Oleh: Muhammad Nuh
Hidup kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur. Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang
mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang
kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada
juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang
mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain
kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan
musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api
(pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah
dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah
yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang
ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa
jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan
sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi
kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang
mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit
menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa
sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki
yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang
diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya.
Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan
memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada
dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain:
gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan
sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit
mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang
dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja
bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan
berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan
berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat:
masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup
memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa
itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang
berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang
sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada
kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya.
Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt.
menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina
dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu
memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa
kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang
dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa,
kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain
yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan
dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin
yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan
kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa).
Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya
melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah,
‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.”
Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka
peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa
ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat,
Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan
gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah
karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih
sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu
Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran,
padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu
Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga
pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu
Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka
bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus
keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa
mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar