Menjadi aktifis dakwah bukanlah sekedar pilihan. Apalagi bagi akhwat al ummahat dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan? Ya, siapa yang dapat memungkiri bahwa ada keterbatasan yang tak dapat ‘diganggu gugat’ dari gerak langkah seorang aktivis dakwah akhwat?
Kita tak hendak membahas soal keterbatasan itu. Biarlah ia menjadi ‘kekhususan dan kekhasan’ kita. Yang lebih penting adalah, bagaimana dengan keterbatasan itu kita tetap dapat dan mampu memberi kontribusi untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Dalam sebuah kesempatan kunjungan saya ke kota Cairo beberapa waktu lalu, saya bertemu dan berdiskusi dengan para aktifis dakwah akhwat dari berbagai belahan dunia, bukan hanya dari dunia Islam, tapi juga dari Eropa Amerika dan Afrika. Banyak persoalan dibahas, tetapi satu persoalan yang menarik bagi saya adalah ternyata ada kesamaan problem yang diangkat oleh semua peserta diskusi. Itulah problem yang saya sering menyebutnya dengan ‘problem khas akhwat, atau problem klasik’. Khas karena problem itu hanya muncul dikalangan akhwat, klasik karena sebenarnya problem seperti ini telah muncul sejak lama, juga telah sering didiskusikan di berbagai forum dan kesempatan, formal maupun informal, tetapi seperti tidak pernah selesai.
Problem apakah itu? Tidak sedikit akhwat kita mengeluhkan tentang dukungan dan support suami dalam menjalankan peran sebagai aktifis dakwah. Saya rasa, kita tak perlu tergesa-gesa mengambil kesimpulan dari keluhan itu. Saya mengajak kita semua untuk berpikir jernih dan melakukan analisa sederhana terhadap sebab munculnya keluhan itu.
1. Boleh jadi jika suami kurang memberi dukungan seperti yang diharapkan istrinya yang aktifis itu, karena ada perbedaan persepsi tentang ‘peran akhwat al muslimat’. Saya katakan ‘boleh jadi’, karena mungkin antum wahai ikhwan tidak merasakan itu. Tetapi, cobalah tanya ke para akhwat, mereka akan dengan semangat mengatakan bahwa hal inilah yang mungkin menjadi akar dari semua masalah dukung mendukung itu.
2. Atau bisa jadi juga, karena suami ‘sangat sayang’ kepada istrinya. Dugaan ini muncul karena beberapa ikhwan tidak mempermasalahkan keaktifan akhwat dalam dakwah…asalkan bukan istrinya. Nah!Jujur, teman-teman saya pernah mendengar komentar dari kalangan ikhwan seperti ini, ‘Silahkan saja, akhwat kan memang harus aktif terlibat dalam dakwah, tapi jangan istri saya deh’.
3. Kemungkinan lainnya, boleh jadi suami melihat istrinya kurang bisa memanej dengan baik berbagai aktifitasnya. Istilah populernya, sang istri jadi ‘kurang tawazun’. Di antara keluhan suami, istri terlalu banyak keluar rumah sehingga jadi kurang perhatian terhadap urusan rumah, anak-anak dan dirinya.
Disamping tiga sebab diatas, tentu masih ada sebab lainnya, yang jika ditulis bisa menjadi tulisan berlembar-lembar. Sekarang marilah merenung sejenak.
Saya sepakat bahwa tidak semua akhwat harus menjadi aktifis dalam pengertian khusus, memberikan totalitas hidupnya untuk menjadi aktifis dakwah. Keberagaman potensi dan kemampuan dikalangan akhwat harus menjadi pertimbangan penting dalam membuat rancangan peran dan kontribusi akhwat yang pas dan sesuai dalam dakwah. Alangkah indahnya jika akhwat memiliki spesialisasi masing-masing, lalu semua bekerja dan memberi kontribusi sesuai spesialisasi potensinya itu dalam kerangka amal jama’i.
Wahai akhwat yang kucintai karena Allah, kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang ada. Kewajiban sebagai anak, istri, ibu, tetangga, anggota masyarakat dan aktifis dakwah, semua menuntut penunaian secara ihsan. Saya mengerti dan merasakan, betapa tidak mudahnya kita mengelola dan melaksanakan berbagai kewajiban itu. Kadang kita ‘tertatih-tatih’ menjalankan semua kewajiban itu. Tetapi, kita tidak ingin mengeluh atas semua beban itu. Bagi kita, inilah kesempatan untuk mempersembahkan perjuangan dan pengorbanan kita, bahwa kita ikhlas dengan semua beban-beban itu! Kenapa? Karena kita tahu dan yakin, ada balasan bagi orang-orang yang beramal.
Sebagai penutup, ingatlah bahwa Allah tidak melihat apa dan bagaimana kedudukan kita, tetapi Dia melihat amal dan kontribusi kita. Karena itu, apapun potensi dan kemampuan kita, beramallah dengannya. Sedangkan yang terbaik dan mulia disisi-Nya adalah yang paling bertakwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa diantaramu.” (QS Al- Hujurat:13). Wallahu’alam bish-shawab.(RKI)
Kita tak hendak membahas soal keterbatasan itu. Biarlah ia menjadi ‘kekhususan dan kekhasan’ kita. Yang lebih penting adalah, bagaimana dengan keterbatasan itu kita tetap dapat dan mampu memberi kontribusi untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Dalam sebuah kesempatan kunjungan saya ke kota Cairo beberapa waktu lalu, saya bertemu dan berdiskusi dengan para aktifis dakwah akhwat dari berbagai belahan dunia, bukan hanya dari dunia Islam, tapi juga dari Eropa Amerika dan Afrika. Banyak persoalan dibahas, tetapi satu persoalan yang menarik bagi saya adalah ternyata ada kesamaan problem yang diangkat oleh semua peserta diskusi. Itulah problem yang saya sering menyebutnya dengan ‘problem khas akhwat, atau problem klasik’. Khas karena problem itu hanya muncul dikalangan akhwat, klasik karena sebenarnya problem seperti ini telah muncul sejak lama, juga telah sering didiskusikan di berbagai forum dan kesempatan, formal maupun informal, tetapi seperti tidak pernah selesai.
Problem apakah itu? Tidak sedikit akhwat kita mengeluhkan tentang dukungan dan support suami dalam menjalankan peran sebagai aktifis dakwah. Saya rasa, kita tak perlu tergesa-gesa mengambil kesimpulan dari keluhan itu. Saya mengajak kita semua untuk berpikir jernih dan melakukan analisa sederhana terhadap sebab munculnya keluhan itu.
1. Boleh jadi jika suami kurang memberi dukungan seperti yang diharapkan istrinya yang aktifis itu, karena ada perbedaan persepsi tentang ‘peran akhwat al muslimat’. Saya katakan ‘boleh jadi’, karena mungkin antum wahai ikhwan tidak merasakan itu. Tetapi, cobalah tanya ke para akhwat, mereka akan dengan semangat mengatakan bahwa hal inilah yang mungkin menjadi akar dari semua masalah dukung mendukung itu.
2. Atau bisa jadi juga, karena suami ‘sangat sayang’ kepada istrinya. Dugaan ini muncul karena beberapa ikhwan tidak mempermasalahkan keaktifan akhwat dalam dakwah…asalkan bukan istrinya. Nah!Jujur, teman-teman saya pernah mendengar komentar dari kalangan ikhwan seperti ini, ‘Silahkan saja, akhwat kan memang harus aktif terlibat dalam dakwah, tapi jangan istri saya deh’.
3. Kemungkinan lainnya, boleh jadi suami melihat istrinya kurang bisa memanej dengan baik berbagai aktifitasnya. Istilah populernya, sang istri jadi ‘kurang tawazun’. Di antara keluhan suami, istri terlalu banyak keluar rumah sehingga jadi kurang perhatian terhadap urusan rumah, anak-anak dan dirinya.
Disamping tiga sebab diatas, tentu masih ada sebab lainnya, yang jika ditulis bisa menjadi tulisan berlembar-lembar. Sekarang marilah merenung sejenak.
Saya sepakat bahwa tidak semua akhwat harus menjadi aktifis dalam pengertian khusus, memberikan totalitas hidupnya untuk menjadi aktifis dakwah. Keberagaman potensi dan kemampuan dikalangan akhwat harus menjadi pertimbangan penting dalam membuat rancangan peran dan kontribusi akhwat yang pas dan sesuai dalam dakwah. Alangkah indahnya jika akhwat memiliki spesialisasi masing-masing, lalu semua bekerja dan memberi kontribusi sesuai spesialisasi potensinya itu dalam kerangka amal jama’i.
Wahai akhwat yang kucintai karena Allah, kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang ada. Kewajiban sebagai anak, istri, ibu, tetangga, anggota masyarakat dan aktifis dakwah, semua menuntut penunaian secara ihsan. Saya mengerti dan merasakan, betapa tidak mudahnya kita mengelola dan melaksanakan berbagai kewajiban itu. Kadang kita ‘tertatih-tatih’ menjalankan semua kewajiban itu. Tetapi, kita tidak ingin mengeluh atas semua beban itu. Bagi kita, inilah kesempatan untuk mempersembahkan perjuangan dan pengorbanan kita, bahwa kita ikhlas dengan semua beban-beban itu! Kenapa? Karena kita tahu dan yakin, ada balasan bagi orang-orang yang beramal.
Sebagai penutup, ingatlah bahwa Allah tidak melihat apa dan bagaimana kedudukan kita, tetapi Dia melihat amal dan kontribusi kita. Karena itu, apapun potensi dan kemampuan kita, beramallah dengannya. Sedangkan yang terbaik dan mulia disisi-Nya adalah yang paling bertakwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa diantaramu.” (QS Al- Hujurat:13). Wallahu’alam bish-shawab.(RKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar