Saking gencarnya propaganda penyudutan itu dilakukan, Al-Qur’an
mengisahkan ulang tuduhan-tuduhan itu. “Hai orang yang diturunkan
Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang gila.” (Q.s.
Al-Hijr: 6-7).
Di ayat yang lain Allah kisahkan tuduhan kepada Sang Rasul, “Dia adalah
seorang yang menerima ajaran lagi pula seorang yang gila,” (Q.s.
Ad-Dukhan:13-14). Lelaki yang diakui jamak orang akan keluhuran
akhlaknya, kesantunan tutur katanya, kesopanan sikapnya, dan ketulusan
cintanya itu dianggap tidak waras.
Bukan hanya satu tuduhan, tapi banyak tuduhan yang disebarluaskan.
Muhammad dengan seluruh nama baik dan pesona kepribadiannya dihancurkan.
Mereka ingin kepercayaan publik kepada Sang Rasul yang mulia lagi jujur
itu koyak-koyak. “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu
kecelakaan menimpanya,” (Q.s. Ath-Thur:30).
Para penentang itu pun tidak kikuk melempar tuduhan, “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta,” (Q.s. Shad:4).
Dan mereka tidak berdiam diri, mesin-mesin propaganda mereka bekerja
massif; mempengaruhi banyak orang dan merasukkan tiap tuduhan tentang
Rasulullah pada setiap orang.
Mari kita bayangkan negeri tempat Rasulullah menyemai dakwah itu hampir
tak tersisa dari propaganda untuk menyudutkan beliau. Bahkan mereka yang
simpati dan peroleh hidayah pun hendak dibengkokkan kembali. Keraguan
ditanamkan, benih kebimbangan ditaburkan. “Kamu tidak lain hanyalah
mengikuti seorang lelaki yang kena sihir,” (Q.s. Al-Isra’:47-48).
Setiap tuduhan yang ditelunjukkan ke arah para dai, di sepanjang masa,
sama saja. Barangkali hanya bentuk redaksionalnya saja yang berbeda. Tak
akan sepi dakwah ini dari bermacam propaganda. Tak akan sunyi dakwah
ini dari segala tuduhan yang menghina-hina. Jangankan kita yang jelas
masih banyak cela, Rasulullah yang begitu jelita akhlaknya pun dianggap
pendusta.
Mari kita bayangkan betapa tuduhan-tuduhan itu, secara manusiawi,
melahirkan duka. “Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu,….” (Q.s. Al-An’am:33).
Ada duka, tapi bukan itu yang dipelihara. Allah menghendaki Rasulullah
dan para sahabat berbesar jiwa. Boleh jadi propaganda yang dilancarkan
para penentang banyak mempengaruhi orang, tapi dakwah sepenuh cinta
mesti tetap ditunaikan. “Maka, tetaplah memberi peringatan, dan kamu
disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenun dan bukan pula
seorang gila.” (Q.s. Ath-Thuur:30).
Bukan sikap kerdil yang membelenggu persepsi yang layak dipelihara dai
acapkali bertemu dengan tuduhan-tuduhan. Seringkali ‘merasa’ bahwa semua
jari telunjuk sedang diarahkan ke wajah kita menghambat diri untuk
bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Padahal, kadangkala tidak
seluruhnya demikian. Berinteraksi seringkali menjadi celah bagi
tersambungkannya hidayah.
Inilah yang dapat kita pelajari setiap kali membayangkan betapa
massifnya tuduhan yang dilancarkan mesin propaganda Walid bin Mughirah
terhadap Rasulullah dan barisan dakwah, serta bagaimana para sahabat
memperoleh hidayah dan menerima kebenaran. Kita menemukan dua frasa
kunci: kuasa Allah dan interaksi sosial yang tertunaikan. Alih-alih
menarik diri dari peraulan, Rasulullah dan para sahabat terus memperluas
pergaulan.
Dhimad Al-Azidi, lelelaki yang terpengaruh propaganda orang-orang
musyrik Quraisy bahwa Rasulullah gila itu datang ke Makkah. Ia dikenal
sebagai orang yang biasa menyembuhkan orang gila. Kedatangannya hendak
mengobati Muhammad. “Jika aku bertemu lelaki itu,” katanya tentang
Rasulullah, “semoga dapat kusembuhkan lewat tanganku.” Maka tatkala ia
bertemu Rasulullah keinginannya itu un ia samaikan.
“Wahai Muhammad,” demikian lelaki dari Azdi Syanwah itu memulai
pembicaraan, “sesungguhnya aku dapat menyembuhkan dari angin (pembawa
penyakit gila) ini. Dan sesungguhnya Allah menyembuhkan dari tanganku
orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bagaimana dengan engkau?”
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji dan memohon
pertolongan-Nya. Siapa yang diberi petunjuk, tak ada seorang pun dapat
menyesatkannya. Siapa yang disesatkannya, tidak seorang pun dapat
memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dia Mahaesa
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya,” demikian jawab Rasulullah.
Rupa-rupanya Dhimad Al-Azdi tertarik. “Ulangilah untukku kata-katamu
itu, Muhammad.” Rasulullah pun mengulangi hingga tiga kali. “Aku telah
mendengar perkataan tukang ramal, ahli sihir, para penyair.” Kata Dhimad
menjelaskan ketertarikannya, “Tapi aku tidak pernah mendengar perkataan
seperti yang engkau katakan. Kata-katamu telah mencapai puncak tinggi.”
“Ulurkan tanganmu,” katanya, “Aku berbaiat kepadamu untuk masuk Islam.”
Maka Rasulullah pun membaiatnya. “Dan juga untuk kaummu,” sabda
Rasulullah. Dhimad pun mengiyakan. “Juga untuk kaumku,” katanya.
Kita akan menemukan kisah-kisah serupa dari para sahabat Rasulullah. Ada
banyak orang yang semula waspada terhadap dakwah, dan bahkan antipati,
bersebab interaksi -alhamdulillah- tersentuhlah hati. Ada pula yang
ragu, bermula dari obrolan, ia pun terteguhkan. Di tengah derasnya
propaganda, selalu ada celah bagi terbukanya hidayah. Dan itu
menunjukkan bahwa Allah teramat berkuasa. Tak akan mengerdil mereka yang
dibesarkan Allah; tak akan juga membesar, siapa yang dikerdilkan Allah
ta’ala. Sekali lagi, boleh jadi propaganda untuk melemahkan dakwah
teramat luas jangkauannya, tapi itu sama sekali tak menyurutkan semangat
kita untuk berdakwah sepenuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar