Di Dalam Dakwah Tidak Ada Kata Menyerah! - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

21 Agustus 2014

Di Dalam Dakwah Tidak Ada Kata Menyerah!

Lihatlah dua orang laki-laki yang sedang berjalan setengah berlari itu. Mereka bukan pelancong yang sedang menikmati sejuknya udaraKota Thaif ini. Mereka bukan pula pedagang yang sedang mencari barang pertanian di kota puncak gunung ini. Siapakah dua orang laki-laki itu? Apa yang sedang mereka kerjakan di Kota Thaif ini?

Mereka adalah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya yang mulia Zaid bin Haritsah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Thaif dengan berjuta harapan. Beliau datang menemui para pemuka Thaif untuk mencari pembelaan dalam menyebarkan Islam dan menghadapi kaumnya yang telah menentangnya. Namun para pemuka Thaif itu malah menolaknya mentah-mentah, “Pergilah kamu dari negeri kami!” Lalu mereka mengerahkan orang-orang bodoh dan para budak mereka untuk menyerbu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; mencela dan meneriakinya.

Lihatlah, orang-orang dungu itu melempari kedua kaki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, hingga kedua alas kakinya berlumuran darah. Sementara Zaid berusaha melindungi beliau sampai ia sendiri mengalami beberapa luka berdarah di kepalanya.

Mereka terus melempar. Sesekali Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallammerasakan sakitnya lemparan batu itu, beliau kemudian bersimpuh di tanah. Kumpulan orang-orang tolol itu segera memegang lengan beliau dan menegakkannya, menyuruh beliau berdiri. Ketika Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam berjalan kembali, mereka langsung melemparinya lagi seraya tertawa terkekeh-kekeh.

Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallamdan Zaid terkepung di antara mereka, dan segera berlindung memasuki kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah. Di kebun ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berteduh dan duduk di bawah pohon anggur dengan disaksikan oleh kedua anak Rabi’ah.

Setelah merasa tenang dan aman, beliau memanjatkan untaian do’a, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia…”

Saat itu mungkin masih terngiang di telinga beliau penolakan yang baru saja dialaminya dari para pemuka Bani Tsaqif, tiga orang bersaudara, Abdu Yalil bin Amer, Mas’ud bin Amer dan Habib bin Amer. Salah seorang mereka berkata kasar, “Tercabik-cabiklah kain Ka’bah jika benar Allah telah mengutusmu!” Yang lainnya menyahut seraya menghina, “Apakah Allah tidak menemukan orang selainmu untuk diutus-Nya?” Yang ketiga menimpali, “Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya. Jika benar kamu seorang Rasul sebagaimana yang kamu katakan, niscaya aku tidak pantas berbicara denganmu. Jika kamu berdusta kepada Allah, maka tidak patut kamu kuajak bicara…”

Sungguh penolakan yang mengecewakan. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam tadinya berharap mereka akan menyambut dan memberikan perlindungan. Betapa tidak, di kalangan Bani Tsaqif banyak kerabat yang memiliki hubungan dengan beliau, yakni saudara-saudara ibundanya tercinta yang telah tiada sejak ia berusia 6 tahun.

Beliau lantunkan terus do’anya dengan khusyu. “Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?”

***

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memang telah mengalami ujian dan cobaan yang panjang. Semua berawal saat beban berat risalah dakwah tersimpan di atas pundaknya. Semua berawal saat kalam mulia Allah Azza wa Jalla mendekap jiwanya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[1]

Semua berawal saat Rabb-nya berseru kepadanya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”[2]

Mulailah penolakan demi penolakan menghantam dirinya. Penolakan pertama datang dari pamannya sendiri, Abu Lahab, saat beliau mengumpulkan orang-orang Quraisy di sekitar bukit Shafa.

“Celakalah engkau selama-lamanya! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” begitulah teriaknya waktu itu.

Berikutnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallammulai mendapatkan berbagai macam penghinaan. Saat beliau beribadah mereka selalu mengejeknya. Ada pula orang yang iseng menyimpan kotoran didepan rumahnya; ada yang melempar kotoran; menjerat lehernya; atau menaburkan kotoran dan tanah ke atas kepalanya yang mulia.

Abu Lahab dan istrinya juga Amr bin Hisyam (Abu Jahl), mencoba menghalang-halangi dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menghasut masyarakat Makkah agar tidak menyenangi Islam. Mereka bersekongkol menahan laju gerak dakwah Islam yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyebarkan berita-berita buruk tentang beliau; mereka menyebut beliau itu penghina nenek moyang; pemecah belah persatuan bangsa Quraisy; orang gila!

Namun cara-cara busuk itu tidak menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamberhenti bergerak dan menyerah; bahkan pengikut Islam dari hari ke hari malah semakin bertambah. Para tokoh Quraisy jadi semakin jengkel karenanya. Mereka kemudian menawarkan kompromi. Mereka siap memberikan harta, tahta dan wanita kepada Rasulullah dengan syarat beliau menghentikan dakwahnya. Untuk keperluan ini mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah. Namun diplomasi Utbah mengalami kegagalan karena ditolak mentah-mentah oleh beliau.

Para tokoh Quraisy tidak berhenti sampai disana, mereka kemudian melakukan tekanan kepada Abu Thalib agar tidak melindungi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tekanan dari kaumnya demikian kuat Abu Thalib akhirnya berusaha membujuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tapi beliau tetap bersikukuh untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah.

Akhirnya orang-orang Quraisy menggunakan cara kekerasan, dengan menyiksa para pengikut Islam yang lemah, yakni mereka yang tidak memiliki kabilah pelindung: Bilal bin Rabah, Sumayyah, Amr bin Yasir, Yasir, dll. Karena semakin kerasnya siksaan dan penghinaan akhirnya Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan sebagian sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia).

Sadar upaya-upaya penentangannya tidak membuat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallammenyerah dalam berdakwah, Quraisy akhirnya merencanakan pembunuhan terhadap beliau. Akan tetapi rencana ini ditentang oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang merupakan kerabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berubahlah rencana itu menjadi pemboikotan yang dituangkan dalam naskah kesepakatan bersama. Mereka memboikot Rasulullah dan para sahabatnya, termasuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang memberikan perlindungan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Para pemuka Quraisy sepakat untuk tidak mengadakan jual beli, kawin mengawini dan transaksi lainnya dengan mereka. Pemboikotan berlangsung 3 tahun.

Selama pemboikotan tersebut kaum muslimin berada dalam kesengsaraan, mereka hanya makan daun-daunan dan kulit pohon, walaupun sesekali dikirimi makanan oleh orang-orang yang tersentuh hati nuraninya.

Beberapa bulan setelah peristiwa pemboikotan terjadilah peristiwa yang menyedihkan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Paman beliau, Abu Thalib wafat. Tidak lama kemudian isterinya tercinta, Khadijah pun wafat. Karenanya Quraisy lebih berani melakukan tekanan-tekanan dengan lebih brutal karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tak lagi memiliki seseorang pun yang dapat melindunginya. Kondisi inilah yang membuat Rasulullah pergi ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah. Namun para pemuka Thaif malah menolak dan menganiayanya.

***

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semakin khusyuk berdo’a, “Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, semuanya itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku!”

”Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan dunia dan akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau tumpahkan kepadaku…hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau ridha. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Beliau bersama Zaid dapat kembali ke Makkah di bawah jaminan keamanan yang diberikan Muth’im bin Adiy. Sebelumnya beliau mencoba meminta jaminan keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amer, namun keduanya menolak memberikannya.

Setelah rentetan peristiwa ujian dan cobaan serta penolakan-penolakan yang menyakitkan hati tersebut, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam terus melangkah dan tidak menyerah. Beliau meneruskan kembali aktivitas dakwahnya. Sebelumnya beliau telah mendatangi kabilah-kabilah di acara-acara musiman. Mereka yang didatanginya ialah Ghassan, Bani Fazarah, Bani Murrah, Bani Sulaim, Bani Abbas, Bani Nasher, Tsa’labah bin Ukabah, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzarah, Qais bin al-Khathim, dan Abu Haisar Anas bin Abu Rafi’.

Pada tahun ke 11 kenabian dan setelahnya, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam kembali menyeru kabilah-kabilah untuk memeluk Islam dan atau dimintai pembelaannya terhadap penyebaran dakwah Islam. Beliau ditemani Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib mendatangi Bani Amir, Syaiban bin Tsa’labah, Bani Kalb, Bani Hanifah, dan Bani Kindah.

Bani Hanifah, Bani Kalb, dan Bani Kindah menolak Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam secara halus. Sementara Bani Amir bin Sha’sha’ah menyatakan siap membela Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam dengan syarat setelah memenangkan dakwah merekalah yang harus memegang kekuasaan. Menanggapi hal itu Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam tak memberikan jaminan, ”Urusan itu terserah kepada Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki.” Maka salah seorang dari mereka yang bernama Baihah bin Firas berkata, ”Apakah kami serahkan leher-leher kami kepada bangsa Arab demi membelamu kemudian setelah Allah memenangkan kamu kekuasaan itu diserahkan kepada selain kami? Kami tidak punya urusan denganmu!”

Lain halnya dengan Bani Syaiban, mereka menolak membela Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam dengan alasan mereka hanya siap membela beliaudalam menghadapi orang-orang Arab saja, tapi tidak siap menghadapi Kisra Persia karena mereka telah melakukan perjanjian tidak akan melakukan pemberontakan terhadap Kisra dan tidak boleh melindungi pemberontak, sedangkan apa yang diserukan Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam tidak akan disenangi oleh para raja.

Selanjutnya Ali yang menyaksikan peristiwa itu berkata, ”Kemudian kami datang ke majelis orang-orang Khazraj sehingga mereka membaiat Nabi shalallahu ’alaihi wa salam. Mereka adalah orang-orang jujur dan bersabar.”

Ya…setelah berbagai peristiwa ujian dan cobaan serta penolakan-penolakan yang menyakitkan hati, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam akhirnya memperoleh dukungan dan pembelaan dari kaum Aus dan Khazraj—penduduk Yatsrib. Disinilah babak baru dakwah Islam dimulai hingga tegaklah daulah Islam di Madinah.

***

Pergerakan dakwah Rasulullah shalallahu ’alaihi wa salam sejak beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul hingga beliau hijrah, memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa dalam dakwah tidak ada kata menyerah. Seorang da’i harus terus melangkah maju ke depan apa pun yang terjadi. Mereka tidak sepantasnya melemah dan mundur hanya karena ada rintangan yang menghadang. Mereka tidak layak menjadi mandeg hanya karena kesedihan demi kesedihan yang dihadapinya. Mereka tidak perlu terganggu oleh hinaan dan cibiran orang hingga merasa galau dan jengkel berkepanjangan.

Para da’i harus terus melaju, karena di dalam dakwah tidak ada kata menyerah…





sumber : al intima'.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here