Ujungnya upaya gerakan deradikaliasi ala Amerika adalah “mengkriminalisasi ide-ide syariah, daulah Islam dan khilafah
Oleh: Kholili Hasib
PADA masa kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 lalu, para ulama NU dan kaum santri pernah mengkhawatirkan menangnya Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla jika benar-benar terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Ini semata atas dasar keraguannya Jokowinya, namun tentang gagasan keagamaan orang-orang di sekitarnya, khusunsya para Timses (Tim Sukses) dalam semua janjinya selama kampanye.
Di bawah ini empat poin janji-janji para Tim Sukses Jokowi-JK menyangkut gagasan keagamaan yang dinilai kontroversi bagi umat Islam.
Pertama, penghapusan kolom agama
Di antara gagasan tim sukses Jokowi-JK adalah rencana penghapusan kolom agama di KTP. Adalah Dr Siti Musdah Mulia yang memperkeruh isu gagasan keagamaan orang-orang disekitar Jokowi. Anggota tim pemenangan Jokowi-JK ini pernah menyatakan pihaknya menjanjikan penghapusan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) jika pasangan ini terpilih.
“Saya setuju kalau kolom agama dihapuskan saja di KTP, dan Jokowi sudah mengatakan pada saya bahwa dia setuju kalau memang itu untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Musda seperti dikutip nasional.kompas.com 18 Juni 2014.
Musda Mulia adalah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia pakar sejarah politik. Namun banyak bicara masalah syariah. Pemikiran-pemikiran liberalnya selalu kontroversial dan tidak produktif. Dialah yang berpendapat bahwa homoseksual itu halal. Bagi dia, homoseksual yang merupakan perbuatan keji tersebut, tidak boleh ditolak dengan alasan apapun.
Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi).
Ide Musda sama saja membebaskan warga masyarakat untuk menyatakan diri tidak beragama (ateis). Ide ini, kontan dikecam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Sekjen PBNU, KH Marsudi Syuhud (tribunnews.com 21 Juni 2014). Kecaman PBNU atas ide itu sangat logis dan mewakili masyarakat luas dari semua agama.
Alasannya, jika kolom agama dihapus di KTP, masyarakat bisa direpotkan. Contoh ketika kecelakaan di mana keluarga korban belum bisa dihubungi, sementara korbannya meninggal dan harus dikebumikan. “Dasar tata cara pengurusan jenazahnya bagaimana, jika tidak berdasar agama di KTP,” tanyanya.
Tentang ide ini, KH Marsudi Syuhud berpendapat bahwa masyarakat akan terlanjur memahami bahwa ide-ide tim pemenangan capres nomor urut dua itu, justru sebagai ancaman bagi kehidupan keagamaan.
Umat Islam wajar resah, sebab jika kolom agama dicabut, kelak jika orang Islam akan menikahkan anaknya tak akan pernah tahu apa latar belakang agama calon menantunya. Bahkan ide ini akan semakin memberi peluang atheisme di Indonesia.
Kedua, menghidupkan faham Komunisme
Juga Musda Mulia yang kini Direktur Eksekutif Megawati Insitute juga menyatakan akan menghidupakan kembali faham komunisme.
Tim Jokowi menurutnya, siap mencabut Tap MRPS No XXV/1966, tentang larangan paham komunisme. “Ya pastilah (mencabut tab MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme) akan kita lakukan, demi menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada semua warga negara,” ucap Musdah kepada wartawan kabar7. Com.
Ide terlalu jauh melenceng dari ide pendirian NKRI. Kecaman keras itu antara lain datang dari budayawan Ridwan Saidi. Komunis, kata Ridwan, adalah sejarah kelam Indonesia. Bumi Indonesia dibanjiri darah untuk menghilangkan komunis dari Tanah Air.
“Komunis itu, ajaran yang memiliki pengalaman kelam di Indonesia, dan bangsa ini berjuang dengan darah untuk membasmi faham itu. Jadi, PDIP jangan seenaknya main hapus saja Tap MPR itu. Patut dicurigai, PDIP akan kembali ‘menghidupkan’ dan menyebarkan faham itu, ini harus kita lawan,” kata Ridwan (harian Terbit 24 Juni 2014).
Komunisme melalui PKI (Partai Komunis Indonesia) telah ditentang keras oleh PBNU. KH. Sahal Mahfudz (alm) dalam sambutan buku Benturan NU-PKI 1948-1965 oleh H. Abdul Mun’im Dz menulis; “NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya jangan sampai termakan oleh berbagai propaganda yang berusaha mengadudomba dan membenturkan kembali antara NU dan PKI dengan cara menyalahkan NU dan membela serta membenarkan PKI” (hal. Xii).
Dalam buku yang ditulis oleh H. Abdul Mu’im Dz itu dijelaskan bahwa telah banyak generasi muda NU yang tidak lagi mengenal sejarah PKI dan perjuangan NU melawan PKI yang dimotori para kiai pesantren. Sehingga banyak di antaranya mengikuti logika dan cara berpikir kader komunis dengan memojokkan NU khususnya dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Dengan mencermati fakta-fakta di atas, maka jika Jokowi menjadi Presiden, harusnya bisa membuktikan bahwa fakta yang telah diketahui publik tersebut tidak akan ia jalankan. Jokowi, jika masih ingin menjadi Muslim yang baik, maka pasti akan menepis ide-ide kontroversi di atas. Ingatlah, penegakan dan pendirian bangsa ini atas upaya jerih payah dan darah para ulama, kia dan santri di pesantren. Jika negara ingin maju, bukan sekedar harus dekati ulama, tapi perlu taat pada pewaris Nabi ini.
Ketiga, menghapus Perda Syariah
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia(FUUI), KH Athian Ali Lc, MA pada masa kampanye lalu menerangkan dirinya dan gabungan ulama dalam FUUI menolak dukungan ke Jokowi karena pernyataan Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan yang mengaku berencana akan menghapus Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Islam , dimana jika Jokowi terpilih, pemerintahannya akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. [baca juga: Hapus Perda Syariah, PDI dinilai tak aspiratif]
Trimedya menegaskan bahwa syariat Islam bertentangan dengan UUD 1945. “Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai sumber hukum sudah final. Bagi PDIP Pancasila sudah final, ” jelasnya (republikaonline.com 10 Juni).
Jelas saja, pernyataan Trimedya ini seperti memendung dukungan umat Islam ke Jokowi. Gagasan tersebut menunjukkan tidak ada i’tikad baik untuk membina hubungan baik dengan umat Islam. Bahkan ide tersebut membahayakan kehidupan demokrasi. Dimana umat Islam menjadi elemen mayoritas di negara Indonesia.
Ide kontroversi Trimedya bisa memicu kekerasan agama karena konfrontatif menyerang Islam. Juga termasuk melecehkan syariah.
Seharusnya dia tidak usah turut campur masalah syariat Islam. Sebab perda tidak peranh sampai membunuh non-Muslim. Tidak pernah sampai membahayakan keutuhan NKRI.
Harus dimengerti bahwa perda yang disebut Trimedya sebagai perda syariah – yang sudah berlaku di beberapa kabupaten – lahir dari proses yang demokratis. Peraturan ini murni dari keinginan Pemda dan masyarakat setempat.
Pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan prihatin, kemaksiatan dan kriminalitas sudah demikian hebatnya merusak anak-anak muda. Para pemimpin daerah berharap, dengan adanya peraturan ini, daerahnya menjadi aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan. Kaum Muslimin selalu mengedepankan nilai-nilai keadaban, akhlakul karimah dan keagamaan.
Justru, misi Perda syariah selaras dengan Pancasila. Memang, nilai dan ajaran Islam ada yang diserap ke dalam Pancasila, hal ini wajar sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Menciptakan masyarakat yang bermoral, berakhlak, tentram, bebas dari kejahatan dan kemunkaran adalah termasuk dari ajaran Pancasila. Perda ini dibuat juga dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang religius, sadar dan bertanggungjawab terhadap agamanya. Dengan kondisi yang demikian, maka akan tercipta masyarakat yang aman dan tentram seperti yang telah dicita-citakan.
Perda syariah terbukti telah membawa angin kedamaian. Tidak ada warga non-Muslim yang disakiti. Malah, terbitnya perda mampu menyinari kehidupan masyarakat.
Apakah hasil positif dan terbukti membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang tertib, aman dan beradab ini harus dicabut?
Bukan tindakan arif bijaksana bila perda ini dicabut. Perda ini seharusnya ditaati karena toh ini murni keinginan pemimpin daerah dan warga masyarakat.
Justru jika perda syariah dicabut, akan melanggar proses demokratisasi dan hak untuk menjalankan aturan agama.
Padahal, setiap warga negara mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaat itu”.
Sikap-sikap mencurigai umat Islam bisa menciptakan suasana tidak kondusif. Bahkan, seperti pernah dimuat beberapa media, salah satu timses menginstruksikan untuk mengawasi khutbah-khutbah di Masjid. Ide-ide seperti tersebut sama saja berdiri menantang ulama nusantara.
Keempat, menuju Islam moderat yang tunduk Barat?
Hari Sabtu, (01/08/2014), kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) meyakini akan menekan penyebaran paham radikal di Tanah Air. Duet pemimpin nasional itu katanya akan mengusung konsep revolusi mental yang menjadi pondasi utama pembentukan mental warga negara melalui pendidikan.
“Revolusi mental yang menjadi konsepsi Pak Jokowi akan menjadi jalan meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia,” kata juru bicara pasangan Jokowi-JK, Abdul Kadir Karding saat dihubungi wartawan, Sabtu (01/08/2014) (JPNN.com, Sabtu, 02 Agustus 2014 , “Revolusi Mental Ala Jokowi-JK Mampu Tekan Radikalisasi”).
Seperti diketahui, Indonesia kerap menjadi target radikalisasi dari negara-negara asing. Menurut Karding, mayoritas warga yang menjadi korban paham radikal berasal dari keluarga dengan kesejahteraan rendah dan paham keagamaan yang lemah.
Oleh karenanya, sambung Karding, pemerintahan Jokowi-JK akan membangun sistem pendidikan yang memprioritaskan pembentukan karakter. Sistem pendidikan yang tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi tapi juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti.
“Revolusi mental itu pendidikan yang dikembangkan dengan memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran,” papar Ketua DPP PKB ini.
Pasca serangan 11 September di WTC, pemerintah Amerika Serikat (AS) mencanangkan program “deradikalisasi“ yang itu juga diduplikasi di Indonesia baik oleh pemerintah atau alat-alat negara seperti BNPT.
Program deradikalisasi ini awalnya muncul dari roadmap RAND Corporation, LSM dari Amerika Serikat yang pembiayaannya kebanyakan konglomerat Yahudi. Salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism (perang melawan teroris).
Hal ini pernah ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007) berjudul “Building Moderate Muslims Networks“.
“Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat,” begitu isinya. [baca: Kampanye Deradikalisasi dan Kepentingan Asing]
Sebagaimana halnya Rand Corporation, International Crisi Group juga ada di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No204 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM.
Kampanye deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpangan dan akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan.
Khususnya terhadap penafsiran nash-nash syariah. Contohnya penyimpangan pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura, demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, bahkan klaim terhadap kebenaran.
Ujungnya upaya gerakan deradikaliasi ala Amerika adalah “mengkriminalisasi ide-ide syariah, daulah Islam dan khilafah”.
Tujuan deradikalisasi adalah ingin melahirkan “Islam rahmatanlil alamin” (bukan dalam pengertian Al-Quran dan Sunnah), tetapi Islam toleran yang tunduk pada Barat.
Jika ini yang dimaksud tim sukses Jokowi, tentu saja, semua programnya kelak akan berhadapan dengan umat Islam yang telah lama ‘dianiaya secara politik’ dan berpotensi memecah belah umat.
Kini, saatnya umat mengawasi semua pernyataan dan janjinya.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur
Sumber : hidayatullah
Oleh: Kholili Hasib
PADA masa kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 lalu, para ulama NU dan kaum santri pernah mengkhawatirkan menangnya Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla jika benar-benar terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Ini semata atas dasar keraguannya Jokowinya, namun tentang gagasan keagamaan orang-orang di sekitarnya, khusunsya para Timses (Tim Sukses) dalam semua janjinya selama kampanye.
Di bawah ini empat poin janji-janji para Tim Sukses Jokowi-JK menyangkut gagasan keagamaan yang dinilai kontroversi bagi umat Islam.
Pertama, penghapusan kolom agama
Di antara gagasan tim sukses Jokowi-JK adalah rencana penghapusan kolom agama di KTP. Adalah Dr Siti Musdah Mulia yang memperkeruh isu gagasan keagamaan orang-orang disekitar Jokowi. Anggota tim pemenangan Jokowi-JK ini pernah menyatakan pihaknya menjanjikan penghapusan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) jika pasangan ini terpilih.
“Saya setuju kalau kolom agama dihapuskan saja di KTP, dan Jokowi sudah mengatakan pada saya bahwa dia setuju kalau memang itu untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Musda seperti dikutip nasional.kompas.com 18 Juni 2014.
Musda Mulia adalah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia pakar sejarah politik. Namun banyak bicara masalah syariah. Pemikiran-pemikiran liberalnya selalu kontroversial dan tidak produktif. Dialah yang berpendapat bahwa homoseksual itu halal. Bagi dia, homoseksual yang merupakan perbuatan keji tersebut, tidak boleh ditolak dengan alasan apapun.
Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi).
Ide Musda sama saja membebaskan warga masyarakat untuk menyatakan diri tidak beragama (ateis). Ide ini, kontan dikecam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Sekjen PBNU, KH Marsudi Syuhud (tribunnews.com 21 Juni 2014). Kecaman PBNU atas ide itu sangat logis dan mewakili masyarakat luas dari semua agama.
Alasannya, jika kolom agama dihapus di KTP, masyarakat bisa direpotkan. Contoh ketika kecelakaan di mana keluarga korban belum bisa dihubungi, sementara korbannya meninggal dan harus dikebumikan. “Dasar tata cara pengurusan jenazahnya bagaimana, jika tidak berdasar agama di KTP,” tanyanya.
Tentang ide ini, KH Marsudi Syuhud berpendapat bahwa masyarakat akan terlanjur memahami bahwa ide-ide tim pemenangan capres nomor urut dua itu, justru sebagai ancaman bagi kehidupan keagamaan.
Umat Islam wajar resah, sebab jika kolom agama dicabut, kelak jika orang Islam akan menikahkan anaknya tak akan pernah tahu apa latar belakang agama calon menantunya. Bahkan ide ini akan semakin memberi peluang atheisme di Indonesia.
Kedua, menghidupkan faham Komunisme
Juga Musda Mulia yang kini Direktur Eksekutif Megawati Insitute juga menyatakan akan menghidupakan kembali faham komunisme.
Tim Jokowi menurutnya, siap mencabut Tap MRPS No XXV/1966, tentang larangan paham komunisme. “Ya pastilah (mencabut tab MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme) akan kita lakukan, demi menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada semua warga negara,” ucap Musdah kepada wartawan kabar7. Com.
Ide terlalu jauh melenceng dari ide pendirian NKRI. Kecaman keras itu antara lain datang dari budayawan Ridwan Saidi. Komunis, kata Ridwan, adalah sejarah kelam Indonesia. Bumi Indonesia dibanjiri darah untuk menghilangkan komunis dari Tanah Air.
“Komunis itu, ajaran yang memiliki pengalaman kelam di Indonesia, dan bangsa ini berjuang dengan darah untuk membasmi faham itu. Jadi, PDIP jangan seenaknya main hapus saja Tap MPR itu. Patut dicurigai, PDIP akan kembali ‘menghidupkan’ dan menyebarkan faham itu, ini harus kita lawan,” kata Ridwan (harian Terbit 24 Juni 2014).
Komunisme melalui PKI (Partai Komunis Indonesia) telah ditentang keras oleh PBNU. KH. Sahal Mahfudz (alm) dalam sambutan buku Benturan NU-PKI 1948-1965 oleh H. Abdul Mun’im Dz menulis; “NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya jangan sampai termakan oleh berbagai propaganda yang berusaha mengadudomba dan membenturkan kembali antara NU dan PKI dengan cara menyalahkan NU dan membela serta membenarkan PKI” (hal. Xii).
Dalam buku yang ditulis oleh H. Abdul Mu’im Dz itu dijelaskan bahwa telah banyak generasi muda NU yang tidak lagi mengenal sejarah PKI dan perjuangan NU melawan PKI yang dimotori para kiai pesantren. Sehingga banyak di antaranya mengikuti logika dan cara berpikir kader komunis dengan memojokkan NU khususnya dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Dengan mencermati fakta-fakta di atas, maka jika Jokowi menjadi Presiden, harusnya bisa membuktikan bahwa fakta yang telah diketahui publik tersebut tidak akan ia jalankan. Jokowi, jika masih ingin menjadi Muslim yang baik, maka pasti akan menepis ide-ide kontroversi di atas. Ingatlah, penegakan dan pendirian bangsa ini atas upaya jerih payah dan darah para ulama, kia dan santri di pesantren. Jika negara ingin maju, bukan sekedar harus dekati ulama, tapi perlu taat pada pewaris Nabi ini.
Ketiga, menghapus Perda Syariah
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia(FUUI), KH Athian Ali Lc, MA pada masa kampanye lalu menerangkan dirinya dan gabungan ulama dalam FUUI menolak dukungan ke Jokowi karena pernyataan Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan yang mengaku berencana akan menghapus Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Islam , dimana jika Jokowi terpilih, pemerintahannya akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. [baca juga: Hapus Perda Syariah, PDI dinilai tak aspiratif]
Trimedya menegaskan bahwa syariat Islam bertentangan dengan UUD 1945. “Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai sumber hukum sudah final. Bagi PDIP Pancasila sudah final, ” jelasnya (republikaonline.com 10 Juni).
Jelas saja, pernyataan Trimedya ini seperti memendung dukungan umat Islam ke Jokowi. Gagasan tersebut menunjukkan tidak ada i’tikad baik untuk membina hubungan baik dengan umat Islam. Bahkan ide tersebut membahayakan kehidupan demokrasi. Dimana umat Islam menjadi elemen mayoritas di negara Indonesia.
Ide kontroversi Trimedya bisa memicu kekerasan agama karena konfrontatif menyerang Islam. Juga termasuk melecehkan syariah.
Seharusnya dia tidak usah turut campur masalah syariat Islam. Sebab perda tidak peranh sampai membunuh non-Muslim. Tidak pernah sampai membahayakan keutuhan NKRI.
Harus dimengerti bahwa perda yang disebut Trimedya sebagai perda syariah – yang sudah berlaku di beberapa kabupaten – lahir dari proses yang demokratis. Peraturan ini murni dari keinginan Pemda dan masyarakat setempat.
Pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan prihatin, kemaksiatan dan kriminalitas sudah demikian hebatnya merusak anak-anak muda. Para pemimpin daerah berharap, dengan adanya peraturan ini, daerahnya menjadi aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan. Kaum Muslimin selalu mengedepankan nilai-nilai keadaban, akhlakul karimah dan keagamaan.
Justru, misi Perda syariah selaras dengan Pancasila. Memang, nilai dan ajaran Islam ada yang diserap ke dalam Pancasila, hal ini wajar sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Menciptakan masyarakat yang bermoral, berakhlak, tentram, bebas dari kejahatan dan kemunkaran adalah termasuk dari ajaran Pancasila. Perda ini dibuat juga dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang religius, sadar dan bertanggungjawab terhadap agamanya. Dengan kondisi yang demikian, maka akan tercipta masyarakat yang aman dan tentram seperti yang telah dicita-citakan.
Perda syariah terbukti telah membawa angin kedamaian. Tidak ada warga non-Muslim yang disakiti. Malah, terbitnya perda mampu menyinari kehidupan masyarakat.
Apakah hasil positif dan terbukti membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang tertib, aman dan beradab ini harus dicabut?
Bukan tindakan arif bijaksana bila perda ini dicabut. Perda ini seharusnya ditaati karena toh ini murni keinginan pemimpin daerah dan warga masyarakat.
Justru jika perda syariah dicabut, akan melanggar proses demokratisasi dan hak untuk menjalankan aturan agama.
Padahal, setiap warga negara mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaat itu”.
Sikap-sikap mencurigai umat Islam bisa menciptakan suasana tidak kondusif. Bahkan, seperti pernah dimuat beberapa media, salah satu timses menginstruksikan untuk mengawasi khutbah-khutbah di Masjid. Ide-ide seperti tersebut sama saja berdiri menantang ulama nusantara.
Keempat, menuju Islam moderat yang tunduk Barat?
Hari Sabtu, (01/08/2014), kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) meyakini akan menekan penyebaran paham radikal di Tanah Air. Duet pemimpin nasional itu katanya akan mengusung konsep revolusi mental yang menjadi pondasi utama pembentukan mental warga negara melalui pendidikan.
“Revolusi mental yang menjadi konsepsi Pak Jokowi akan menjadi jalan meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia,” kata juru bicara pasangan Jokowi-JK, Abdul Kadir Karding saat dihubungi wartawan, Sabtu (01/08/2014) (JPNN.com, Sabtu, 02 Agustus 2014 , “Revolusi Mental Ala Jokowi-JK Mampu Tekan Radikalisasi”).
Seperti diketahui, Indonesia kerap menjadi target radikalisasi dari negara-negara asing. Menurut Karding, mayoritas warga yang menjadi korban paham radikal berasal dari keluarga dengan kesejahteraan rendah dan paham keagamaan yang lemah.
Oleh karenanya, sambung Karding, pemerintahan Jokowi-JK akan membangun sistem pendidikan yang memprioritaskan pembentukan karakter. Sistem pendidikan yang tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi tapi juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti.
“Revolusi mental itu pendidikan yang dikembangkan dengan memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran,” papar Ketua DPP PKB ini.
Pasca serangan 11 September di WTC, pemerintah Amerika Serikat (AS) mencanangkan program “deradikalisasi“ yang itu juga diduplikasi di Indonesia baik oleh pemerintah atau alat-alat negara seperti BNPT.
Program deradikalisasi ini awalnya muncul dari roadmap RAND Corporation, LSM dari Amerika Serikat yang pembiayaannya kebanyakan konglomerat Yahudi. Salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism (perang melawan teroris).
Hal ini pernah ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007) berjudul “Building Moderate Muslims Networks“.
“Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat,” begitu isinya. [baca: Kampanye Deradikalisasi dan Kepentingan Asing]
Sebagaimana halnya Rand Corporation, International Crisi Group juga ada di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No204 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM.
Kampanye deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpangan dan akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan.
Khususnya terhadap penafsiran nash-nash syariah. Contohnya penyimpangan pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura, demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, bahkan klaim terhadap kebenaran.
Ujungnya upaya gerakan deradikaliasi ala Amerika adalah “mengkriminalisasi ide-ide syariah, daulah Islam dan khilafah”.
Tujuan deradikalisasi adalah ingin melahirkan “Islam rahmatanlil alamin” (bukan dalam pengertian Al-Quran dan Sunnah), tetapi Islam toleran yang tunduk pada Barat.
Jika ini yang dimaksud tim sukses Jokowi, tentu saja, semua programnya kelak akan berhadapan dengan umat Islam yang telah lama ‘dianiaya secara politik’ dan berpotensi memecah belah umat.
Kini, saatnya umat mengawasi semua pernyataan dan janjinya.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur
Sumber : hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar