Diskursus Islam dan kekuasaan, nampaknya sudah final. Faham-faham yang kolonialisme yang dijejalkan kepada kalangan Muslim, nampak semakin pudar. Paham kolonialisme yang dimaksud adalah setiap faham yang hendak menjauhkan umat Islam dari pengelolaan SDA dan SDM sesuai misi besar manusia menjadi khalifah dan pemakmur alam semesta.
Pihak kolonial memanfaatkan beragam faham untuk menjauhkan umat Islam dari kekuasaan:
1. Faham yang mempersempit makna ibadah tidak dalam bingkai Din, Dunia, Daulah. Faham ini sangat marak di era Kolonial Inggris, Holland, AS, Yahudi dan bertahan hingga kini. Dengan faham tersebut, umat Islam dibuat tak berkutik. Hanya diberi jatah sebagai kuli atau tukang parkir di etalase negara yang asset-assetnya dimiliki penjajah.
2. Faham yang menunggu kekuasaan dan memalingkan umat dari pertempuran nyata di hadapan, dengan dalih kondisi yang tidak ideal. Faham ini meniadakan Jihad hingga ada komandan tertinggi, yang disebut amir atau khalifah. Maka faham ini meniadakan peran yayasan, sekolah, lembaga sosial, hingga lembaga sosial masyarakat. Faham yang mengarahkan umat mendengkur dan tak sadar sedang bertempur. Hobinya ikut campur menebar agitasi, tak sadar perannya telah membuat umat Islam semakin babak belur.
3. Faham inferior, yaitu faham yang menganggap kita kurang ilmu, minim pengalaman, sepi keahlian. Faham ini dimanfaatkan kolonial untuk membuat umat Islam terutama kaum mudanya, setback dan mengalihkan perjuangan yang sudah di depan mata.
Faham pertama dan kedua, sangat mudah dikenali. Sangat absurd jika kita mengikuti faham pertama dan kedua di saat umat terpuruk. Namun untuk faham yang ketiga, seringkali membuat kita terperosok ke dalam penyakit 'ajzuts tsiqoot (ketidakberdayaan orang-orang yang telah tsiqoh dalam perjuangan). Contohnya sangat lumrah terjadi. Massifnya aksi-aksi politik di PKS, acap membuat kader-kader tidak lagi meereguk samudera ilmu. Liqoaat dirasa sekedar rutinitas. Para pembina dituduh tidak sempat lagi melakukan persiapan-persiapan memadai. Demikian jajaran kaderisasi, dinilai tak sempat menginternalisasi nilai-nilai tarbawi yang dulu begitu kental. Lalu terdengar suara dari sayup-sayup hingga terang-terangan, untuk menjauhi dunia politik dan menghentikan perjuangan politik dengan dalih politik selama ini sia-sia belaka. Jiwa-jiwa yang tsiqoh ini pun memilih mundur teratur atau bersikap tak acuh dan ikut bergaduh.
Bagi kita, menuntut ilmu adalah fardhu 'ain. Tak ada kata berhenti hingga kita dijemput mati. Namun ilmu yang terbaik adalah ilmu aplikatif, yang dapat membimbing kita membimbing perjuangan-perjuangan yang efektif, terukur, dan inovatif. Masalahnya adalah berapa lama waktu yang kita butuhkan? Semisal kita mencita-citakan tafaqquh fiddien (faham mendalam agama), pertanyaannya adalah, berapa tahunkah? Lalu apakah pantas saat kita belajar itu kita meninggalkan perjuangan-perjuangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pencerdasan umat?
Ada baiknya kita mengikuti konsep yang ditawarkan Syaikh Al-Qaradhawi. Beliau membuat buku khusus berjudul Taisiirul Fiqhi Lil Muslim Al-Mu'ashir (Konsep Fiqh yang Mudah Untuk Muslim Kontemporer). Artinya kita pelajari yang mudah-mudah dari agama ini. Syaikh Al-Qaradhawi memandang, umat Islam harus terjun ke perjuangan hakiki; dalam persaingan ekonomi global, pergulatan politik praktis, pembebasan Al-Aqsha, hingga pada kebangkitan nyata umat Islam.
Bayangkan, jika kader-kader yang telah tsiqoh mundur teratur dari perjuangan-perjuangan di atas? Siapa yang akan melawan pertarungan di parlemen dengan SEKULER-LIBERAL-SYI'AH-PAHAM SESAT-Hegemoni Non Islam? Hari ini saja kita tak mampu menandingi massifnya ekonomi yang kita faham dikuasai Non Islam? Bukankah Jakarta saja kini menjadi tak tentu arah dan tak jelas jalan?
Permasalahan adanya praktik-praktik yang tidak ideal dan dilakukan beberapa kader PKS, menurut saya itu bagian dari pendewasaan. Tidak perlu apologetik dan tidak perlu juga emosional. Mental penguasa itu akan terlatih dari ujian-ujian yang berlaku. Tugas kita saat melihat saudara kita yang terpeleset adalah mengulurkan tangan, bukan mengepalkan tangan apalagi menjorokkannya hingga terkapar. Tugas kita adalah mencari celah, mengapa seorang kader bisa terpeleset? Untuk kemudian kita cari solusinya. Lantas adakah jaminan saat kita gagal atau menghindar dari ujian-ujian itu kita akan bebas dari ujian yang sama di masa depan? Kallaa ...sama sekali tidak. Justru di saat kita menghindar atau gagal menghadapi ujian korupsi, godaan wanita, dan jabatan, ujian itu akan datang sedia kala di masa depan? Ini sudah sunnatullah. Kia anggap beberapa Pemilu masa lalu sebagai tim ekspedisi pemantau situasi. Di 2014, adalah momentum terbaik untuk menebar cinta-kerja-harmoni. Wallahu A'lam.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Pihak kolonial memanfaatkan beragam faham untuk menjauhkan umat Islam dari kekuasaan:
1. Faham yang mempersempit makna ibadah tidak dalam bingkai Din, Dunia, Daulah. Faham ini sangat marak di era Kolonial Inggris, Holland, AS, Yahudi dan bertahan hingga kini. Dengan faham tersebut, umat Islam dibuat tak berkutik. Hanya diberi jatah sebagai kuli atau tukang parkir di etalase negara yang asset-assetnya dimiliki penjajah.
2. Faham yang menunggu kekuasaan dan memalingkan umat dari pertempuran nyata di hadapan, dengan dalih kondisi yang tidak ideal. Faham ini meniadakan Jihad hingga ada komandan tertinggi, yang disebut amir atau khalifah. Maka faham ini meniadakan peran yayasan, sekolah, lembaga sosial, hingga lembaga sosial masyarakat. Faham yang mengarahkan umat mendengkur dan tak sadar sedang bertempur. Hobinya ikut campur menebar agitasi, tak sadar perannya telah membuat umat Islam semakin babak belur.
3. Faham inferior, yaitu faham yang menganggap kita kurang ilmu, minim pengalaman, sepi keahlian. Faham ini dimanfaatkan kolonial untuk membuat umat Islam terutama kaum mudanya, setback dan mengalihkan perjuangan yang sudah di depan mata.
Faham pertama dan kedua, sangat mudah dikenali. Sangat absurd jika kita mengikuti faham pertama dan kedua di saat umat terpuruk. Namun untuk faham yang ketiga, seringkali membuat kita terperosok ke dalam penyakit 'ajzuts tsiqoot (ketidakberdayaan orang-orang yang telah tsiqoh dalam perjuangan). Contohnya sangat lumrah terjadi. Massifnya aksi-aksi politik di PKS, acap membuat kader-kader tidak lagi meereguk samudera ilmu. Liqoaat dirasa sekedar rutinitas. Para pembina dituduh tidak sempat lagi melakukan persiapan-persiapan memadai. Demikian jajaran kaderisasi, dinilai tak sempat menginternalisasi nilai-nilai tarbawi yang dulu begitu kental. Lalu terdengar suara dari sayup-sayup hingga terang-terangan, untuk menjauhi dunia politik dan menghentikan perjuangan politik dengan dalih politik selama ini sia-sia belaka. Jiwa-jiwa yang tsiqoh ini pun memilih mundur teratur atau bersikap tak acuh dan ikut bergaduh.
Bagi kita, menuntut ilmu adalah fardhu 'ain. Tak ada kata berhenti hingga kita dijemput mati. Namun ilmu yang terbaik adalah ilmu aplikatif, yang dapat membimbing kita membimbing perjuangan-perjuangan yang efektif, terukur, dan inovatif. Masalahnya adalah berapa lama waktu yang kita butuhkan? Semisal kita mencita-citakan tafaqquh fiddien (faham mendalam agama), pertanyaannya adalah, berapa tahunkah? Lalu apakah pantas saat kita belajar itu kita meninggalkan perjuangan-perjuangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pencerdasan umat?
Ada baiknya kita mengikuti konsep yang ditawarkan Syaikh Al-Qaradhawi. Beliau membuat buku khusus berjudul Taisiirul Fiqhi Lil Muslim Al-Mu'ashir (Konsep Fiqh yang Mudah Untuk Muslim Kontemporer). Artinya kita pelajari yang mudah-mudah dari agama ini. Syaikh Al-Qaradhawi memandang, umat Islam harus terjun ke perjuangan hakiki; dalam persaingan ekonomi global, pergulatan politik praktis, pembebasan Al-Aqsha, hingga pada kebangkitan nyata umat Islam.
Bayangkan, jika kader-kader yang telah tsiqoh mundur teratur dari perjuangan-perjuangan di atas? Siapa yang akan melawan pertarungan di parlemen dengan SEKULER-LIBERAL-SYI'AH-PAHAM SESAT-Hegemoni Non Islam? Hari ini saja kita tak mampu menandingi massifnya ekonomi yang kita faham dikuasai Non Islam? Bukankah Jakarta saja kini menjadi tak tentu arah dan tak jelas jalan?
Permasalahan adanya praktik-praktik yang tidak ideal dan dilakukan beberapa kader PKS, menurut saya itu bagian dari pendewasaan. Tidak perlu apologetik dan tidak perlu juga emosional. Mental penguasa itu akan terlatih dari ujian-ujian yang berlaku. Tugas kita saat melihat saudara kita yang terpeleset adalah mengulurkan tangan, bukan mengepalkan tangan apalagi menjorokkannya hingga terkapar. Tugas kita adalah mencari celah, mengapa seorang kader bisa terpeleset? Untuk kemudian kita cari solusinya. Lantas adakah jaminan saat kita gagal atau menghindar dari ujian-ujian itu kita akan bebas dari ujian yang sama di masa depan? Kallaa ...sama sekali tidak. Justru di saat kita menghindar atau gagal menghadapi ujian korupsi, godaan wanita, dan jabatan, ujian itu akan datang sedia kala di masa depan? Ini sudah sunnatullah. Kia anggap beberapa Pemilu masa lalu sebagai tim ekspedisi pemantau situasi. Di 2014, adalah momentum terbaik untuk menebar cinta-kerja-harmoni. Wallahu A'lam.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar