berusaha untuk merubah segala perilaku yang tidak mencerminkan perilaku sebagai Muslim
Tuntunan Islam pada konsekuensi syahadatain bukan sekadar muncul pada ikrar lisan namun menuntut pula keyakinan hati dan ketundukan perilaku. Maka seseorang yang bersya ha da h sem estinya terlahir kembali menjadi sesosok pribadi ‘baru’, seorang mukmin.
Pada saat Rasulullah saw bersama balatentara kaum Muslimin mengepung benteng Khaibar - sebuah perkampungan Yahudi, tersebutlah seorang budak berkulit hitam, keturunan Habsyi, penduduk perkampungan itu. Pekerjaannya menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Saat menyaksikan orang-orang Yahudi Khaibar memanggul senjata masing-masing, ia bertanya, “Apa yang hendak kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Kami akan memerangi orang yang mengaku dirinya sebagai nabi itu.”
Rupanya penyebutan kata-kata “nabi” itu amat berkesan di hatinya. Maka datanglah ia sambil tetap menggiring kambing-kambingnya menghadap Rasulullah saw dan bertanya, “Apa yang engkau ajarkan dan kepada apa engkau mengajak?” Rasulullah saw menjawab, “Aku mengajakmu kepada Islam, dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, serta tidak beribadah selain kepada Allah. ” Si penggem bala itu bertanya lagi, “Apa ya ng kuperoleh jika aku mengucapkan syahadat itu dan beriman kepada Allah?” Rasulullah saw menjawab, “Surga, jika engkau mati dalam keadaan iman.”
Maka budakhitamitu pun masuklslam kemudian ia berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kambing-kambing ini adalah amanah (titipan) padaku.” Rasulullah saw menjawab, “Keluarkanlah kambing-kambing itu dari perkemahan kita lalu lemparlah mereka dengan pasir maka Allah akan mengembalikan amanah yang ada padamu.” la pun melakukan apa yang disarankan Rasulullah saw dan kambing-kambing itu pun pulang kepada pemiliknya. Tahulah si Yahudi itu bahwa budaknya telah masuk Islam.
Rasulullah saw kini berdiri di hadapan para prajurit Muslim seraya memberikan nasihat, arahan, motivasi serta mengobarkan semangat kaum Muslimin untuk berjihad. Berkecamuklah pertempuran antara kedua pasukan. Tak terelakkan lagi beberapa prajurit berguguran dari kedua belah pihak. Ternyata di antara yang gugur dari pasukan Islam adalah budak hitam itu. Lalu para sahabat menggotongnya dan memasukannya ke dalam sebuah tenda dengan harapan Rasulullah saw akan memeriksanya. Begitu Rasulullah saw mengetahui bahwa budak hitam yang belum lama masuk Islam itu gugur, beliau berdiri di hadapan para sahabat seraya mengatakan, “Sungguh Allah telah memuliakan hamba sahaya ini dan menuntunnya kepada kebaikan. Ia telah beriman secara benar. Aku melihat dekat kepalanya dua bidadari padahal dia belum sempat melaksanakan shalat satu kali sujud pun!” (Zaadul-A/la’aad, Ibnul-Qayyim)
Begitulah syahadatain bekerja pada jiwa seseorang dan itulah contoh seorang manusia yang berinteraksi secara kejiwaan, pemikiran, dan perilaku dengan syahadatain. Interaksi yang baik dari segenap keparipurnaan manusia dengan syahadataintelah menampilkan keajaiban-keajaiban sikap dan perilaku. Syahdatain telah benar-benar mengubah manusia “lama” menjadi manusia model baru. Baru dalam tujuan dan orientasi hidup, baru dalam berpikir, baru dalam menilai dan menakar kehidupan, baru dalam mengambil pilihan tindakan dan perbuatan.
Dalam kasus si budak hitam penggembala itu, seluruh orientasi hidup sudah terarahkan dengan sangat pasti dan tegas yakni pengabdian kepada Allah swt. dan bukan kepada manusia manapun. Maka apa pun dia lakuan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah. Padahal ia belum sempat melaksanakan ibadah apa pun. Dan itu terjadi langsung setelah ia berikrar tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Maka hal ini menunjukkan betapa syahadatain dengan segala keagungannya memang memiliki daya dobrak yang dahsyat pada orang-orang yang berinteraksi dengannya secara penuh.
Itu pula yang terjadi pada semua sahabat Nabi saw. Perubahan total terjadi dalam kehidupan mereka setelah mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Tampak jelas perbedaan antara kehidupan mereka sebelum dengan sesudah mengikrarkan kalimat agung itu. Ustadz Muhammad Quthb menggambarkan bahwa mereka, sesaat setelah mengikrarkan laa ilaaha illallah, tiba-tiba menjadi makhlukyang sama sekali baru. Seolah-olah mereka baru terlahir kembali ke dunia.
Kita dapat melihat dengan sangat gamblang perubahan itu manakala kita menengok aqidah Quraisy saat itu. Menurut Muhammad Quthb, dalam bukunya, Mafahim Yanbaghi An Tushahhah, patung-patung dan berhala-berhala bukanlah satu-satunya jenis tuhan yang disembah di kalangan bangsa Arab. “Kemusyrikan di kalangan mereka bukanlah hanya satu warna,” tegasnya. Kemusyrikan, tulisnya, begitu banyak macam ragamnya. Dan secara garis besar induknya dua: politeisme (bertuhan banyak) dan mengikuti selain apa yang diturunkan oleh Allah swt.
Tradisi nenek moyang dan leluhur menjadi ilah yang disembah (QS Luqman: 21); Hawa nafsu juga menjadi rabb yang disembah; Quraisy dan kabilahkabilah besar lainnya menempatkan dirinya pada posisi rabb. Mereka mengharamkan apa yang mereka kehendaki dan menghalalkan apa yang mereka inginkan; Kabilah juga menjadi tuhan yang amat mengikat. Penyair mereka mengatakan: aku tiada bukan selain dari Ghaziyyah; jika ia sesat aku pun sesat; dan jika ia lurus aku pun turut.
Namun setelah mereka masuk Islam mengawalinya dengan syahadat seolah-olah tubuh dan jiwa mereka diformulasi ulang. Segala tuhan-tuhan yang semula begitu mendominasi jiwa dan kehidupannya serta merta bertumbangan. Dan hanya satu yang kemudian bertahan: Allah swt. Kabilah, tradisi nenek moyang, dan kelompok orang kuat tidak lagi menjadi tuhan yang mereka takuti atau cintai. Bahkan dunia tidak lagi menjadi obsesi kehidupannya.
Laa ilaaha illallah telah menjadi kunci persatuan dan perpisahan. Kalimat itu pun menjadi pengikat antara hati-hati yang sama-sama mengimaninya. Maka terbentuklah komunitas baru yang menggeser komunitas lama. Dan kepatuhan, ketaatan, serta ketundukan, kini hanya milik Allah swt. Semata, sehingga untuk kepatuhan pada selain Allah, jatah kepatuhan itu pun hanya manakala berada dalam rekomendasi-Nya saja
Follow Twitter: @AbuNida2008
Tahukan anda apa salah satu penyebab Kafir Quraisy membenci Islam dan Nabi Muhammad ketika itu?, kebencian mereka terhadap Islam dan Rasulullah bukan karena mereka benci dengan kejujuran Nabi Muhammad dan kemulyaan budi pekerti Rasulullah. Kebencian Kafir Quraisy terhadap Islam dan Nabi Muhammad justru karena mereka memahami makna Syahadatain.
Kafir Quraisy memahami bahwa dengan ucapan Syahadatain berarti seseorang telah menyerahkan hidupnya kepada Islam dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan Jahiliah yang dulu pernah dilakukannya, dengan Syahadain berarti seseorang tidak lagi jadi penyembah berhala, dengan Syahadatain berarti seseorang sudah tidak lagi tunduk dengan Undang-Undang Kafir Quraisy dan hanya taat kepada aturan Islam, dengan Syahadatain berarti juga seseorang akan menentang aturan-aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu ketika Abu Dzar Alghifari menyataan diri sebagai Pengikut Islam, beliau di hajar habis-habisan oleh orang-orang Kafir Quraisy.
Konsekwensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah berikrar dengan Syahadatain maka dirinya wajib untuk melakukan reformasi diri dari kehidupan sebelumnya dengan berusaha untuk merubah segala perilaku yang tidak mencerminkan perilaku sebagai Muslim
أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا
لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ
بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
١٢٢﴾ [ الأنعام : 122]
"Dan apakah orang yang sudah
mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang,
yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan". (QS al-An'am: 122).
: ﴿ إِنَّ ٱللَّهَ لَا
يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ﴾
] الرعد:11[
“Allah tidaklah merubah suatu kaum sehingga mereka mampu merubah diri
mereka sendiri” (QS. Ar-ra’d: 11)
Tuntunan Islam pada konsekuensi syahadatain bukan sekadar muncul pada ikrar lisan namun menuntut pula keyakinan hati dan ketundukan perilaku. Maka seseorang yang bersya ha da h sem estinya terlahir kembali menjadi sesosok pribadi ‘baru’, seorang mukmin.
Pada saat Rasulullah saw bersama balatentara kaum Muslimin mengepung benteng Khaibar - sebuah perkampungan Yahudi, tersebutlah seorang budak berkulit hitam, keturunan Habsyi, penduduk perkampungan itu. Pekerjaannya menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Saat menyaksikan orang-orang Yahudi Khaibar memanggul senjata masing-masing, ia bertanya, “Apa yang hendak kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Kami akan memerangi orang yang mengaku dirinya sebagai nabi itu.”
Rupanya penyebutan kata-kata “nabi” itu amat berkesan di hatinya. Maka datanglah ia sambil tetap menggiring kambing-kambingnya menghadap Rasulullah saw dan bertanya, “Apa yang engkau ajarkan dan kepada apa engkau mengajak?” Rasulullah saw menjawab, “Aku mengajakmu kepada Islam, dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, serta tidak beribadah selain kepada Allah. ” Si penggem bala itu bertanya lagi, “Apa ya ng kuperoleh jika aku mengucapkan syahadat itu dan beriman kepada Allah?” Rasulullah saw menjawab, “Surga, jika engkau mati dalam keadaan iman.”
Maka budakhitamitu pun masuklslam kemudian ia berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kambing-kambing ini adalah amanah (titipan) padaku.” Rasulullah saw menjawab, “Keluarkanlah kambing-kambing itu dari perkemahan kita lalu lemparlah mereka dengan pasir maka Allah akan mengembalikan amanah yang ada padamu.” la pun melakukan apa yang disarankan Rasulullah saw dan kambing-kambing itu pun pulang kepada pemiliknya. Tahulah si Yahudi itu bahwa budaknya telah masuk Islam.
Rasulullah saw kini berdiri di hadapan para prajurit Muslim seraya memberikan nasihat, arahan, motivasi serta mengobarkan semangat kaum Muslimin untuk berjihad. Berkecamuklah pertempuran antara kedua pasukan. Tak terelakkan lagi beberapa prajurit berguguran dari kedua belah pihak. Ternyata di antara yang gugur dari pasukan Islam adalah budak hitam itu. Lalu para sahabat menggotongnya dan memasukannya ke dalam sebuah tenda dengan harapan Rasulullah saw akan memeriksanya. Begitu Rasulullah saw mengetahui bahwa budak hitam yang belum lama masuk Islam itu gugur, beliau berdiri di hadapan para sahabat seraya mengatakan, “Sungguh Allah telah memuliakan hamba sahaya ini dan menuntunnya kepada kebaikan. Ia telah beriman secara benar. Aku melihat dekat kepalanya dua bidadari padahal dia belum sempat melaksanakan shalat satu kali sujud pun!” (Zaadul-A/la’aad, Ibnul-Qayyim)
Begitulah syahadatain bekerja pada jiwa seseorang dan itulah contoh seorang manusia yang berinteraksi secara kejiwaan, pemikiran, dan perilaku dengan syahadatain. Interaksi yang baik dari segenap keparipurnaan manusia dengan syahadataintelah menampilkan keajaiban-keajaiban sikap dan perilaku. Syahdatain telah benar-benar mengubah manusia “lama” menjadi manusia model baru. Baru dalam tujuan dan orientasi hidup, baru dalam berpikir, baru dalam menilai dan menakar kehidupan, baru dalam mengambil pilihan tindakan dan perbuatan.
Dalam kasus si budak hitam penggembala itu, seluruh orientasi hidup sudah terarahkan dengan sangat pasti dan tegas yakni pengabdian kepada Allah swt. dan bukan kepada manusia manapun. Maka apa pun dia lakuan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah. Padahal ia belum sempat melaksanakan ibadah apa pun. Dan itu terjadi langsung setelah ia berikrar tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Maka hal ini menunjukkan betapa syahadatain dengan segala keagungannya memang memiliki daya dobrak yang dahsyat pada orang-orang yang berinteraksi dengannya secara penuh.
Itu pula yang terjadi pada semua sahabat Nabi saw. Perubahan total terjadi dalam kehidupan mereka setelah mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Tampak jelas perbedaan antara kehidupan mereka sebelum dengan sesudah mengikrarkan kalimat agung itu. Ustadz Muhammad Quthb menggambarkan bahwa mereka, sesaat setelah mengikrarkan laa ilaaha illallah, tiba-tiba menjadi makhlukyang sama sekali baru. Seolah-olah mereka baru terlahir kembali ke dunia.
Kita dapat melihat dengan sangat gamblang perubahan itu manakala kita menengok aqidah Quraisy saat itu. Menurut Muhammad Quthb, dalam bukunya, Mafahim Yanbaghi An Tushahhah, patung-patung dan berhala-berhala bukanlah satu-satunya jenis tuhan yang disembah di kalangan bangsa Arab. “Kemusyrikan di kalangan mereka bukanlah hanya satu warna,” tegasnya. Kemusyrikan, tulisnya, begitu banyak macam ragamnya. Dan secara garis besar induknya dua: politeisme (bertuhan banyak) dan mengikuti selain apa yang diturunkan oleh Allah swt.
Tradisi nenek moyang dan leluhur menjadi ilah yang disembah (QS Luqman: 21); Hawa nafsu juga menjadi rabb yang disembah; Quraisy dan kabilahkabilah besar lainnya menempatkan dirinya pada posisi rabb. Mereka mengharamkan apa yang mereka kehendaki dan menghalalkan apa yang mereka inginkan; Kabilah juga menjadi tuhan yang amat mengikat. Penyair mereka mengatakan: aku tiada bukan selain dari Ghaziyyah; jika ia sesat aku pun sesat; dan jika ia lurus aku pun turut.
Namun setelah mereka masuk Islam mengawalinya dengan syahadat seolah-olah tubuh dan jiwa mereka diformulasi ulang. Segala tuhan-tuhan yang semula begitu mendominasi jiwa dan kehidupannya serta merta bertumbangan. Dan hanya satu yang kemudian bertahan: Allah swt. Kabilah, tradisi nenek moyang, dan kelompok orang kuat tidak lagi menjadi tuhan yang mereka takuti atau cintai. Bahkan dunia tidak lagi menjadi obsesi kehidupannya.
Laa ilaaha illallah telah menjadi kunci persatuan dan perpisahan. Kalimat itu pun menjadi pengikat antara hati-hati yang sama-sama mengimaninya. Maka terbentuklah komunitas baru yang menggeser komunitas lama. Dan kepatuhan, ketaatan, serta ketundukan, kini hanya milik Allah swt. Semata, sehingga untuk kepatuhan pada selain Allah, jatah kepatuhan itu pun hanya manakala berada dalam rekomendasi-Nya saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar