Kehidupan bangsa Indonesia ini tak bisa dilepaskan dari urusan politik. Politik adalah “seni menguasai kekuasaan lalu mengelolanya”. Kalangan Nasrani (Protestan, Katholik, dan aneka sekte lainnya) selalu bersemangat memasuki gelanggang politik, berbeda dengan Ummat Islam yang banyak konflik tatkala berbicara politik.
Kalau merunut perjalanan waktu, maka politik Nasrani di Indonesia dimulai dari era Kolonialisme Belanda. Sebagian pribumi murtad dari agamanya, lalu menjadi pemeluk Katholik, Protestan, dan lainnya. Eksistensi Nasrani di Indonesia diawali oleh Kolonialisme, karena merekalah yang membawa agama itu ke Tanah Air. Slogan lama yang mereka elu-elukan: Gold, Gospel, Glory. Dan ternyata, di zaman modern ini karakter politik Nasrani tidak berubah jauh dari akar eksistensinya.
Menjelang Pileg April 2014 yang lalu, menjelang Pilpres Juli 2014, kembali geliat politik Nasrani menggeliat, terutama melalui lembaga gereja, media-media seperti Kompas, Suara Pembaharuan, dan lainnya; juga melalui gerakan politisi, calon legislatif, aktivis gereja, dan seterusnya. Mereka tidak mungkin akan melupakan urusan politik (kekuasaan) ini, terlepas seberapa besar apapun hasil yang mereka dapatkan dari usaha-usaha politik itu.
Kita sebagai Ummat Islam harus memahami karakter politik Nasrani ini, sebab sekian lama politik demikian selalu menjadi trouble maker bagi kehidupan Ummat Islam, bahkan menjadi sumber masalah bagi kehidupan rakyat Indonesia secara umum.
Berikut ciri-ciri politik Nasrani dari waktu ke waktu di Indonesia:
[1]. Karakter dasar politik Nasrani ialah Islam Phobia atau anti Islam. Hal itu sama dan sebangun dengan missi anti Islam yang dianut para kolonial klasik dan modern. Karena itulah mereka mati-matian memadamkan tumbuhnya kesadaran Islam, dengan berbagai cara. Seperti Kompas, mengapa media ini membuka hati dan dirinya kepada pemikir-pemikir Liberal? Ya karena tujuan paham Liberal itu adalah deislamisasi, atau menghancurkan konsep Islam dari dasar-dasarnya. Media-media Nasrani akan mendukung apa saja yang destruktif bagi ajaran Islam.
[2]. Politik Nasrani bersifat elitik. Jangan bayangkan bahwa semua warga Nasrani, kaum Nasrani, rakyat Nasrani terlibat dalam urusan politik semacam ini, atau kebencian kepada Islam dan Ummatnya. Politik demikian hanya dijalankan oleh kaum elit-elit gereja, oleh media-media semacam Kompas, oleh politisi-politisi Nasrani, juga oleh para aktivis Nasrani yang bekerja dengan pamrih tertentu. Mereka ini sering memprovokasi dan mengagitasi rakyat Nasrani untuk melancarkan kebencian, memusuhi Islam, dan seterusnya. Logika yang selalu mereka kembangkan, kurang lebih begini: “Kalau Islam berkuasa di Indonesia, nanti kaum laki-laki Nasrani akan disunat, kaum wanitanya akan dijadikan isteri poligami, gereja akan ditutup, kebaktian akan dilarang, orang yang murtad akan dihukum mati, dan seterusnya.”
[3]. Politik Nasrani sebenarnya tidak peduli dengan nasib rakyat Nasrani di bawah. Ini fakta dan nyata. Jangankan kita berharap mereka akan peduli kepada kaum Muslimin, wong kepada kaum mereka sendiri saja, mereka juga tak peduli. Tujuan Kristenisasi sendiri adalah sangat politik. Misionaris Nasrani akan berusaha melakukan berbagai cara untuk mengubah data KTP seseorang. Jika semula agama tertulis Islam, Hindu, atau Budha, mereka akan berusaha agar keterangan agama berubah menjadi Kristen atau Katholik. Mereka akan memberikan fasilitas apa saja, agar kaum lain berubah data KTP-nya. Kalau sudah berubah, ia dianggap sebagai data politik; kalangan gereja akan segera mengklaim bahwa mereka punya umat Kristiani sekian-sekian, sesuai KTP yang mereka kumpulkan. Sedangkan tanggung-jawab untuk memperbaiki kondisi kehidupan warga Nasrani itu, memperbaiki ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, dan seterusnya, tidak mereka lakukan.
Mengapa kita melihat banyak aktivis Sosialis (Komunis) yang background keluarganya Nasrani? Bisa jadi, mereka adalah mantan-mantan penganut PKI di masa lalu, kemudian masuk Nasrani untuk berlindung. Tapi bisa jadi pula, mereka menjadi aktivis Sosialis (Komunis) karena sangat kecewa dengan sifat elitis gereja. Bahwa gereja selalu memprovokasi umatnya dengan hasutan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin; pada saat yang sama mereka tidak peduli dengan kehidupan umat Nasrani itu sendiri. Kalau para politisi Nasrani itu jujur, sebenarnya mereka sudah punya pengikut besar di dunia; jika demikian, mestinya mereka berdayakan umat itu sebaik-baiknya, bukan dibiarkan. Singkat kata, politik Nasrani itu hanya menguntungkan sejumlah kecil elit-elitnya saja. Tidak banyak manfaat untuk mengangkat derajat kaum Nasrani di bawah. Sejatinya rakyat Nasrani di bawah masih sangat banyak yang miskin, terlilit hutang, pengangguran, dan sebagainya.
[4]. Politik Nasrani sejatinya hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari politik Kolonialisme. Hal itu tak diragukan lagi. Saat kapan saja bangsa ini berusaha menjadi baik, berusaha lebih berdaya, berusaha lebih kuat; maka kalangan elit-elit Nasrani tidak akan menyukainya. Mereka lebih menyukai Indonesia selalu berada di bawah kekuasaan Kolonial, seperti di era Belanda di masa lalu. Apa yang terjadi saat ini, penguasaan 70 % ekonomi nasional di tangan asing, tak lepas dari hasil perjuangan para politisi Nasrani. Kita masih ingat bagaimana Soeharto terus didesak oleh media-media Nasrani agar meminta bantuan IMF, sehingga hasilnya negeri ini hancur-lebur. BJ. Habibie diserang oleh Forkot, Fordem, Famred, dan seterusnya sehingga gagal menjadi presiden kembali. Di era Megawati, yang didukung banyak anggota legislatif Nasrani, menjuali aset-aset negara dengan harga murah. Begitu juga munculnya SBY dan berkuasa 10 tahun di negeri ini, juga berkat bantuan pencitraan media-media Nasrani. Kini politik Nasrani merapat ke Jokowi, karena memang tidak suka jika bangsa ini menjadi mandiri, berdaulat, dan hidup dalam kesejahteraan seperti diharapkan.
[5]. Politik Nasrani pada dasarnya sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya kaum Muslimin atau aktivis Islam saja. Politik mereka sudah membahayakan NKRI itu sendiri, tidak sesuai dengan konsep Pancasila, Pembukaan UUD 1945, bahkan berpotensi membuat sengketa antar elemen-elemen bangsa Indonesia. Bukan hanya Syiah Rafidhah yang harus diwaspadai, atau Liberal Neolib, tapi juga politik Nasrani ini.
Satu momen penting perlu diingat, tentang Tragedi Ambon 1999. Peristiwa ini bisa menjelaskan karakter politik Nasrani di Indonesia. Tragedi Ambon sangatlah di luar dugaan masyarakat Ambon sendiri. Mereka tidak membayangkan antar pemeluk Nasrani dan Muslim saling memerangi, saling membunuh, dan menghancurkan. Padahal semula mereka, meskipun beda agama, diikat oleh konsep toleransi Pella Gandong. Sebelum terjadi tragedi itu, para preman asal Ambon yang ada di Jakarta, diminta pada pulang kampung. Mereka dari kalangan Nasrani dan Muslim saling bergaul, bercanda, ngobrol di atas kapal, menuju Ambon. Ketika sampai di darat, sudah berkumpul dengan warga masing-masing, para preman ini tiba-tiba menjadi bermusuhan. Sangat kelihatan kalau tragedi itu telah diatur sebelumnya. Ketika kaum Muslimin melakukan reaksi dengan menyurakan Jihad Fi Sabilillah, media-media Nasrani teriak-teriak penuh khawatir. Dan lucunya, elit-elit Nasrani memprovokasi rakyatnya sehingga terjadi konflik berat, tapi kemudian mereka mau cuci-tangan setelah konflik menimbulkan kerugian-kerugian besar. Warga Ambon terus bertanya-bertanya, mengapa terjadi Tragedi Berdarah 1999, padahal sebelumnya mereka bersaudara?
Ayat yang sering dibaca kaum Muslimin adalah ini: Wa lan tardha ankal yahudu wa lan nashara hatta tat-tabi’a millatahum (tidak akan pernah rela kepadamu -wahai Muhammad- orang Yahudi dan Nasrani, sampai kamu mengikuti jalan mereka). Surat Al Baqarah: 120.
Menariknya, dalam ayat-ayat Al Qur’an yang lain dijelaskan bahwa kaum Muslimin itu dekat dengan kaum Nashrani, sedangkan kaum Yahudi dekat dengan kaum musyrikin. Contoh, ketika terjadi perang antara Persia dan Romawi, kaum Muslimin menyukai kemenangan bagi Romawi, sedangkan kaum musyirikan Makkah menyukai kemenangan Persia yang sama-sama paganis. Ketika terjadi Perang Ahzab, kaum musyrikin bersekutu dengan kabilah-kabilah Yahudi di Madinah, untuk menikam Islam dan Ummatnya. Sedangkan Nabi SAW merestui hijrah para Shahabat ke negeri Nasrani, Habasyah (Ethiopia). Bahkan diceritakan, Kaisar Heraklius sendiri sebenarnya bersimpati kepada Nabi Muhammad SAW dan Islam, hanya saja orang-orang di sekitarnya tidak setuju atas simpati beliau.
Ternyata, Nasrani itu tidak ganas semua, tidak anti Islam semua. Yang anti Islam dan ganas, adalah Nasrani yang konsep agama-nya telah disetir oleh Yahudi. Kalau Nasrani yang murni, merujuk kepada nilai-nilai Injil klasik yang belum dikontaminasi oleh tangan-tangan Yahudi, seperti Injil Barnabas; mereka bersikap baik kepada Ummat Islam. Coba perhatikan ayat Al Baqarah 120 di atas, kata Yahudi disebutkan lebih dulu, lalu diiringi kata Nasrani; hal ini mengisyaratkan satun makna, bahwa Nasrani yang ganas itu adalah hasil provokasi Yahudi, atau hasil campur-tangan Yahudi atas agama mereka.
Jujur kami sendiri juga merasa heran. Di antara semua jenis sekte dan agama di luar Islam, sebenarnya yang dekat dengan kita adalah kaum Nasrani. Bahkan sikap Islam kepada mereka jauh lebih baik dan tidak memaksakan. Masih ingat bagaimana sikap warga Nasrani Yerusalem ketika pasukan Khalifah Umar RA ditarik dari Yerusalem? Mereka menginginkan pasukan kaum Muslimin tetap berada di Yerusalem, bahkan bersedia memberi tambahan upeti (dana keamanan) jika pasukan Islam mau bertahan. Mereka bersikap begitu, karena pasukan Islam menghormati gereja-gereja mereka, tidak melanggar kehormatan dan hak-hak kaum wanita mereka, tidak menganiaya mereka.
Seharusnya muncul dari kalangan Nasrani di Indonesia orang-orang yang mau memperbaiki kondisi ini. Mereka harus berani bersikap tegas dan kritis kepada politik Nasrani yang selama ini lebih mengabdi Kolonialisme dan menyia-nyiakan kehidupan bangsa. Sudahlah, kalau mereka tak mau melihat umat Islam, lihat bangsa Indonesia! Toh kita semua peduli dengan negeri ini. Mereka harus tahu, tidak mungkin dan tidak akan kaum Muslimin berbuat kekerasan kepada kaum Nasrani, kecuali sebagai reaksi atau jika terjadi kezhaliman-kezhaliman. Karena perbuatan kekerasan tanpa alasan tidak dibenarkan dalam Islam, dan tidak ada realitasnya dalam sejarah Islam selama ribuan tahun.
(Muslimina)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Kalau merunut perjalanan waktu, maka politik Nasrani di Indonesia dimulai dari era Kolonialisme Belanda. Sebagian pribumi murtad dari agamanya, lalu menjadi pemeluk Katholik, Protestan, dan lainnya. Eksistensi Nasrani di Indonesia diawali oleh Kolonialisme, karena merekalah yang membawa agama itu ke Tanah Air. Slogan lama yang mereka elu-elukan: Gold, Gospel, Glory. Dan ternyata, di zaman modern ini karakter politik Nasrani tidak berubah jauh dari akar eksistensinya.
Menjelang Pileg April 2014 yang lalu, menjelang Pilpres Juli 2014, kembali geliat politik Nasrani menggeliat, terutama melalui lembaga gereja, media-media seperti Kompas, Suara Pembaharuan, dan lainnya; juga melalui gerakan politisi, calon legislatif, aktivis gereja, dan seterusnya. Mereka tidak mungkin akan melupakan urusan politik (kekuasaan) ini, terlepas seberapa besar apapun hasil yang mereka dapatkan dari usaha-usaha politik itu.
Kita sebagai Ummat Islam harus memahami karakter politik Nasrani ini, sebab sekian lama politik demikian selalu menjadi trouble maker bagi kehidupan Ummat Islam, bahkan menjadi sumber masalah bagi kehidupan rakyat Indonesia secara umum.
Berikut ciri-ciri politik Nasrani dari waktu ke waktu di Indonesia:
[1]. Karakter dasar politik Nasrani ialah Islam Phobia atau anti Islam. Hal itu sama dan sebangun dengan missi anti Islam yang dianut para kolonial klasik dan modern. Karena itulah mereka mati-matian memadamkan tumbuhnya kesadaran Islam, dengan berbagai cara. Seperti Kompas, mengapa media ini membuka hati dan dirinya kepada pemikir-pemikir Liberal? Ya karena tujuan paham Liberal itu adalah deislamisasi, atau menghancurkan konsep Islam dari dasar-dasarnya. Media-media Nasrani akan mendukung apa saja yang destruktif bagi ajaran Islam.
[2]. Politik Nasrani bersifat elitik. Jangan bayangkan bahwa semua warga Nasrani, kaum Nasrani, rakyat Nasrani terlibat dalam urusan politik semacam ini, atau kebencian kepada Islam dan Ummatnya. Politik demikian hanya dijalankan oleh kaum elit-elit gereja, oleh media-media semacam Kompas, oleh politisi-politisi Nasrani, juga oleh para aktivis Nasrani yang bekerja dengan pamrih tertentu. Mereka ini sering memprovokasi dan mengagitasi rakyat Nasrani untuk melancarkan kebencian, memusuhi Islam, dan seterusnya. Logika yang selalu mereka kembangkan, kurang lebih begini: “Kalau Islam berkuasa di Indonesia, nanti kaum laki-laki Nasrani akan disunat, kaum wanitanya akan dijadikan isteri poligami, gereja akan ditutup, kebaktian akan dilarang, orang yang murtad akan dihukum mati, dan seterusnya.”
[3]. Politik Nasrani sebenarnya tidak peduli dengan nasib rakyat Nasrani di bawah. Ini fakta dan nyata. Jangankan kita berharap mereka akan peduli kepada kaum Muslimin, wong kepada kaum mereka sendiri saja, mereka juga tak peduli. Tujuan Kristenisasi sendiri adalah sangat politik. Misionaris Nasrani akan berusaha melakukan berbagai cara untuk mengubah data KTP seseorang. Jika semula agama tertulis Islam, Hindu, atau Budha, mereka akan berusaha agar keterangan agama berubah menjadi Kristen atau Katholik. Mereka akan memberikan fasilitas apa saja, agar kaum lain berubah data KTP-nya. Kalau sudah berubah, ia dianggap sebagai data politik; kalangan gereja akan segera mengklaim bahwa mereka punya umat Kristiani sekian-sekian, sesuai KTP yang mereka kumpulkan. Sedangkan tanggung-jawab untuk memperbaiki kondisi kehidupan warga Nasrani itu, memperbaiki ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, dan seterusnya, tidak mereka lakukan.
Mengapa kita melihat banyak aktivis Sosialis (Komunis) yang background keluarganya Nasrani? Bisa jadi, mereka adalah mantan-mantan penganut PKI di masa lalu, kemudian masuk Nasrani untuk berlindung. Tapi bisa jadi pula, mereka menjadi aktivis Sosialis (Komunis) karena sangat kecewa dengan sifat elitis gereja. Bahwa gereja selalu memprovokasi umatnya dengan hasutan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin; pada saat yang sama mereka tidak peduli dengan kehidupan umat Nasrani itu sendiri. Kalau para politisi Nasrani itu jujur, sebenarnya mereka sudah punya pengikut besar di dunia; jika demikian, mestinya mereka berdayakan umat itu sebaik-baiknya, bukan dibiarkan. Singkat kata, politik Nasrani itu hanya menguntungkan sejumlah kecil elit-elitnya saja. Tidak banyak manfaat untuk mengangkat derajat kaum Nasrani di bawah. Sejatinya rakyat Nasrani di bawah masih sangat banyak yang miskin, terlilit hutang, pengangguran, dan sebagainya.
[4]. Politik Nasrani sejatinya hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari politik Kolonialisme. Hal itu tak diragukan lagi. Saat kapan saja bangsa ini berusaha menjadi baik, berusaha lebih berdaya, berusaha lebih kuat; maka kalangan elit-elit Nasrani tidak akan menyukainya. Mereka lebih menyukai Indonesia selalu berada di bawah kekuasaan Kolonial, seperti di era Belanda di masa lalu. Apa yang terjadi saat ini, penguasaan 70 % ekonomi nasional di tangan asing, tak lepas dari hasil perjuangan para politisi Nasrani. Kita masih ingat bagaimana Soeharto terus didesak oleh media-media Nasrani agar meminta bantuan IMF, sehingga hasilnya negeri ini hancur-lebur. BJ. Habibie diserang oleh Forkot, Fordem, Famred, dan seterusnya sehingga gagal menjadi presiden kembali. Di era Megawati, yang didukung banyak anggota legislatif Nasrani, menjuali aset-aset negara dengan harga murah. Begitu juga munculnya SBY dan berkuasa 10 tahun di negeri ini, juga berkat bantuan pencitraan media-media Nasrani. Kini politik Nasrani merapat ke Jokowi, karena memang tidak suka jika bangsa ini menjadi mandiri, berdaulat, dan hidup dalam kesejahteraan seperti diharapkan.
[5]. Politik Nasrani pada dasarnya sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya kaum Muslimin atau aktivis Islam saja. Politik mereka sudah membahayakan NKRI itu sendiri, tidak sesuai dengan konsep Pancasila, Pembukaan UUD 1945, bahkan berpotensi membuat sengketa antar elemen-elemen bangsa Indonesia. Bukan hanya Syiah Rafidhah yang harus diwaspadai, atau Liberal Neolib, tapi juga politik Nasrani ini.
Satu momen penting perlu diingat, tentang Tragedi Ambon 1999. Peristiwa ini bisa menjelaskan karakter politik Nasrani di Indonesia. Tragedi Ambon sangatlah di luar dugaan masyarakat Ambon sendiri. Mereka tidak membayangkan antar pemeluk Nasrani dan Muslim saling memerangi, saling membunuh, dan menghancurkan. Padahal semula mereka, meskipun beda agama, diikat oleh konsep toleransi Pella Gandong. Sebelum terjadi tragedi itu, para preman asal Ambon yang ada di Jakarta, diminta pada pulang kampung. Mereka dari kalangan Nasrani dan Muslim saling bergaul, bercanda, ngobrol di atas kapal, menuju Ambon. Ketika sampai di darat, sudah berkumpul dengan warga masing-masing, para preman ini tiba-tiba menjadi bermusuhan. Sangat kelihatan kalau tragedi itu telah diatur sebelumnya. Ketika kaum Muslimin melakukan reaksi dengan menyurakan Jihad Fi Sabilillah, media-media Nasrani teriak-teriak penuh khawatir. Dan lucunya, elit-elit Nasrani memprovokasi rakyatnya sehingga terjadi konflik berat, tapi kemudian mereka mau cuci-tangan setelah konflik menimbulkan kerugian-kerugian besar. Warga Ambon terus bertanya-bertanya, mengapa terjadi Tragedi Berdarah 1999, padahal sebelumnya mereka bersaudara?
Ayat yang sering dibaca kaum Muslimin adalah ini: Wa lan tardha ankal yahudu wa lan nashara hatta tat-tabi’a millatahum (tidak akan pernah rela kepadamu -wahai Muhammad- orang Yahudi dan Nasrani, sampai kamu mengikuti jalan mereka). Surat Al Baqarah: 120.
Menariknya, dalam ayat-ayat Al Qur’an yang lain dijelaskan bahwa kaum Muslimin itu dekat dengan kaum Nashrani, sedangkan kaum Yahudi dekat dengan kaum musyrikin. Contoh, ketika terjadi perang antara Persia dan Romawi, kaum Muslimin menyukai kemenangan bagi Romawi, sedangkan kaum musyirikan Makkah menyukai kemenangan Persia yang sama-sama paganis. Ketika terjadi Perang Ahzab, kaum musyrikin bersekutu dengan kabilah-kabilah Yahudi di Madinah, untuk menikam Islam dan Ummatnya. Sedangkan Nabi SAW merestui hijrah para Shahabat ke negeri Nasrani, Habasyah (Ethiopia). Bahkan diceritakan, Kaisar Heraklius sendiri sebenarnya bersimpati kepada Nabi Muhammad SAW dan Islam, hanya saja orang-orang di sekitarnya tidak setuju atas simpati beliau.
Ternyata, Nasrani itu tidak ganas semua, tidak anti Islam semua. Yang anti Islam dan ganas, adalah Nasrani yang konsep agama-nya telah disetir oleh Yahudi. Kalau Nasrani yang murni, merujuk kepada nilai-nilai Injil klasik yang belum dikontaminasi oleh tangan-tangan Yahudi, seperti Injil Barnabas; mereka bersikap baik kepada Ummat Islam. Coba perhatikan ayat Al Baqarah 120 di atas, kata Yahudi disebutkan lebih dulu, lalu diiringi kata Nasrani; hal ini mengisyaratkan satun makna, bahwa Nasrani yang ganas itu adalah hasil provokasi Yahudi, atau hasil campur-tangan Yahudi atas agama mereka.
Jujur kami sendiri juga merasa heran. Di antara semua jenis sekte dan agama di luar Islam, sebenarnya yang dekat dengan kita adalah kaum Nasrani. Bahkan sikap Islam kepada mereka jauh lebih baik dan tidak memaksakan. Masih ingat bagaimana sikap warga Nasrani Yerusalem ketika pasukan Khalifah Umar RA ditarik dari Yerusalem? Mereka menginginkan pasukan kaum Muslimin tetap berada di Yerusalem, bahkan bersedia memberi tambahan upeti (dana keamanan) jika pasukan Islam mau bertahan. Mereka bersikap begitu, karena pasukan Islam menghormati gereja-gereja mereka, tidak melanggar kehormatan dan hak-hak kaum wanita mereka, tidak menganiaya mereka.
Seharusnya muncul dari kalangan Nasrani di Indonesia orang-orang yang mau memperbaiki kondisi ini. Mereka harus berani bersikap tegas dan kritis kepada politik Nasrani yang selama ini lebih mengabdi Kolonialisme dan menyia-nyiakan kehidupan bangsa. Sudahlah, kalau mereka tak mau melihat umat Islam, lihat bangsa Indonesia! Toh kita semua peduli dengan negeri ini. Mereka harus tahu, tidak mungkin dan tidak akan kaum Muslimin berbuat kekerasan kepada kaum Nasrani, kecuali sebagai reaksi atau jika terjadi kezhaliman-kezhaliman. Karena perbuatan kekerasan tanpa alasan tidak dibenarkan dalam Islam, dan tidak ada realitasnya dalam sejarah Islam selama ribuan tahun.
(Muslimina)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar