Oleh : Mega Simarmata, Editor in Chief KATAKAMI.COM
Kata memberi yang tertera dalam judul tulisan ini, jangan diartikan sempit yaitu seolah olah ada pemberian ala serangan fajar berupa pendistribusian mie instan dan amplop berisi uang untuk mempengaruhi surat suara pada Hari H Pilpres tanggal 9 Juli lusa.
Yang ingin saya ceritakan adalah indahnya persahabatan dan kerukunan antar umat beragama yang saya rasakan dari majunya sahabat saya Prabowo Subianto ke panggung perpolitikan di Indonesia bernama Pilpres.
Saya bukan tim sukses, bukan tim kampanye nasional atau timkamnas dari pasangan Prabowo dan Hatta, dan saya pun bukan staf Prabowo yang melekat dalam ring satunya selama dua bulan menjelang Pilpres ini.
Status saya hanya sederhana saja yaitu sebagai sahabat Prabowo.
Dan persahabatan kamipun bukan baru 2 bulan ini saja terjalin tapi sudah belasan tahun.
Walaupun kalau mau bicara jujur, persahabatan saya dengan Prabowo tak sedekat saya bersahabat dengan Keluarga Cendana.
Persahabatan saya dengan Mbak Titiek Soeharto, sudah terjalin sejak Mbak Titiek jadi Ibu Danjen Kopassus.
Dan Mbak Titiek bukan satu-satunya orang yang saya kenal dari Keluarga Cendana.
Pada bulan Maret 1998, Mas Bambang Trihatmodjo yang memasukkan saya ke Radio Trijaya, sehingga dalam proses yang hanya memakan waktu dua hari terjadilah perpindahan saya sebagai penyiar di Radio Ramako ke Radio Trijaya FM.
Mas Bambang Tri (BT) menelepon seseorang yang cukup penting dalam perusahaannya yang kebetulan sedang berada di Jepang.
“Tolong pulang ke Indonesia sekarang karena saya mau titip orang untuk kerja di Radio Trijaya” kata Mas Bambang Tri waktu itu.
Dan karena sangat berpengaruhnya seorang Bambang Tri yang merupakan salah seorang anak presiden paling berpengaruh saat itu maka orang yang ditelepon itu segera mencari tiket kepulangan tercepat untuk bisa segera tiba di tanah air.
Orang yang ditelepon ini menyangka bahwa Mas Bambang Tri akan memasukkan orang baru untuk posisi Komisaris Utama atau setingkat Direktur.
Ternyata tidak samasekali.
“Wah, masak kamu cuma mau jadi penyiar dan reporter saja? Saya kan tidak enak sama Pak Bambang. Jangan dong. Kamu mau jadi apa di manejemennya?” tanya orang yang penting itu.
“Enggak Pak terimakasih, saya tidak mau aji mumpung. Saya mau jadi reporter dan penyiar aja, sesuai dengan kemampuan saya” jawab saya waktu itu kepada orang penting itu.
Saya bisa berkawan dengan Mas Bambang Tri pun karena proses yang alamiah.
Saat Mas Bambang aktif mengikuti rapat-rapat di DPR sepanjang akhir tahun 1997 sampai awal 1998, saya satu-satunya wartawan yang mau menyapa.
Sebab beliau ini kan sangat pendiam.
Kalau ada jam istirahat di sela-sela rapat mereka, biasanya Mas Bambang Tri lebih banyak sendirian untuk membaca di mejanya.
Saya sapa, “Mas Bambang, saya Mega dari Radio Ramako”.
Berbulan-bulan bertemu dan sering ngobrol di DPR itulah yang membuat Bambang Tri menjadi kawan saya.
Saat Bambang Tri yang turun tangan secara langsung untuk memasukkan saya ke Radio Trijaya, ia tetap mengikuti proses perpindahan ini untuk memastikan bahwa saya diperlakukan baik.
“Ada masalah?” tanya Mas Bambang setelah saya bergabung di Radio Trijaya.
“Tidak ada Mas” jawab saya waktu itu.
Lalu atas perintah Mas Bambang Tri juga, saya diberi mobil dinas pada tahun pertama keberadaan saya di Radio Trijaya.
Dan mobil dinas itu disediakan oleh orang kepercayaannya yang langsung “terbirit-birit” pulang dari Jepang ke Indonesia karena BT menelepon untuk memasukkan orang baru ke Radio Trijaya.
Sampai Pak Harto tidak menjabat lagipun, beberapa kali saya masih bertemu dengan Mas Bambang Tri.
Misalnya waktu Pak Harto berada di sebuah lokasi dan banyak wartawan yang datang meliput.
Tiba-tiba telepon saya berbunyi, “Mega, saya ada didekat kamu sekarang” kata Mas Bambang Tri.
Saya langsung datang menghampirinya dan langsung menjabatnya penuh persahabatan.
Lalu dengan Mbak Mamiek, nama saya dikenal Mbak Mamiek karena Mbak Mamiek ini adalah pendengar setia saya di Radio Ramako.
Dan pernah lewat manajemen Taman Buah Mekar Sari, saya ditawari untuk menjadi pembaca acara atau MC saat saya menjadi penyiar Radio Ramako (antara tahun 1993-1998).
Waktu saya mendapat tawaran menjadi MC dalam acara yang digagas Taman Buah Mekar Sari, saya sempat iseng mengajukan angka bayaran yang sangat tinggi agar saya tidak perlu jadi MC mereka.
Ternyata tawaran saya diterima tanpa ada tawar-menawar apapun.
Tapi karena waktu itu, saya harus terbang ke Australia untuk ikut menghadiri acara wisuda dari abang saya dari sebuah universitas di Australia maka saya batalkan keikut-sertaan saya dalam acara tersebut.
Sehingga kalau sekarang saya banyak menulis soal Prabowo, itu bukan karena saya adalah sahabat karbitan yang datang dan menjelma jadi sahabatnya menjelang Prabowo menang dalam Pilpres 2014 ini.
Tidak samasekali.
Saya sudah kenal sangat lama dengan Prabowo.
Begitu juga dengan Keluarga Cendana, utamanya dengan Mas Bambang Tri dan Mbak Titiek.
Jadi saya bukan orang baru atau kawan karbitan yang seolah-olah muncul karena Prabowo diprediksi akan segera keluar sebagai pemenang Pilpres tahun 2014 ini.
Presiden PKS Anis Matta memberikan keterangan saat acara Deklarasi
dukungan PKS kepada Prabowo di Kantor DPP PKS, Jakarta, Sabtu
(17/5/2014).
Lama tak bersua, saya ingat betul kapan dan dimana saya bisa bertemu lagi dengan Prabowo dalam rangka keikut-sertaannya dalam Pilpres.
Kami bertemu lagi saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendeklarasikan dukungan koalisinya untuk mendukung menjadi pencapresan Prabowo yang diselenggarakan di Kantor PKS tanggal 17 Mei 2014.
Saat saya menghampiri Prabowo yang sedang duduk disamping Presiden PKS Anis Matta, saya sempat becanda ke Prabowo.
“Perkenalkan Pak, nama saya Mega, saya ini pengagum Bapak. Saya boleh kenalan gak?” kata saya waktu itu.
Dan Prabowo langsung tersenyum sembari menjawab seperti ini, “Gak usah kenalan. Saya sudah kenal. Saya sudah kenal lama”.
Koalisi antara Prabowo dan PKS itu, saya rangkum dalam sebuah tulisan yang berjudul “Bertemu Prabowo Saat Gerindra Berdiplomasi Peci“.
Sebab untuk menghormati PKS yang merupakan partai berbasiskan agama Islam, Prabowo meminta kepada semua rombongan Gerindra yang datang ke Kantor PKS untuk memakai peci.
Momen itu jugalah yang membuat saya jadi kenalan secara langsung dengan Presiden PKS Anis Matta dan Sekjen PKS Fachri Hamzah.
Pada kesempatan berikutnya, saya juga hadir saat Prabowo menjadi pembicara dalam acara konsolidasi PKS di Hotel Kartika Candra.
Saya menuliskan di akun twitter saya tentang bagaimana luar biasa kekaguman saya pada PKS.
Walau saya Kristen, saya memang sangat kagum pada PKS.
Bagi saya sebagai seorang jurnalis dan sebagai seorang non muslim, kader-kader PKS itu sangat solid dan kedisiplinan mereka begitu mengagumkan.
Ketika saya menuliskan kesan-kesan saya saat menghadiri konsolidasi PKS di Hotel Kartika Candra itu, pengikut atau followers saya di twitter masih sekitar 3000 orang.
Setelah saya banyak bercerita tentang Prabowo, termasuk soal PKS, dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini pengikut atau followers saya di twitter sudah naik menjadi hampir 9700 orang.
Ada kenaikan sekitar 6700 orang dalam kurun waktu 2 bulan.
Apalagi Pak Mahfud Siddhiq, salah seorang anggota DPR dari Fraksi PKS pernah menuliskan juga dalam akun twitterna, “Silahkan follow Mbak Mega Simarmata untuk tahu sisi lain dari Pak Prabowo”.
Maka berkawanlah saya dengan begitu banyak kader PKS di berbagai daerah dan di berbagai belahan dunia.
Dan saya senang, sangat senang, bahkan bertambah kagum pada kader-kader PKS.
Anis Matta pun sebagai Presiden PKS tidak sombong.
Beberapa kali kalau kami bertemu, justru beliau yang menyapa terlebih dahulu.
Maklum karena mata saya minus 5 dan plus 2 sehingga wajar kalau saya tidak bisa dengan cepat melihat jelas satu per satu orang yang ada dalam lokasi yang sama dengan saya.
Muzakir Manaf (Wakil Gubernur Aceh, yang juga merupakan Ketua Umum Dewan Pengurus Aceh Partai Aceh)
Tak cuma dari PKS, kawan baru saya juga bertambah lagi dari kalangan Islam.
Beberapa kali dalam dua bulan ini, Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf (mantan Panglima GAM), me-retweet atau mengirim ulang pesan saya di twitter.
Artinya bahwa tokoh Islam sekaliber Muzakir Manaf pun, kini mengakui saya sebagai sahabat.
Walaupun tidak seterbuka dan tidak sedekat antara saya dan kader-kader PKS.
Lalu baru-baru ini, saya kirimkan juga pesan kepada kawan-kawan Front Pembela Islam (FPI) melalui twitter.
Pesan saya itu isinya seperti ini, “Saya non muslim tapi bolehkah saya bersahabat dengan kalian?”.
Pesan saya ini mendapat respon yang sangat positif dari FPI.
Sehingga tidak heran ketika beberapa hari lalu, FPI menyampaikan kegundahan mereka karena bertebaran spanduk berisi fitnah yang menuliskan bahwa FPI akan merazia kalangan kafir.
Saya sampaikan respon saya kepada FPI melalui twitter, “Sabar saja, tidak usah dihiraukan”.
Pilpres, melalui sosok Prabowo Subianto, membawa hikmah dan berkah tersendiri untuk saya karena saat ini saya bisa mempunyai lebih banyak sahabat.
Terutama dari kalangan Islam.
Termasuk sahabat-sahabat saya dari kalangan Islam yang selalu bertemu saya di Rumah Polonia, yaitu aktivis sangat terkenal Eggy Sudjana, Ali Muchtar Ngabalin, dan Ustadz Sambo.
Ustadz Sambo ini adalah guru spiritual Prabowo sejak belasan tahun lalu dan ikut menemaninya saat berada di Yordania.
Bahkan sampai ke Pak Haji Harris, juga sangat baik pada saya setiap kali saya datang meliput ke Rumah Polonia.
Haji Harris inilah pemilik Rumah Polonia yang menjadi rumah pemenangan untuk pasangan Prabowo dan Hatta. Rumah Polonia ini, dulu pernah menjadi rumah tempat tinggal Bung Karno.
Tapi sekarang, rumah itu sudah dibeli oleh Pak Haji Harris.
Haji Harris adalah tokoh Islam yang sangat disegani dan merupakan tokoh agama yang sangat amat dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Jadi sepanjang bulan Ramadan ini, kalau tiba waktunya buka puasa maka jangan heran kalau di Rumah Polonia disediakan begitu banyak makanan.
Pak Haji Harris dan sejumlah timkamnas yang sudah mengenal saya (plus tahu bahwa saya sebenarnya non muslim), mereka tetap memperlakukan saya sangat baik dan mempersilahkan saya ikut menikmati hidangan buka puasa di ruang tamu Rumah Polonia.
“Simarmata, sudah buka puasa kau?” begitu sapa Ustadz Sambo dengan ramah kepada saya dalam sebuah kesempatan ketika saya berkunjung seperti biasanya ke Rumah Polonia pekan lalu.
Semua sangat baik di Rumah Polonia, itu yang sangat menyentuh hati saya,
Mereka semua sangat baik, sangat bersahabat dan begitu menghargai saya.
Ada nuansa persahabatan, persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama, yang tumbuh dan dipancarkan melalui spirit yang ditebarkan Prabowo dalam kampanye-kampanye positifnya selama ini.
Dan saya berterimakasih kepada Prabowo untuk bertambahnya sahabat-sahabat saya.
Semua ini mengingatkan saya pada sosok Gus Dur yang pada sebuah kesempatan beberapa tahun silam pernah mengatakan kepada saya seperti ini,
“Mega, Islam itu adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, bukan yang mengajarkan kekerasan”.
Terimakasih Mas Bowo, kini sahabat-sahabat saya menjadi lebih banyak dalam kerangka pluralisme dan semangat saling hormat-menghormati antar umat beragama.
Kalau bukan karena Prabowo, saya tak mungkin bisa mendapatkan sahabat-sahabat baru seperti ini.
Saya tutup tulisan ini dengan mengutip kalimat yang sering disampaikan sahabat saya Prabowo dalam banyak kesempatan, yaitu:
“Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”.
Best Friends Forever
Tidak ada komentar:
Posting Komentar