“Halaqah adalah lingkaran-lingkaran wawasan dan ide-ide yang
merangkum pendapat, opini dan berbagai gagasan. Seperti yang dilakukan
Hasan Al-Banna, ia menjelma menjadi rumusan mimpi dan idealisme, dari
gagasan yang terlontar menjadi rumusan, menjadi program, menjadi nyata!
Nyata! Dan akhirnya… mengubah segalanya!”
Segumpal kalimat tadi adalah kata-kata yang kutulis di sela qadhaya Halaqah Tarbawiyah, suatu lingkaran manusia yang di dalamnya kami membahas cita, kami membahas idea, kami mengkaji alam raya yang seluruhnya tertuang nan kencang menggema di setiap lembaran Qur’an. Indahnya.
Haha, baiklah. Saat ini aku baru pemula dalam Halaqah, jangankan jadi Murabbi, jadi Mutarabbi saja baru 5 tahun, yang baru ngena di hati ya kisaran 2 tahun terakhir ini. But, just enjoy it! Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kawan tahu? Dalam halaqah, aku mendengar tokoh-tokoh tajdid semisal Hasan Al-Banna, Rasyid Ridha, Sayyid Quthb berdialog dalam imajinerku, lewat kultum dan pembahasan Maj’muah Rasail, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, Ma’aalim Fit Thariiq dan kawan-kawannya. Di lingkaran itu risalah Besar dan sistem yang syumul begitu terampil diracik Para pendahulu dakwah dan disampaikan enerjik melalui lisan Murabbi kami.
Murabbi, guru kami yang memetikkan jagung keras, lalu merebusnya hingga warnanya matang, lalu mengambil satu persatu butiran jagung, menambahnya dengan susu dan selai, atau kadang mengemasnya dengan semangkuk air susu, lalu membagikannya pada kami.
Jangan kau kira yang ku maksud jagung itu jagung beneran ya, murabbiku tak pernah memberi jagung, seringnya keripik. Beneran. Hehehe. Itu adalah ibarat cantik manhaj tarbiyah yang detail nan rumit (jagung keras), lalu dikemas (dimasak) seringan mungkin bagi kami yang masih harus belajar jauh-jauh (Jus Jagung atau Sop Jagung). Agar kami mengerti perlahan, paham beriringan, lalu bekerja selangkah demi selangkah, tapi pasti.
Halaqah, Aku yakin dan memang harus yakin, bahwa Nabi-Nabi dan para generasi emas itu menanam cinta dan cita melalui kajian ilmu dan diskusi gagasan, dalam lingkarankah, dalam majelis pengajiankah, dalam ruang kelaskah. Itu terserah karena memang semuanya indah. Yang membuatku takjub adalah, gagasan dan cita yang terlontar dari setiap lisan ketika Halaqah, materi-materi yang disampaikan begitu nyata, membuat kami melihat garis sejarah umat ini yang naik turun, membuat kami melihat gambar luas tentang dunia yang kian sengit berebut kuasa, lalu garis dan gambar itu membuat kami menyimpulkan suatu makna; kami harus bergerak! Bekerja! Bekerja!
“Urusan hasil, Serahkan pada Allah”, kata Murabbi kami. “Tugas kita, adalah berjuang!”
Tidak seperti majelis biasa yang membacakan sekadar teori dan poin-poin ritual Islam saja, halaqah membuat kami terjun berlingkar-lingkar ke masyarakat; mempraktekkan Shalat Jamaah, memenuhi Masjid dengan suara Tilawah, membantu Ibu tua menyeberang jalan dengan kendaraan tumpah ruah. Halaqah menjadi cara bagi Dakwah ini agar kami datang sebagai Solusi penuh arti , bukan sekadar agen berwajah sinis yang menganggap ini salah, itu salah, di sini salah, di sana salah tanpa menghadirkan rasa persatuan dan jalan keluar.
Al-Khuruj minal Ikhtilaf, mustahabbun
Keluar dari masalah polemik disukai dan lebih dekat pada sunnah, begitu kata Guru kami.
Ayo kita baca dunia; Pernah kan kawan melihat golongan yang bertentangan tentang Doa Qunut? Pernah kan kawan melihat jelas beberapa golongan yang membahas berjam-jam masalah Membaca Qur’an harus berwudhu atau tidak?
Kawan, Dalam umat yang besar ini, perbedaan masalah Fiqih memang ada, memang terjadi, dan bukan untuk di salah-salahkan, bukan untuk dipermasalahkan.
“Perbedaan adalah rahmat”, begitu ulama Pendahulu menyikapi perbedaan fatwa.
Maka dalam Halaqah, Murabbi kami menerangkan; “Ada golongan yang mewajibkan kau berwudhu sebelum membaca Qur’an. Ada pula golongan yang membiarkan kau tak apa-apa membaca Qur’an tanpa berwudhu. Bagaimana? Apa yang akan Kau lakukan? ”, tanya beliau.
Kami diam sambil mikir, mau bilang belum tahu, malu. Mau sok tahu, kalau salah tambah malu.
“Al-Khuruj minal Ikhtilaf …”, kata beliau, “Mustahabbun”, tambahnya.
“Maksudnya bagaimana tad?”
“Dua-duanya baik, dua-duanya punya dalil masing-masing…”
Beliau terdiam sejenak. Diamnya tanda kami harus lebih memerhatikan.
“Namun alangkah indahnya jika kita bisa menyingkirkan debat antara dua golongan ini dengan memilih opsi berwudhu saja. Kamu memilih berwudhu, maka golongan yang mewajibkan wudhu akan tersenyum padamu tanda setuju, golongan yang tidak mewajibkan wudhu juga mengacungkan jempol padamu, tidak berwudhu saja boleh, apalagi kalau berwudhu… Betul tidak? Menghindari perbedaan itu indah”
“Ada contoh lain nggak tad?”, kawan kami minta selidik.
“Kau tahu, ada mazhab Fiqih yang memperbolehkan menikah tanpa Wali, beliaulah Imam Abu Hanifah, mereka punya dalil. Namun Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad menetapkan seseorang kalau mau menikah haruslah ada walinya, itupun juga ada dalilnya”
“Terus tad…?”
“Ada seorang wanita datang pada Syaikh Yusuf Qaradhawi dan bertanya, bolehkah dia menikah tanpa wali? Ustadz Yusuf serta merta menjawab, kalau memakai mazhab Abu Hanifah mah boleh, tapi kalau kamu masih punya wali, ngapain kamu nikah tanpa wali nak..?”
“Kalau kamu menikah tanpa wali, menurut para ulama Mazhab Hanifah mah sah-sah saja, namun akan menimbulkan perbedaan di Penganut Mazhab Syafi’i dan rekan-rekannya yang pro-ada wali. Kalau kamu pakai wali kan nyaman, aman, tidak usah pakai debat dulu. Kamu tenang, ulama Mazhab Hanafi no problem, ulama Jumhur juga oke. Nggak ada masalah kan?”
Kami manggut manggut, salut.
Sadarlah kami, perbedaan seperti itu jika tidak dipahami benar oleh umat ini, justru akan jadi masalah besar. Umat ini semakin jauh dari kepahaman, umat ini hanya mengikuti mazhab dengan cara mbebek, tak berdasar, tak tahu dalil, tak tahu hujjah. Taqlid, itu bahasa kerennya
Kau tahu? Bahkan karena masalah Qunut, sebuah desa terbelah dua, yang satu punya masjid yang wajib Qunut setiap Subuh. Di seberangnya lagi ada masjid tandingan yang tak pernah memakai qunut setiap subuhnya. Jamaah berpisah, saling gengsi, saling mencibir. Kasihan Umat ini.
Kau tahu? Bahkan karena ketidakpahaman umat ini, mereka saling menyalahkan ormas (Organisasi Massa) yang berbeda mazhab, mereka menyalahkan kelompok lain yang punya hujjah berbeda.
Kau tahu? Hanya karena beda ormas, seorang bapak yang baru renovasi rumah terang-terangan lebih memilih membeli furniture ke Orang Cina dengan harga mahal daripada harus membeli di toko Furniture sebelah rumahnya sendiri yang sama-sama muslim.
Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Hambali adalah teladan besar yang memang kadang berbeda dalam fatwa, namun saling mengunjungi bertukar makanan, saling menjadi murid, dan saling memuji satu sama lain.
Ah, selanjutnya pilihan ada pada kita. Nahnu Du’aatun, Lasna Qudhaatan, Kita adalah da’i yang mencerahkan, bukan tukang labelling yang suka menyalahkan. Jika generasi ini masih melihat masalah Fiqih yang cabang (furu’) sebagai bahan debat di gedung-gedung Kampus atau masjid-masjid besar, tunggu saja
Bangsa ini lenyap ditelan gelombang. Tunggu saja Umat ini semakin ringkih jiwanya, lalu pontang-panting dibenturkan dengan tawaan dan tangan-tangan jahil para musuh yang semakin banyak saja.
Raut muka Indonesia kini pucat, karena seharusnya penata yang mengurusnya dengan telaten kini saling berargumen, saling mengklaim kebenaran milik sendiri.
Dan lewat Halaqah, Ilmu mengajakku menyelam lebih dalam, ia jadi kapal selam yang mengajak kami tak hanya melihat riak-riak gelombang yang saling berbentur, namun menyuguhkan kami karang laut yang indah dan fauna laut yang berwarna-warna, juga birunya laut nan tenang. Risalah tarbiyah ini mengajakmu tak membahas perdebatan, ia mengajakmu tampil…
Bukan tampil menjadi Pendebat baru, kita tampil menjadi solusi.
Sungguh, menjadi Solusi!
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (Ali Imran: 105)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Segumpal kalimat tadi adalah kata-kata yang kutulis di sela qadhaya Halaqah Tarbawiyah, suatu lingkaran manusia yang di dalamnya kami membahas cita, kami membahas idea, kami mengkaji alam raya yang seluruhnya tertuang nan kencang menggema di setiap lembaran Qur’an. Indahnya.
Haha, baiklah. Saat ini aku baru pemula dalam Halaqah, jangankan jadi Murabbi, jadi Mutarabbi saja baru 5 tahun, yang baru ngena di hati ya kisaran 2 tahun terakhir ini. But, just enjoy it! Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kawan tahu? Dalam halaqah, aku mendengar tokoh-tokoh tajdid semisal Hasan Al-Banna, Rasyid Ridha, Sayyid Quthb berdialog dalam imajinerku, lewat kultum dan pembahasan Maj’muah Rasail, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, Ma’aalim Fit Thariiq dan kawan-kawannya. Di lingkaran itu risalah Besar dan sistem yang syumul begitu terampil diracik Para pendahulu dakwah dan disampaikan enerjik melalui lisan Murabbi kami.
Murabbi, guru kami yang memetikkan jagung keras, lalu merebusnya hingga warnanya matang, lalu mengambil satu persatu butiran jagung, menambahnya dengan susu dan selai, atau kadang mengemasnya dengan semangkuk air susu, lalu membagikannya pada kami.
Jangan kau kira yang ku maksud jagung itu jagung beneran ya, murabbiku tak pernah memberi jagung, seringnya keripik. Beneran. Hehehe. Itu adalah ibarat cantik manhaj tarbiyah yang detail nan rumit (jagung keras), lalu dikemas (dimasak) seringan mungkin bagi kami yang masih harus belajar jauh-jauh (Jus Jagung atau Sop Jagung). Agar kami mengerti perlahan, paham beriringan, lalu bekerja selangkah demi selangkah, tapi pasti.
Halaqah, Aku yakin dan memang harus yakin, bahwa Nabi-Nabi dan para generasi emas itu menanam cinta dan cita melalui kajian ilmu dan diskusi gagasan, dalam lingkarankah, dalam majelis pengajiankah, dalam ruang kelaskah. Itu terserah karena memang semuanya indah. Yang membuatku takjub adalah, gagasan dan cita yang terlontar dari setiap lisan ketika Halaqah, materi-materi yang disampaikan begitu nyata, membuat kami melihat garis sejarah umat ini yang naik turun, membuat kami melihat gambar luas tentang dunia yang kian sengit berebut kuasa, lalu garis dan gambar itu membuat kami menyimpulkan suatu makna; kami harus bergerak! Bekerja! Bekerja!
“Urusan hasil, Serahkan pada Allah”, kata Murabbi kami. “Tugas kita, adalah berjuang!”
Tidak seperti majelis biasa yang membacakan sekadar teori dan poin-poin ritual Islam saja, halaqah membuat kami terjun berlingkar-lingkar ke masyarakat; mempraktekkan Shalat Jamaah, memenuhi Masjid dengan suara Tilawah, membantu Ibu tua menyeberang jalan dengan kendaraan tumpah ruah. Halaqah menjadi cara bagi Dakwah ini agar kami datang sebagai Solusi penuh arti , bukan sekadar agen berwajah sinis yang menganggap ini salah, itu salah, di sini salah, di sana salah tanpa menghadirkan rasa persatuan dan jalan keluar.
Al-Khuruj minal Ikhtilaf, mustahabbun
Keluar dari masalah polemik disukai dan lebih dekat pada sunnah, begitu kata Guru kami.
Ayo kita baca dunia; Pernah kan kawan melihat golongan yang bertentangan tentang Doa Qunut? Pernah kan kawan melihat jelas beberapa golongan yang membahas berjam-jam masalah Membaca Qur’an harus berwudhu atau tidak?
Kawan, Dalam umat yang besar ini, perbedaan masalah Fiqih memang ada, memang terjadi, dan bukan untuk di salah-salahkan, bukan untuk dipermasalahkan.
“Perbedaan adalah rahmat”, begitu ulama Pendahulu menyikapi perbedaan fatwa.
Maka dalam Halaqah, Murabbi kami menerangkan; “Ada golongan yang mewajibkan kau berwudhu sebelum membaca Qur’an. Ada pula golongan yang membiarkan kau tak apa-apa membaca Qur’an tanpa berwudhu. Bagaimana? Apa yang akan Kau lakukan? ”, tanya beliau.
Kami diam sambil mikir, mau bilang belum tahu, malu. Mau sok tahu, kalau salah tambah malu.
“Al-Khuruj minal Ikhtilaf …”, kata beliau, “Mustahabbun”, tambahnya.
“Maksudnya bagaimana tad?”
“Dua-duanya baik, dua-duanya punya dalil masing-masing…”
Beliau terdiam sejenak. Diamnya tanda kami harus lebih memerhatikan.
“Namun alangkah indahnya jika kita bisa menyingkirkan debat antara dua golongan ini dengan memilih opsi berwudhu saja. Kamu memilih berwudhu, maka golongan yang mewajibkan wudhu akan tersenyum padamu tanda setuju, golongan yang tidak mewajibkan wudhu juga mengacungkan jempol padamu, tidak berwudhu saja boleh, apalagi kalau berwudhu… Betul tidak? Menghindari perbedaan itu indah”
“Ada contoh lain nggak tad?”, kawan kami minta selidik.
“Kau tahu, ada mazhab Fiqih yang memperbolehkan menikah tanpa Wali, beliaulah Imam Abu Hanifah, mereka punya dalil. Namun Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad menetapkan seseorang kalau mau menikah haruslah ada walinya, itupun juga ada dalilnya”
“Terus tad…?”
“Ada seorang wanita datang pada Syaikh Yusuf Qaradhawi dan bertanya, bolehkah dia menikah tanpa wali? Ustadz Yusuf serta merta menjawab, kalau memakai mazhab Abu Hanifah mah boleh, tapi kalau kamu masih punya wali, ngapain kamu nikah tanpa wali nak..?”
“Kalau kamu menikah tanpa wali, menurut para ulama Mazhab Hanifah mah sah-sah saja, namun akan menimbulkan perbedaan di Penganut Mazhab Syafi’i dan rekan-rekannya yang pro-ada wali. Kalau kamu pakai wali kan nyaman, aman, tidak usah pakai debat dulu. Kamu tenang, ulama Mazhab Hanafi no problem, ulama Jumhur juga oke. Nggak ada masalah kan?”
Kami manggut manggut, salut.
Sadarlah kami, perbedaan seperti itu jika tidak dipahami benar oleh umat ini, justru akan jadi masalah besar. Umat ini semakin jauh dari kepahaman, umat ini hanya mengikuti mazhab dengan cara mbebek, tak berdasar, tak tahu dalil, tak tahu hujjah. Taqlid, itu bahasa kerennya
Kau tahu? Bahkan karena masalah Qunut, sebuah desa terbelah dua, yang satu punya masjid yang wajib Qunut setiap Subuh. Di seberangnya lagi ada masjid tandingan yang tak pernah memakai qunut setiap subuhnya. Jamaah berpisah, saling gengsi, saling mencibir. Kasihan Umat ini.
Kau tahu? Bahkan karena ketidakpahaman umat ini, mereka saling menyalahkan ormas (Organisasi Massa) yang berbeda mazhab, mereka menyalahkan kelompok lain yang punya hujjah berbeda.
Kau tahu? Hanya karena beda ormas, seorang bapak yang baru renovasi rumah terang-terangan lebih memilih membeli furniture ke Orang Cina dengan harga mahal daripada harus membeli di toko Furniture sebelah rumahnya sendiri yang sama-sama muslim.
Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Hambali adalah teladan besar yang memang kadang berbeda dalam fatwa, namun saling mengunjungi bertukar makanan, saling menjadi murid, dan saling memuji satu sama lain.
Ah, selanjutnya pilihan ada pada kita. Nahnu Du’aatun, Lasna Qudhaatan, Kita adalah da’i yang mencerahkan, bukan tukang labelling yang suka menyalahkan. Jika generasi ini masih melihat masalah Fiqih yang cabang (furu’) sebagai bahan debat di gedung-gedung Kampus atau masjid-masjid besar, tunggu saja
Bangsa ini lenyap ditelan gelombang. Tunggu saja Umat ini semakin ringkih jiwanya, lalu pontang-panting dibenturkan dengan tawaan dan tangan-tangan jahil para musuh yang semakin banyak saja.
Raut muka Indonesia kini pucat, karena seharusnya penata yang mengurusnya dengan telaten kini saling berargumen, saling mengklaim kebenaran milik sendiri.
Dan lewat Halaqah, Ilmu mengajakku menyelam lebih dalam, ia jadi kapal selam yang mengajak kami tak hanya melihat riak-riak gelombang yang saling berbentur, namun menyuguhkan kami karang laut yang indah dan fauna laut yang berwarna-warna, juga birunya laut nan tenang. Risalah tarbiyah ini mengajakmu tak membahas perdebatan, ia mengajakmu tampil…
Bukan tampil menjadi Pendebat baru, kita tampil menjadi solusi.
Sungguh, menjadi Solusi!
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (Ali Imran: 105)
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar