Pernyataan Menko Perekonomian, Hatta Radjasa jangan mengkambinghitamkan buruh sebagai penyebab naiknya angka pengangguran, patut disesalkan. Sebab, sikapnya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut. Ia sengaja menimpakan kegagalannya mempimpin tim ekonomi kepada buruh yang melakukan demo besar-besaran pada pekan lalu.
“Hatta Radjasa segera mencabut pernyataannya dan harus meminta maaf secara terbuka kepada buruh. Sebagai seorang Menko Perekonomian, dia seharusnya bisa memberikan fakta ilmiah kepada publik mengenai hubungan antara demo buruh dengan meningkatnya angka pengangguran. Bukan sekedar pernyataan politis, dan menuding buruh menuntut haknya itu, malah dikategorikan sebagai perilaku yang merugikan negara,” kata peneliti Indonesia Economic Development Studies (IEDS), Musyafaur Rahman dalam rilisnya yang diterima, Rabu (06/11).
Menurutnya, sebagai pejabat negara, Hatta lebih tepat menjelaskan mengenai merosotnya perekonomian nasional yang memicu terjadinya penurunan penyerapan tenaga kerja. Sebab, rasio kebutuhan industri akan tenaga kerja, jauh lebih kecil dibanding jumlah warga Indonesia yang memasuki usia kerja ataupun jumlah lulusan SMU maupun Sarjana. “Kami lebih meyakini alasan utama meningkatnya jumlah pengangguran versi BPS (Badan Pusat Statistik-red),” ujar Rahman.
Dalam kurun waktu satu semester terakhir ini, ungkap dia, berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung tidak ramah terhadap dunia usaha, juga dipertontonkan secara signifikan. Hal ini bisa dilihat mulai dari kenaikan harga BBM serta berlanjut dengan kenaikan tariff dasar listrik. Semuanya memiliki imbas terhadap dunia usaha. “Belum lagi melonjaknya arus barang impor yang semakin tidak terbendung dan dibuka bebas meski pasar bebas APEC sendiri baru dimulai pada 2015 mendatang,” tegasnya.
IEDS hingga detik ini, tutur Rahman,
meyakini sampai kapanpun aksi buruh yang menuntut kesejahteraan, hanyalah imbas dari ketidakmampuan pemerintah. Hal ini terutama dalam memberikan jaminan kesejahteraan lewat pengelolaan pajak untuk rakyat serta bangunan pondasi ekonomi yang justru menjadi pengikut arus pasar dan bukan penentu.
“Ketika Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi proasingnya gagal menstabilkan harga bahan makanan, barang-barang kebutuhan pokok, harga sewa rumah petakan hingga pakaian, transportasi dan pendidikan, maka saat itulah nilai keekonomian yang diterima buruh dalam bentuk upah tidak akan pernah sepadan dan akan selalu ikut naik seiring dengan kenaikan harga-harga,” jelasnya.
Bagi IEDS, imbuh dia, seharusnya pemerintah tidak selalu menjadikan buruh sebagai objek yang dipersalahkan dan selalu dikalahkan dalam berbagai pilihan kebijakan ekonomi yang diambil. Sebab, pada dasarnya sebagai rakyat Indonesia yang menempati urutan kelas mayoritas di negeri ini, kepentingan buruh dan kesejahteraan mereka menjadi ukuran representatif bagi tingkat kesejahteraan rakyat di republik ini.
Atas dasar itu, paparnya, IEDS meminta dengan tegas agar Hatta dapat mempertanggungjawabkan kata-katanya dengan meminta maaf secara terbuka kepada buruh. Sebab, pernyataannya yang mendiskreditkan dan menempatkan buruh sebagai objek yang dipersalahkan atas meningkatnya angka pengangguran di negeri ini, seharusnya menjadi tanggungjawab pejabat setingkat Menko Perekonomian.
Menteri Hatta harus menjelaskan kepada publik pertanggungjawaban atas melonjaknya angka pengangguran di negara ini, dalam kurun waktu satu semester terakhir. “Hatta Radjasa harus siap mengundurkan diri, jika gagal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pejabat negara. Bukan sebaliknya, menjadikan pihak lain, dalam hal ini buruh sebagai kambing hitam atas kesalahan pengelolaan negara, khususnya di bidang perekonomian,” tandas Rahman.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
“Hatta Radjasa segera mencabut pernyataannya dan harus meminta maaf secara terbuka kepada buruh. Sebagai seorang Menko Perekonomian, dia seharusnya bisa memberikan fakta ilmiah kepada publik mengenai hubungan antara demo buruh dengan meningkatnya angka pengangguran. Bukan sekedar pernyataan politis, dan menuding buruh menuntut haknya itu, malah dikategorikan sebagai perilaku yang merugikan negara,” kata peneliti Indonesia Economic Development Studies (IEDS), Musyafaur Rahman dalam rilisnya yang diterima, Rabu (06/11).
Menurutnya, sebagai pejabat negara, Hatta lebih tepat menjelaskan mengenai merosotnya perekonomian nasional yang memicu terjadinya penurunan penyerapan tenaga kerja. Sebab, rasio kebutuhan industri akan tenaga kerja, jauh lebih kecil dibanding jumlah warga Indonesia yang memasuki usia kerja ataupun jumlah lulusan SMU maupun Sarjana. “Kami lebih meyakini alasan utama meningkatnya jumlah pengangguran versi BPS (Badan Pusat Statistik-red),” ujar Rahman.
Dalam kurun waktu satu semester terakhir ini, ungkap dia, berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung tidak ramah terhadap dunia usaha, juga dipertontonkan secara signifikan. Hal ini bisa dilihat mulai dari kenaikan harga BBM serta berlanjut dengan kenaikan tariff dasar listrik. Semuanya memiliki imbas terhadap dunia usaha. “Belum lagi melonjaknya arus barang impor yang semakin tidak terbendung dan dibuka bebas meski pasar bebas APEC sendiri baru dimulai pada 2015 mendatang,” tegasnya.
IEDS hingga detik ini, tutur Rahman,
meyakini sampai kapanpun aksi buruh yang menuntut kesejahteraan, hanyalah imbas dari ketidakmampuan pemerintah. Hal ini terutama dalam memberikan jaminan kesejahteraan lewat pengelolaan pajak untuk rakyat serta bangunan pondasi ekonomi yang justru menjadi pengikut arus pasar dan bukan penentu.
“Ketika Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi proasingnya gagal menstabilkan harga bahan makanan, barang-barang kebutuhan pokok, harga sewa rumah petakan hingga pakaian, transportasi dan pendidikan, maka saat itulah nilai keekonomian yang diterima buruh dalam bentuk upah tidak akan pernah sepadan dan akan selalu ikut naik seiring dengan kenaikan harga-harga,” jelasnya.
Bagi IEDS, imbuh dia, seharusnya pemerintah tidak selalu menjadikan buruh sebagai objek yang dipersalahkan dan selalu dikalahkan dalam berbagai pilihan kebijakan ekonomi yang diambil. Sebab, pada dasarnya sebagai rakyat Indonesia yang menempati urutan kelas mayoritas di negeri ini, kepentingan buruh dan kesejahteraan mereka menjadi ukuran representatif bagi tingkat kesejahteraan rakyat di republik ini.
Atas dasar itu, paparnya, IEDS meminta dengan tegas agar Hatta dapat mempertanggungjawabkan kata-katanya dengan meminta maaf secara terbuka kepada buruh. Sebab, pernyataannya yang mendiskreditkan dan menempatkan buruh sebagai objek yang dipersalahkan atas meningkatnya angka pengangguran di negeri ini, seharusnya menjadi tanggungjawab pejabat setingkat Menko Perekonomian.
Menteri Hatta harus menjelaskan kepada publik pertanggungjawaban atas melonjaknya angka pengangguran di negara ini, dalam kurun waktu satu semester terakhir. “Hatta Radjasa harus siap mengundurkan diri, jika gagal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pejabat negara. Bukan sebaliknya, menjadikan pihak lain, dalam hal ini buruh sebagai kambing hitam atas kesalahan pengelolaan negara, khususnya di bidang perekonomian,” tandas Rahman.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar