Tempo, media yang dekat dengan Sitok Srengenge, aktivis Salihara, rupanya menggunakan beragam cara untuk membela penjahat. Sitok yang menurut BEM FIB UI, telah melakukan pemerkosaan seorang mahasiswi UI ingin dicitrakan sebagai sosok yang baik dan juga bertanggungjawab. Terkiat dengan kasus Sitok Srengenge, kalau kita cermati berita-berita Tempo, kita akan menemukan dosa-dosa Tempo dalam jurnalisme. Diantaranya:
Pertama, menjadi humas (PR) Sitok Srengenge. Dalam Ilmu Komunikasi ada dua studi yang cukup popular, jurnalistik dan Humas (PR). Dalam jurnalistik, “hadist” nya adalah “Katakan yang benar walau pahit”, dalam humas (PR), “hadist”nya adalah “Katakan yang baik atau diam”. Nah, dalam kasus ini, kita bisa lihat bagaimana Tempo justru menjadi corong Sitok Srengenge dan keluarganya. Menampilkan berita-berita yang baik, misalnya Sitok melakukan perbuatan atas dasar suka sama suka, tidak benar menawarkan miras, siap bertanggungjawab, ditambah digambarkan bagaimana istrinya yang tetap setia. Ini dosa Tempo. Kita perlu bertanya, Tempo itu media atau perusahaan PR (humas)?
Kedua, berpihak pada penjahat. Dalam kasus Sitok Srengenge, begitu kuat pembelaan Tempo terhadapnya. Tempo, kerap dikenal “Menyuarakan yang bisu”. Tapi kali ini tidak, tak ada suara korban dalam berita-berita yang ditampilkan. Dalam prinsip jurnalistik yang kita kenal, wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya. Dan Tempo tidak melakukannya, malah membabi-buta membela Sitok. Menyedihkan.
Ketiga, tidak mencari kebenaran. Tempo tidak berusaha mencari kebenaran tentang sebuah kasus atau peristiwa. Dalam kasus Sitok, yang terjadi adalah pemberitaan yang melulu menguntungkan Sitok Srengenge. Tidak ada upaya bagaimana wartawan melakukan usaha serius untuk membuka kedok, membuka tabir kisah yang sebenarnya.
Keempat, tidak melayani masyarakat. Padahal, loyalitas pertama jurnalistik adalah melayani masyarakat. Yang ada, Tempo hanya melayani satu pihak, membela satu orang yang dekat dengan mereka yaitu Sitok Srengenge, sebagai penyair yang diagung-agungkan komunitas Salihara, sebuah komunitas yang dekat dengan Tempo.
Kelima, tidak disiplin verifikasi. Dalam kasus Sitok Srengenge, tidak ada upaya Tempo untuk menggali lebih jauh tentang saksi-saksi yang kemungkinan juga menjadi korban “rayuan” Sitok. Juga tidak melakukan misalnya menyingkap kasus dengan menggali beragam sumber. Yang ada hanyalah klarifikasi Sitok Srengenge untuk membersihkan namanya.
Keenam, tidak independen. Jelas, kalau kita baca berita-berita Tempo tentang kasus Sitok Srengenge, yang ada adalah sumber-sumber dari Sitok Srengenge sendiri. Sitok yang selalu melakukan bantahan, termasuk pernyataan sikap BEM FIB UI yang dikatakannnya sebagai “Tidak Benar”
Ketuju, ungkap fakta yang tak relevan. Dalam kasus Sitok, Tempo begitu bernafsu mengutip istri Sitok yang akan tetap setia mendampingi suaminya. Dalam kasus ini, bertentangan dengan prinsip jurnalistik yaitu membuat sesuatu yang penting menjadi menarik dan relevan. Usaha Tempo itu hanya menguntungkan Sitok. Tapi dramatisasi keluarga itu sangat tidak relevan dengan kasus pemerkosaan yang dituduhkannya.
Kedelapan, tidak proporsional. Artinya, berita yang dominan hanya menempatkan sosok Sitok yang bertanggungjawab, baik, juga didukung oleh istrinya yang setia. Lantas, mana suara korban? Mana fakta dimana korban mendapatkan terror yang membuatnya trauma, terror yang menjadikan korban pemerkosaan sempat melakukan percobaan bunuh diri.
Kesembilan, tak berani melawan penguasa. Dalam industri media, penguasa bisa diartikan penguasa (pemerintah) maupun penguasa media itu sendiri. Nah, Sitok adalah sekongkol Goenawan Mohammad. Jelas wartawan Tempo dalam kasus ini benar-benar tak punya daya (loyo) untuk mengungkap kasus yang sebenarnya. Termasuk, sebenarnya akan menjadi fakta yang asyik jika desas-desus yang mengatakan GM juga melakukan hal yang sama (hanya tidak ketahuan) juga diungkap ke publik. Tempo berani? Pasti tak punya nyali.
Begitulah, dosa-dosa Tempo. Wartawan dan pegiat Tempo telah melakukan pilihan yang keliru itu. Apa boleh buat, Tempo mungkin bisa sesumbar sebagai media yang besar. Tapi, apakah mampu melawan jurnalisme warga yang menjadikannya musuh bersama? Kita tunggu saja.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Pertama, menjadi humas (PR) Sitok Srengenge. Dalam Ilmu Komunikasi ada dua studi yang cukup popular, jurnalistik dan Humas (PR). Dalam jurnalistik, “hadist” nya adalah “Katakan yang benar walau pahit”, dalam humas (PR), “hadist”nya adalah “Katakan yang baik atau diam”. Nah, dalam kasus ini, kita bisa lihat bagaimana Tempo justru menjadi corong Sitok Srengenge dan keluarganya. Menampilkan berita-berita yang baik, misalnya Sitok melakukan perbuatan atas dasar suka sama suka, tidak benar menawarkan miras, siap bertanggungjawab, ditambah digambarkan bagaimana istrinya yang tetap setia. Ini dosa Tempo. Kita perlu bertanya, Tempo itu media atau perusahaan PR (humas)?
Kedua, berpihak pada penjahat. Dalam kasus Sitok Srengenge, begitu kuat pembelaan Tempo terhadapnya. Tempo, kerap dikenal “Menyuarakan yang bisu”. Tapi kali ini tidak, tak ada suara korban dalam berita-berita yang ditampilkan. Dalam prinsip jurnalistik yang kita kenal, wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya. Dan Tempo tidak melakukannya, malah membabi-buta membela Sitok. Menyedihkan.
Ketiga, tidak mencari kebenaran. Tempo tidak berusaha mencari kebenaran tentang sebuah kasus atau peristiwa. Dalam kasus Sitok, yang terjadi adalah pemberitaan yang melulu menguntungkan Sitok Srengenge. Tidak ada upaya bagaimana wartawan melakukan usaha serius untuk membuka kedok, membuka tabir kisah yang sebenarnya.
Keempat, tidak melayani masyarakat. Padahal, loyalitas pertama jurnalistik adalah melayani masyarakat. Yang ada, Tempo hanya melayani satu pihak, membela satu orang yang dekat dengan mereka yaitu Sitok Srengenge, sebagai penyair yang diagung-agungkan komunitas Salihara, sebuah komunitas yang dekat dengan Tempo.
Kelima, tidak disiplin verifikasi. Dalam kasus Sitok Srengenge, tidak ada upaya Tempo untuk menggali lebih jauh tentang saksi-saksi yang kemungkinan juga menjadi korban “rayuan” Sitok. Juga tidak melakukan misalnya menyingkap kasus dengan menggali beragam sumber. Yang ada hanyalah klarifikasi Sitok Srengenge untuk membersihkan namanya.
Keenam, tidak independen. Jelas, kalau kita baca berita-berita Tempo tentang kasus Sitok Srengenge, yang ada adalah sumber-sumber dari Sitok Srengenge sendiri. Sitok yang selalu melakukan bantahan, termasuk pernyataan sikap BEM FIB UI yang dikatakannnya sebagai “Tidak Benar”
Ketuju, ungkap fakta yang tak relevan. Dalam kasus Sitok, Tempo begitu bernafsu mengutip istri Sitok yang akan tetap setia mendampingi suaminya. Dalam kasus ini, bertentangan dengan prinsip jurnalistik yaitu membuat sesuatu yang penting menjadi menarik dan relevan. Usaha Tempo itu hanya menguntungkan Sitok. Tapi dramatisasi keluarga itu sangat tidak relevan dengan kasus pemerkosaan yang dituduhkannya.
Kedelapan, tidak proporsional. Artinya, berita yang dominan hanya menempatkan sosok Sitok yang bertanggungjawab, baik, juga didukung oleh istrinya yang setia. Lantas, mana suara korban? Mana fakta dimana korban mendapatkan terror yang membuatnya trauma, terror yang menjadikan korban pemerkosaan sempat melakukan percobaan bunuh diri.
Kesembilan, tak berani melawan penguasa. Dalam industri media, penguasa bisa diartikan penguasa (pemerintah) maupun penguasa media itu sendiri. Nah, Sitok adalah sekongkol Goenawan Mohammad. Jelas wartawan Tempo dalam kasus ini benar-benar tak punya daya (loyo) untuk mengungkap kasus yang sebenarnya. Termasuk, sebenarnya akan menjadi fakta yang asyik jika desas-desus yang mengatakan GM juga melakukan hal yang sama (hanya tidak ketahuan) juga diungkap ke publik. Tempo berani? Pasti tak punya nyali.
Begitulah, dosa-dosa Tempo. Wartawan dan pegiat Tempo telah melakukan pilihan yang keliru itu. Apa boleh buat, Tempo mungkin bisa sesumbar sebagai media yang besar. Tapi, apakah mampu melawan jurnalisme warga yang menjadikannya musuh bersama? Kita tunggu saja.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar