Inti ajaran semua agama samawi adalah ajaran Tauhid dan wajib diikuti oleh manusia pada zamannyaOleh: Abu Nida
Follow: @AbuNida2008
Bismillahirahmanirrahiim
Ikhwah Fillah Rahimakumullah, dalam pembahsan materi Tarbiyah bagian kedua dengan judul Arti Pentingnya Syahadatain Bagi Muslim ini akan dibahas pada poin ke-2, untuk mengikuti pembahasan bagian pertama silahkan baca kembali pada: Arti Pentingnya Syahadatain Bagi Muslim (Urgensi Syahadatain) Bagian Ke-1
Pada bagian kedua ini, sub topiknya adalah:
2. Syahadatain adalah Inti Sari Ajaran Islam
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Kalimat Syahadat itu terdiri dari dua bagian yaitu Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul, pengakuan bahwa hanya Allah yang harus dipertuhankan oleh Muslim dan hanya Allah tempat satu-satunya untuk menyembah dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah juga penutup para Nabi dan Rasul. Pembahasan tentang pengakuan ini telah dibahas pada bagian pertama dalam judul yang sama "Arti Pentingnya Syahadatain Bagi Muslim"
Dasar dari point kedua ini adalah firman Allah dalam surat Al-Anbiya' ayat 25 dan surat Al-Jatsiyah ayat 18:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
(Al-Anbiya' 25)
ثُمَّ
جَعَلْناكَ عَلى شَريعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْها وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَ
الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)
Inti dari kedua ayat tersebut pada ayat yang pertama menegaskan tentang ketauhidan dan yang kedua berisi tentang ketaatan pada syari'at atau hukum-hukum Islam. Allah tidak mengutus seorang Nabi dan Rasul kecuali Nabi dan Rasul tersebut membawa ajaran Tauhid, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Namun pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai macam penyimpangan yang dilakukan oleh para Pengikut agama-agama Samawi, dimana mereka memasukkan ajaran yang lahir dari Pemikiran atau kepentingan mereka kedalam agamanya bahkan di masukkan kedalam kitab suci mereka. Campur tangan manusia dalam merubah ayat-ayat kitab suci mereka kemudian melahirkan ajaran-ajaran yang aneh dan menyimpang, juga perbedaan makna krusial yang terjadi antara ayat yang satu dengan yang lainnya bahkan tidak jarang ditemukan pertentangan.
Konsep ke-Tuhanan dalam Islam sangat jelas bahwa Allah adalah Esa tidak beranak juga tidak dperanakkan, sebagaimana di sebutkan dalam Surat Al-Ikhlas
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ ﴿
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Untuk memahami lebih jauh tentang konsep ke-Tuhanan dalam Islam silahkan baca kembali dalam artikel sebelumnya yang berjudul Konsep Ke-Tuhanan Yang Nalaristik Dan Masuk Akal Dalam Surat Al-Ikhlas, kemudian bandingkanlah dengan Konsep ketuhanan Agama Yahudi dan Konsep Ketuhanan Agama Nasrani
Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa inti ajaran semua agama samawi adalah ajaran Tauhid dan harus diikuti oleh manusia pada zamannya, begitu juga dalam Islam. Islam mengajarkan bahwa hanya Allah yang wajib disembah dengan menafikan tuhan-tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah dan hal ini harus diikuti oleh semua manusia pada zaman Nabi Muhammad hingga akhir zaman
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ} (آل عمران:64)
“Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak persekutukan Dia dengan suatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb-rabb selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim (berserah diri kepada Allah)”. (QS. 3:64)
Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah orang yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang menolaknya. Karena menolak ajaran tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya. Dan orang yang menerima tauhid sebagai ajarannya akan mendapatkan keuntungan-keuntungan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’aala janjikan kepadanya. Di antaranya :
1. Darah dan hartanya dilindungi oleh Islam.
Nyawanya terlindungi dan hartanya terjaga kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh Islam.
((أُمِرتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَاسَ حَتىَّ يَشْهَدُوا أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمّداً رَسُولُ الله، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤتُوا الزَكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءُهُم وَأَمْوَالُهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلىَ اللهِ))
“Aku diperintahkan untuk memerangi sekalian manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakan itu semua maka terlindung dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam, dan perhitungan mereka di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’aala”.
Maksud dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kecuali dengan hak Islam”, adalah seorang muslim tidak boleh dibunuh kecuali apabila ia membunuh muslim yang lain, atau ia sudah menikah kemudian berzina, atau murtad seperti pindah agama atau meyakini ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka ketika itu pemerintah wajib menegakkan hukum had terhadap mereka.
2. Selamat dari kekal di neraka jahannam.
Karena seorang muwahhid (orang yang bertauhid) bagaimana pun besar dan banyak dosanya kepada Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pasti akan masuk surga, dan hanya orang-orang kafir yang menolak tauhidlah yang kekal selamanya di neraka. Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berfirman,
{إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ} (المائدة: 72)
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong”. (QS. 5:72).
3. Berkesempatan mendapatkan ampunan atas seluruh dosanya.
Seberapa banyak dan besarnya dosa seseorang (selagi bukan syirik), ada kesempatan diampuni Allah Subhanahu Wa Ta’aala bagi siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman;
{إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ } (النساء:48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. 4:48)
Karena seorang muwahhid apabila mati dan belum bertaubat dari dosa-dosanya maka dia di bawah kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’aala, apabila Allah Subhanahu Wa Ta’aala berkehendak akan mengampuni dosa-dosanya, dan apabila Dia berkehendak akan menyiksa sesuai kadar dosanya, kemudian apabila telah selesai perhitungan atas dirinya maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Inilah aqidah Ahlus Sunnah.
4. Dan seorang yang merealisasikan tauhid berhak untuk masuk surga tanpa diadzab dan dihisab. Dan mereka berjumlah 4.900.000 orang.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’anhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; “Ditampakkan kepadaku manusia yang banyak sekali, dan tiba-tiba terdengar, “Ini adalah ummatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab…mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, dan tidak minta di kay (diobati dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur (mengait-ngaitkan yang dilihat atau didengar dengan nasib) dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabbnya” Muttafaqun ‘Alaihi.
Dan dalam riwayat Ahmad dan Al Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Dan aku pun minta kepada Rabbku agar jumlah mereka ditambah dan Rabbku menambahkan, pada setiap kelipatan seribu ada tujuh puluh ribu lagi (yang masuk surga tanpa hisab dan adzab)”. Hadits ini dihasankan oleh Al ‘Allamah Al Muhaddits Muqbil Al Wadi’i Rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syafaat. Sehingga jumlah mereka adalah 4.900.000 orang. Dan ini merupakan keistimewaan yang besar.
5. Akan dimenangkan dari musuh-musuhnya dan dijadikan berkuasa di dunia.
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلاً إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ} (الروم:47)
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”. (QS. 30:47)
{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} (النور:55)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. (Qs. 24:55)
Inilah di antara keistimewaan-keistimewaan yang didapati oleh orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala.
Akan tetapi apabila kita melihat pada kehidupan ummat Islam sekarang ini kita menyaksikan mereka melakukan praktek-praktek ibadah yang berbeda-beda, ini semua adalah akibat perbedaan mereka dalam menafsirkan tauhid yang Allah Subhanahu Wa Ta’aala perintahkan. Padahal yang wajib adalah mengambalikan tafsirannya kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman,
{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} (البقرة:137)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. 2:137)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang harus ditiru keimanannya adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan ayat ini sekaligus sebagai rekomendasi Allah Subhanahu Wa Ta’aala terhadap mereka bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus.
Lantas apa tafsiran yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala;
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ} (الحج:62)
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. 22:62)
Kalimat ini memiliki dua rukun asasi…
Yang pertama adalah nafi dan kedua adalah itsbat.
1. Yang dimaksud dengan nafi adalah menolak segala macam peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari malaikat, nabi, orang-orang shalih dan benda-benda mati seperti gunung, lautan, batu, keris dan yang lain sebagainya.
2.Sedangkan itsbat adalah mengakui -ibadah- hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata.
Dan seseorang disebut muslim apabila telah terpenuhinya dua rukun tersebut dalam dirinya.
Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah dalam kitabnya Aqidah At-Tauhid (hal; 50-51) berkata, “Makna syahadat “Laa Ilaaha Illallaah” adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, berpegang teguh dengannya serta mengamalkannya. “Laa ilaaha” adalah pengingkaran terhadap setiap bentuk peribadatan yang ditujukan kepada siapapun selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala Dan “Illallah” adalah pengakuan bahwa ibadah hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata. Jadi makna kalimat ini secara global adalah tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala “.
Dan dikalangan ummat islam banyak beredar beberapa tafsiran yang salah tentang kalimat tauhid “Laa Iaha Illallah”, di antaranya;
1. Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
Tafsiran ini sekilas serupa dengan di atas, tapi apabila diperhatikan dan diteliti maknanya akan terlihat kebatilan yang tersembunyi pada perkataan ini. Tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala mengisyaratkan bahwa setiap yang diibadahi oleh jin dan manusia, hak atau pun batil peribadatan tersebut ia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
2. Tidak ada yang menciptakan selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
Tafsiran ini banyak beredar dikalangan kaum sufi dan lebih celaka lagi tafsir ini selain bertentangan dengan tafsiran yang benar, orang-orang kafir Quraisy yang menolak mengucapkannya ternyata lebih paham makna Laa Ilaha Illallah dari mereka. Karena mereka menolak mengucapkannya justru disebabkan mereka paham bahwa kalimat Laa Ilaha Illallah berarti tidak beribadah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala, tidak melakukan tawassul dengan malaikat dan orang-orang shalih. Adapun masalah penciptaan tidak pernah sekali pun terbersit pada diri-diri mereka bahwa Dzat Yang Maha Pencipta adalah selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala, hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’aala kabarkan dalam Al Qur’an;
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ} (العنكبوت:61)
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:”Allah”, maka bagaimana mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. 29:61)
Ayat ini jelas mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang kafir Quraisy paham dan mengerti bahwa tidak ada yang menciptakan, memiliki dan mengatur alam raya ini dan segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata, lantas apa faidahnya kalau mereka telah memahami hal ini dan meyakininya kemudian dituntut untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah sedangkan mereka tidak mengingkarinya?! Ini menandakan bahwa makna Laa Ilaha Illallah tidak seperti yang mereka kira. Wallahua’lam.
3. Tidak ada hukum selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
Tafsiran ketiga ini banyak beredar di kalangan anak-anak muda yang memiliki semangat dalam Islam tapi dangkal dalam ilmu (agama). Penyempitan makna terhadap kalimat Laa Ilaha Illallah yang terdapat pada tafsir ini jelas. Karena ibadah memiliki pengertian yang luas seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari perkataan, perbuatan yang lahir dan tersembunyi. Dan perkara tidak berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala adalah salah satu dari macam-macam ibadah yang tercakup dalam pengertian yang luas di atas. Dari sini kita mengetahui bahwa tafsiran ketiga ini adalah tafsiran yang sempit dan tidak mewakili makna yang benar.
4. Tidak ada tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
Paling tidak tafsiran ini tidak jelas maknanya. Apakah makna tuhan adalah Rabb sehingga makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memiliki dan mengatur alam raya ini dan segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Sehingga tafsiran ini sama dengan tafsiran kedua. Atau makna dari kata tuhan adalah Ilah yaitu Dzat Yang diibadahi.
Dan yang wajib dalam hal ini adalah memberikan arti yang benar kepada ummat Islam sehingga cukup dengan mendengarnya mereka sudah paham bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah larangan dari beribadah kepada siapapun selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala dan wajibnya memurnikannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata. Sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan, kepemilikan dan kekuasaan maka tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya.
Wallahua’lam.
Disarikan dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar