Kampanye perdana dan tepat hari pertama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gelora Bung Karno (GBK), sebagaimana ungkapan Presiden PKS Anis Matta, gamblang dan terang menjadi moment of truth.
Moment of truth bahwa PKS masih solid. Bahwa lebih dari 150 ribu orang yang tumpah ruah di GBK Ahad (16-04) itu siap berpegang tangan menghadapi badai, bukan hadir semata demi nasi bungkus atau satu dua lembaran rupiah.
Bahwa kader PKS justru siap bertarung di Pemilu 2014 dengan lebih konfiden (takbir!).
Pemberitaan pun massif. Untuk momen sebesar itu, kerja Tim Humas DPP untuk menggulirkan apa yang memang layak dan harus diberitakan juga tampaknya menjadi moment of truth tersendiri (3 jempol untuk Kahumas Mardani Ali Sera, Dedi Supriadi dkk).
Tim rilis dan preskon, PKSTV, RelawanPKSFoto, serta tiap detail lini dokumentasi dan relasi media terkoordinasi rapi. Tim Humas Lampung termasuk yang beruntung berangkat nyaris full team dan mendapat workshop learning by doing. Moment of truth pula bahwa kampanye PKS di GBK berhasil bikin down sinyal BTS (haha..).
Namun, suksesnya kampanye GBK dari kacamata internal PKS tentu tak bisa selalu - diharap-harap -kongruen dengan apa yang ditangkap dan dihidangkan oleh media.
Mari simak beberapa contoh menarik berikut ini.
Banyak Bayi dan Anak Ikut Kampanye PKS http://megapolitan.kompas.com/read/2014/03/16/1130148/Banyak.Bayi.dan.Anak.Ikut.Kampanye.PKS
Duh, Banyak Anak-Anak Ikut Kampanye PKS Di GBK http://news.detik.com/read/2014/03/16/131154/2527107/1562/duh-banyak-anak-anak-ikut-kampanye-pks-di-gbk
Kampanye PKS Di GBK Ditonton Live di 24 Negara http://m.okezone.com/read/2014/03/17/568/956397/kampanye-pks-di-gbk-ditonton-live-di-24-negara
Kampanye Pertama PKS di GBK Sebabkan Jalanan Macet http://video.liputan6.com/main/read/204/2023528/0/kampanye-pertama-pks-di-gbk-sebabkan-jalanan-macet
PKS Kampanye Di GBK Tiap Orang Wajib Bawa Kantong Plastik http://suara.com/news/2014/03/16/091457/pks-kampanye-di-gbk-tiap-orang-wajib-bawa-kantong-plastik/
Angle lain juga bertaburan di berbagai media. Kader PKS yang sebagian besar melek media, bukan hanya mengikuti namun dengan setia mengritisi.
***
Apa yang salah dengan pemberitaan di atas? Bukankah detik.com dan Kompas menyajikan fakta bahwa anak-anak ikut dalam kampanye? Bukankah benar akibat kampanye, jalanan macet?
Sekali lagi mengingat kader PKS melek media, maka tak lelah ajakan untuk terus menyelami media dengan metoda yang lebih literatif. Kritis, namun berusaha bijak menempatkan sudut pandang.
Mari selalu mengingat bahwa framing (pembingkaian) media adalah adagium tak terelakkan. Bahwa walaupun realitasnya sama, antara satu media dengan media lain bisa mengambil sudut pandang berbeda. Begitulah media harus menyederhanakan realitas yang kompleks, maka keterbatasan laman menjadi alasan klasik.
Mengapa detik.com dan Kompas tidak sedikit lebih tekun mengangkat angle tersedianya Tempat Penitipan Anak (TPA) di kampanye PKS di GBK atau bahkan apresiasi Bawaslu terhadap fasilitas tersebut, alih-alih mengangkat isu yang berulang tentang kehadiran anak-anak di kampanye.
- Begitu banyak angle yang unusual di kampanye GBK: 150 ribu massa tapi tiada rumput yang terinjak, 3333 kantong plastik dan pasukan semut pemungut sampah, siaran live streaming yang ditonton di 24 negara, dan kehadiran tempat penitipan anak di sebuah kampanye parpol (?? selevel Kompas dan detik.com masih ambil angle yang usual/ordinary? Ah, pembaca patut kecewa ...) -
Wajar pula jika kemudian framing kampanye PKS dengan sangat literatif dikomparasi dengan berita yang muncul pada hari yang sama, pada media yang sama, dari parpol yang berbeda: Kampanye PDI-P, Anak-anak Ikutan Teriak Jokowi Presiden http://megapolitan.kompas.com/read/2014/03/16/1603150/Kampanye.PDI-P.Anak-anak. Ikutan.Teriak.Jokowi.Presiden
Bukankah sama menyertakan anak-anak, tapi tone judul maupun konten beritanya, rasa bahasanya, bisa sangat-sangat berbeda? Atau perhatikan bagaimana redaksi detik.com merasa perlu menambahkan "Duh" pada judul berita. Mungkin ada mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berminat menjadikan framing berita penyertaan anak-anak dalam kampanye ini sebagai bahan penelitian menarik :).
Soal ini, ada kawan jurnalis di Lampung yang balik meradang jika kader PKS mengritisi, mengecam berita-berita yang dianggap timpang. Kader PKS dianggap reaktif. Tidak bisa menerima kenyataan bahwa yang disajikan adalah fakta. Kawan, mungkin kita berada di ujung satu dan ujung lainnya untuk sama-sama menemukan keseimbangan.
Ahli komunikasi Murray Edelman (1977) sudah sejak jauh hari menyampaikan postulat bahwa media melakukan framing karena ia punya konstruksi, ideologi, dan politiknya sendiri. "Yang kita jual bukan sekedar kertas. Apa yang ada di kertas itulah yang berharga," demikian ujar salah satu pimpinan redaksi media di Lampung pada kami.
Berharap media berenang di ruang hampa, apalagi berharap objektifitas ala ruang hampa itu membuat mereka hanya memberitakan yang baik-baik, tentu sangat absurd.
"Tak berharap media selalu menyanjung-nyanjung. Cukup berlaku objektif saja," tukas seorang teman. Objektifitas - apalagi dalam situasi 'perang politik' seperti sekarang memang terasa nisbi.
"Mengapa" media melakukan itu - meletakkan objektifitas di kotak terkunci - akan selalu jadi pertanyaan menggelitik. Namun dari sudut pandang pekerja humas, menyajikan realitas yang sangat bisa jadi memang tak terlihat oleh rekan pers justru menjadi tantangan tersendiri.
Mungkin fakta 3333 kantong sampah, rumput GBK yang tak terinjak, dll memang tak terlihat oleh 'mata batin jurnalistik' mereka. Mungkin mereka memang sedang berjuang menghidupkan 9 elemen jurnalisme Bill Kovach, kritis dan meniadakan semua sudut pandang ala PR partai. Mungkin.
Pada akhirnya ajakan untuk memaklumi dan memaafkan media perlu dimaknai sebagai upaya konstruktif. Bukan fatalis. Mari kritis, namun berdamailah.
Dan untuk tiap pendapat selalu ada ruang tak setuju. Namun di hari-hari ini, fokus pada moment of truth kemenangan pasca 9 April 2014 tentu jauh lebih penting.
Setuju?
[Sebagai catatan, baik detik.com maupun Kompas juga beberapa menyajikan thread berita kampanye PKS dengan tone netral, kok](Oleh Detti Febrina (mantan wartawan)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar