Hilangnya respek saya kepada Tempo dan pendiri mereka, Goenawan Mohamad dimulai sejak tahun 2008 ketika mereka menerbitkan edisi kematian Pak Harto dengan cover seolah menyamakan Pak Harto sebagai Yesus Kristus. Vulgar dan jauh dari nilai artistik. Saat itu Tempo segera menjadi sasaran demonstrasi organisasi Katolik dan Kristen, dan to be fair Tempo melalui Toriq Hadad sudah menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf.
http://hujanderas.wordpress.com/2008/02/05/cover-majalah-tempo-menuai-kontroversi/
Seharusnya masalah sudah selesai, tapi dalam tahun-tahun berikutnya Tempo terus menerus membuat cover yang melukai perasaan umat beragama contohnya cover kaleng babi berlabel halal yang membangkitkan kemurkaan MUI dan beberapa elemen umat Islam (http://www.onvsoff.com/2014/02/tempo-melecehkan-mui-dan-umat-islam/). Dari berbagai cover tersebut saya menilai ada yang salah dari cara berpikir Tempo dan redaksinya. Namun saya tidak paham separah apa kesalahan berpikir tersebut mengingat setahu saya mereka mendukung kebebasan antar umat beragama melalui Jaringan Islam Liberal/JIL; Tifa; dll.
Masa sih kalangan liberal bisa intoleran? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan semua paham liberal itu sendiri? Tapi ternyata memang bisa sesuai kesaksian Sandrina Malakiano yang menerima komentar buruk dari kalangan yang mengaku liberal karena keputusan bersangkutan untuk memakai jilbab:
"Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro TV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ” seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua ” di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.
Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.
Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di tengah kemajemukan.
Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?
Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme “mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya” ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal"
https://id-id.facebook.com/kata2hikmah.new/posts/10151087822209355
Karena saya memahami bahwa kaum liberalis juga terdapat penganut fundamentalis berbahaya yang tidak memahami arti toleransi inilah alasan saya tertawa terbahak-bahak melihat kampanye hitam dari kalangan liberalis di kubu Jokowi-JK yang menginsinuasikan sedemikian rupa bahwa keberadaan organisasi Islam yang mereka nilai sebagai "Islam fundamentalis" di kubu Prabowo-Hatta berbahaya bagi Bhineka Tunggal Ika. Apalagi orang-orang yang menyerang dengan ketakutan "Islam fundamentalis" saya kenal baik sebagai para tokoh liberalis fundamentalis intoleran itu sendiri. Ditambah lagi memangnya Jokowi-JK bisa seberapa toleran bila di belakang mereka didukung penuh oleh jenderal merah ex kelompok Benny Moerdani yang pernah mau mendeislamisasi Republik Indonesia tapi digagalkan Prabowo itu?
Apalagi para liberalis fundamentalis itu di bawah komando pelawak tidak lucu bernama Ernest Prakasa membuat kampanye hitam dengan tagline "We stands on the right side," padahal tagline ini mengandung contradictio in terminis yang sangat parah karena tidak ada orang yang benar-benar baik akan menyebut diri mereka sebagai "orang baik" dan menuding orang lain "orang jahat," Terbukti Ernest Prakasa dengan bangga mengunggah foto bergambar Anis Matta yang dianggap sebagai ulama di PKS, diinjak massa. Orang baik mana melakukan hal ini? Tidak ada, hanya orang munafik yang akan melakukannnya.
http://m.merdeka.com/peristiwa/poster-anis-matta-diinjak-massa-pks-meradang-di-twitter.html
Selanjutnya terbukti bahwa anggota koalisi Jokowi yang menyebut diri mereka sebagai "orang baik" akhirnya menunjukan jati diri sebagai fundamentalis intoleran yang memiliki sikap anti terhadap pemeluk keyakinan yang dianggap tidak masuk ke dalam kelompok mereka. Contoh pertama adalah mereka menuding masjid sebagai tempat penyebaran kampanye hitam dan mau mengintai serta merekam khotbah di masjid seluruh Indonesia, antara lain berupa tabloid Obor Rakyat yang belakangan malah ketahuan diotaki oleh tangan kanan Jusuf Kalla, ex jurnalis Media Indonesia, dan ex jurnalis Tempo.
http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/30/n6e5lb-timses-jokowijk-benarkan-ada-perintah-awasi-khutbah-jumat
http://m.kompasiana.com/post/read/669231/1/terbukti-obor-rakyat-politik-dizolimi-jokowi-jk.html
Kita tentu tidak boleh lupa bahwa pendukung Jokowi yang lain yaitu mantan Kapolri Da'i Bachtiar adalah pendiri Densus 88 yang salah satu operasinya adalah menginteli dan merekam kegiatan di masjid-masjid seluruh Indonesia; persis seperti yang pernah dilakukan oleh Leonardus Benny Moerdani nyaris tiga puluh tahun silam.
Contoh lain yang bisa menunjukan sisi intoleransi dari para liberalis fundamentalis pendukung Jokowi-JK adalah ketika Wimar Witoelar hantam kromo dan tanpa pandang bulu menyamakan semua organisasi Islam dan tokoh Islam termasuk Muhammadiyah dan AA Gym dengan teroris pembunuh massal seperti Osama bin Laden dan Imam Samudera. Wimar memang sudah meminta maaf tapi hanya kepada Muhammadiyah dan tidak kepada AA Gym dan lain-lain. Mengapa Muhammadiyah? Karena mereka memiliki massa yang membawa banyak suara, itu saja, bila bukan karena pemilu maka mungkin ungkapan rasa penyesalan itu tidak akan ada.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/06/19/n7em476-wimar-witoelar-serang-islam
Selain itu salah satu tokoh Islam yang dimasukan ke dalam Gallery of Rogues-nya Wimar adalah Abu Bakar Ba'asyir dari Ponpres Ngruki, Solo yang pada faktanya adalah pendukung utama Jokowi sejak dia masih menjadi Walikota Solo. Bila demikian kenapa fakta ini disembunyikan dan tanpa bukti menuduh Ba'asyir sebagai pendukung Prabowo-Hatta? Maling teriak maling dong?
http://m.arrahmah.com/read/2013/01/31/26416-jokowi-ucapkan-terima-kasih-atas-nasihat-ustadz-baasyir.html
Kita juga tentu tidak akan bisa melupakan kubu komunis di tubuh Jokowi yang dipimpin oleh Budiman Soejatmiko yang menurut marwahnya intoleran dan bermaksud menyingkirkan semua agama tanpa pandang bulu sebab menurut ajaran komunis dari Karl Marx, nabi komunisme, bahwa agama adalah candu masyarakat dan termasuk golongan borjuis yang harus dihancurkan kalangan proletar supaya bisa menciptakan masyarakat tanpa kelas. Tidak percaya? Lihat kembali sejarah Lekra-nya PKI dan berbagai ketoprak dengan tema menista agama seperti "Tuhan sudah mati," (Matine Gusti Allah) atau penghancuran gereja, masjid, kuil buddha dan pembunuhan tokoh agama di Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Kaum komunis di PDIP adalah yang paling intoleran dibanding kelompok lain.
Masih tidak percaya bahwa memilih Jokowi sangat berbahaya bagi kelangsungan Bhineka Tunggal Ika di negara ini? Berbahaya bagi toleransi antar umat beragama di negara ini? Berbahaya bagi kerukunan ratusan juga rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, golongan dan ideologi? Berpikirlah sebelum terlambat. (A.m. Panjaitan)
sumber : kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar