Jika ada sebuah pertanyaan “Apakah anda nyaman tinggal di negara Indonesia ini?” Maka mungkin saya adalah orang pertama yang merasa kurang nyaman tinggal di negara ini.
Saya merasa tidak nyaman bukan karena kesabaran saya yang kurang saat Indonesia tak kunjung beranjak dari keterpurukan, bukan tak nyaman karena Indonesia terus menjadi sebuah negara dengan Indeks persepsi korupsi yg rendah atau bukan tak nyaman karena tingginya angka kriminalitas meski itu semua membuat saya prihatin. Namun saya kerap merasa terusik dengan penegakan hukum yang dijalankan setengah hati.
Apa yang ada di benak saya, berbagai catatan diatas hanya sebuah implikasi dari tidak tegaknya hukum di negara ini. Stagnasi pembangunan, angka korupsi yang tinggi atau tingginya kriminalitas yang ada sekarang disebabkan satu faktor yaitu penegakan hukum yang tidak benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya.
Penegakan hukum di Indonesia menurut saya adalah penegakan hukum yang penuh drama dan kepura-puraan. Misalnya pemberantasan korupsi setengah hati dengan tebang pilihnya perkara korupsi, Pemberantasan korupsi atas dasar kepentingan politik atau karut marutnya cara menegakkan hukum telah melahirkan kekecewaan karena banyak ketidakadilan yang timbul karenanya.
Silahkan anda lihat bagaimana sebuah lembaga pemberantas korupsi menjadi alat politik dan kepentingan kelompok tertentu, Lihat bagaimana mereka mementaskan drama kamasutra yang didalamnya melacurkan proses hukum dengan penghancuran moral pribadi seorang tersangka meski tiada kaitan antara perkara korupsi yang tengah ia hadapi. Anda juga tentu mampu menelaah berbagai rekayasa perkara hanya untuk menumbangkan kelompok yang tak disukai oleh kelompok lainnya sehingga sebuah proses hukum dijalankan sangat tampak dipaksakan atau penegakan hukum yang tak sesuai rambu-rambu yang telah digariskan di dalam UU atas nama semangat dan terobosan pemberantasan korupsi. Bagi saya itu tampak konyol yang tak lebih bagus dari apa yang disebut sebagai pseudolaw alias hukum yang dipaksakan.
Dari itu semua, lebih memprihatinkan lagi saat berbagai pihak yang kritis terhadap penegakan hukum dipersepsikan sebagai pihak-pihak yang kontra dengan pemberantasan korupsi. Opini penting para guru besarpun hanya dianggap sebagai sebuah pendapat jalanan yang tak lagi memiliki bobot dan makna dalam menginterpretasi sebuah perkara hukum. Pendapat para Guru Besar dan Akademisi nonpartisan tersebut dianggap sebagai opini-opini yang menyesatkan dengan label sebagai orang normatif, prosedural atau penganut positivism hukum yang kaku dan tak punya daya dobrak dalam pemberantasan korupsi yang dianggap telah sangat akuut.
Lembaga pemberantas korupsi yang telah menjadi alat kekuasaan, hakim-hakim yang takut berhadapan dengan persepsi publik, berbagai LSM antikorupsi yang senantiasa terus mengintimidasi para penegak hukum dengan mempersepsikan mereka yang tak sejalan dengan sebutan tidak berintegritas membuat hukum di Negara ini semakin amburadul karena hasil menjadi tujuan utama dengan mengabaikan cara-cara penanganannya.
Bagi saya, Pendapat Hans Kelsen sangat tepat yaitu hukum murni yang harus dibersihkan dari anasir-anasir non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, kepentingan kelompok bahkan etis. Hukum adalah kumpulan norma-norma dengan berbagai batasan dalam pelaksanaanya. Hukum adalah keharusan yang mengatur tingkah laku manusia termasuk mengatur mereka yang menjalankan proses hukum itu sendiri sehhingga aturan hukum yang benar-benar dijalankan secara prosedural adalah entry acces utama untuk mencapai keadilan pada langkah berikutnya.
Jadi kepada siapa lagi kita mempercayakan keadilan di negeri ini jika pemberantas korupsi yang super saja dikendalikan dan menjadi alat penguasa dengan berbagai kesembronoannya dalam melaksanakan penegakan hukum? Kepada siapa lagi kita menyandarkan kebenaran obyektif jika hakim-hakim yang semestinya memberikan keadilan hanya sosok-sosok penakut untuk menyelaraskan arti kebenaran dengan aturan yang ada? Kepada siapa lagi kita meminta rujukan saat opini para professor kedudukannya tak lebih bernilai dari ocehan preman pasar?
“Prihatin”
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Saya merasa tidak nyaman bukan karena kesabaran saya yang kurang saat Indonesia tak kunjung beranjak dari keterpurukan, bukan tak nyaman karena Indonesia terus menjadi sebuah negara dengan Indeks persepsi korupsi yg rendah atau bukan tak nyaman karena tingginya angka kriminalitas meski itu semua membuat saya prihatin. Namun saya kerap merasa terusik dengan penegakan hukum yang dijalankan setengah hati.
Apa yang ada di benak saya, berbagai catatan diatas hanya sebuah implikasi dari tidak tegaknya hukum di negara ini. Stagnasi pembangunan, angka korupsi yang tinggi atau tingginya kriminalitas yang ada sekarang disebabkan satu faktor yaitu penegakan hukum yang tidak benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya.
Penegakan hukum di Indonesia menurut saya adalah penegakan hukum yang penuh drama dan kepura-puraan. Misalnya pemberantasan korupsi setengah hati dengan tebang pilihnya perkara korupsi, Pemberantasan korupsi atas dasar kepentingan politik atau karut marutnya cara menegakkan hukum telah melahirkan kekecewaan karena banyak ketidakadilan yang timbul karenanya.
Silahkan anda lihat bagaimana sebuah lembaga pemberantas korupsi menjadi alat politik dan kepentingan kelompok tertentu, Lihat bagaimana mereka mementaskan drama kamasutra yang didalamnya melacurkan proses hukum dengan penghancuran moral pribadi seorang tersangka meski tiada kaitan antara perkara korupsi yang tengah ia hadapi. Anda juga tentu mampu menelaah berbagai rekayasa perkara hanya untuk menumbangkan kelompok yang tak disukai oleh kelompok lainnya sehingga sebuah proses hukum dijalankan sangat tampak dipaksakan atau penegakan hukum yang tak sesuai rambu-rambu yang telah digariskan di dalam UU atas nama semangat dan terobosan pemberantasan korupsi. Bagi saya itu tampak konyol yang tak lebih bagus dari apa yang disebut sebagai pseudolaw alias hukum yang dipaksakan.
Dari itu semua, lebih memprihatinkan lagi saat berbagai pihak yang kritis terhadap penegakan hukum dipersepsikan sebagai pihak-pihak yang kontra dengan pemberantasan korupsi. Opini penting para guru besarpun hanya dianggap sebagai sebuah pendapat jalanan yang tak lagi memiliki bobot dan makna dalam menginterpretasi sebuah perkara hukum. Pendapat para Guru Besar dan Akademisi nonpartisan tersebut dianggap sebagai opini-opini yang menyesatkan dengan label sebagai orang normatif, prosedural atau penganut positivism hukum yang kaku dan tak punya daya dobrak dalam pemberantasan korupsi yang dianggap telah sangat akuut.
Lembaga pemberantas korupsi yang telah menjadi alat kekuasaan, hakim-hakim yang takut berhadapan dengan persepsi publik, berbagai LSM antikorupsi yang senantiasa terus mengintimidasi para penegak hukum dengan mempersepsikan mereka yang tak sejalan dengan sebutan tidak berintegritas membuat hukum di Negara ini semakin amburadul karena hasil menjadi tujuan utama dengan mengabaikan cara-cara penanganannya.
Bagi saya, Pendapat Hans Kelsen sangat tepat yaitu hukum murni yang harus dibersihkan dari anasir-anasir non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, kepentingan kelompok bahkan etis. Hukum adalah kumpulan norma-norma dengan berbagai batasan dalam pelaksanaanya. Hukum adalah keharusan yang mengatur tingkah laku manusia termasuk mengatur mereka yang menjalankan proses hukum itu sendiri sehhingga aturan hukum yang benar-benar dijalankan secara prosedural adalah entry acces utama untuk mencapai keadilan pada langkah berikutnya.
Jadi kepada siapa lagi kita mempercayakan keadilan di negeri ini jika pemberantas korupsi yang super saja dikendalikan dan menjadi alat penguasa dengan berbagai kesembronoannya dalam melaksanakan penegakan hukum? Kepada siapa lagi kita menyandarkan kebenaran obyektif jika hakim-hakim yang semestinya memberikan keadilan hanya sosok-sosok penakut untuk menyelaraskan arti kebenaran dengan aturan yang ada? Kepada siapa lagi kita meminta rujukan saat opini para professor kedudukannya tak lebih bernilai dari ocehan preman pasar?
“Prihatin”
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar