Kemungkinan besar PKS tidak akan mempertaruhkan harga dirinya dengan berkoalisi bersama PDIP dengan dua alasan mendasar yakni alasan idelogis dan pertaruhan harga diri sebab koalisi dengan partai berlambang Banteng akan menyakiti hati para kader “akar rumput”
Oleh: Inggar Saputra
TERLEPAS dari berbagai kekurangan yang ada, pemilihan legislatif untuk memilih calon anggota DPR, DPRD dan DPD sudah berhasil dijalankan rakyat Indonesia pada 9 April 2014 lalu.
Pasca pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), beberapa lembaga survei langsung merilis hasil quick count (hitung cepat) dimana posisi tiga besar ditempati pemain politik lama seperti PDIP dan Golkar serta satu pemain baru yakni Gerindra.
Berdasarkan perolehan suara dengan teknik sample itu, rakyat dapat melihat bagaimana penyebaran suara berjalan merata dimana tak ada satupun partai memperoleh suara lebih dari dua puluh lima persen. Meminjam pernyataan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, permainan politik di Indonesia berjalan semakin menarik dengan hasil pemilu 2014 ini.
Dari hasil Pileg, masing-masing partai politik mulai dapat memperoleh pemetaan politik yang jelas sebagai bahan dasar menentukan arah koalisi yang berujung kepada pengusungan calon presiden dan wakil presiden. Namun, pandangan itu sesungguhnya penuh misteri sebab pasca Pileg beberapa partai politik masih saling menunggu perkembangan politik yang ada.
Dalam kondisi menunggu, mereka berupaya melancarkan akrobatik politik baik secara terang-terangan maupun operasi senyap. Langkah ini dipandang penting sebelum memutuskan mitra koalisi untuk mempertahankan eksistensinya dalam kancah perpolitikan nasional.
Rakyat pun dapat melihat bagaimana PPP bermanuver mendukung Prabowo sebelum Pilpres sehingga menghasilkan perbedaan pandangan yang tajam sehingga menghasilkan dua kubu yang saling berseberangan. Di tempat terpisah, Demokrat yang suaranya menurun tajam mulai merancang konsep baru untuk tetap menjamin hasil konvensi dapat dimaksimalkan sebagai capres dengan bermanuver merancang poros koalisi baru di luar Prabowo, Jokowi dan Aburizal Bakrie. Tidak jauh berbeda, PKB sebagai partai tengah terus menjalin kemesraan dengan PDIP dan membuka peluang kemungkinan menempatkan tokohnya sebagai pendamping Jokowi. Tak ketinggalan PAN yang tetap bertekad meloloskan Hatta Radjasa sebagai cawapres baik untuk mendampingi Prabowo atau pemenang hasil konvensi Demokrat.
Kebimbangan Partai Dakwah
Di tengah berbagai manuver parpol tengah, PKS dengan raihan suara sekitar 6-8 persen masih meninggalkan misteri kepada publik ke mana akan melabuhkan hatinya dalam proses koalisi. Dalam berbagai keterangan kepada media, PKS mengaku sudah dilamar secara tertulis oleh Prabowo Subianto untuk menjalin koalisi dalam Pilpres mendatang. Selain itu, PKS juga sudah mendapatkan tawaran secara lisan dari Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Tapi berbagai tawaran itu masih dipertimbangkan partai berlambang bulan sabit ini.
Jika melihat peta pembacaan politik dimana sekarang yang menyisakan tiga calon kuat capres yakni Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie, sesungguhnya PKS masih mengalami kebimbangan dalam menentukan pilihan.
Di antara tiga pilihan yang ada, kemungkinan besar PKS tidak akan mempertaruhkan harga dirinya dengan berkoalisi bersama PDIP dengan dua alasan mendasar yakni alasan idelogis dan pertaruhan harga diri sebab koalisi dengan partai berlambang Banteng akan menyakiti hati para kader “akar rumput” yang aktif mengkritik melalui media sosial mengenai majunya Jokowi sebagai capres. Alhasil, sekarang ada tiga opsi strategis PKS untuk menentukan arah koalisinya sekaligus mengakhiri kebimbangan yang menyelimutinya.
Pertama, koalisi dengan Gerindra dengan. menyodorkan Ahmad Heryawan sebagai pendamping ideal bagi Prabowo. Pilihan ini menghasilkan konsekuensi yang cukup sulit bagi perkembangan masa depan partai dakwah yakni kesiapan kader dan simpatisan PKS untuk “menjilat ludah sendiri” andaikan Aher maju sebagai cawapres mengingat sebelumnya banyak kader PKS mengkritik Jokowi yang mencalonkan diri sebagai capres meski belum menyelesaikan amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta, keberanian PKS bertarung dengan PAN yang kemungkinan menyodorkan Hatta Radjasa sebagai pendamping Prabowo dan kesiapan PKS untuk berperang pencitraan mengingat selama ini Prabowo sering mendapatkan kampanye negatif sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia.
Namun koalisi ini memiliki kekuataan dimana kedua parpol memiliki kesamaan sikap dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat. Apalagi selama lima tahun pemerintahan SBY, kedua partai sering bersinergis dalam mengkritik kebijakan pemerintahan SBY-Boediono. Selain itu, secara subtansial, kedua parpol sudah memiliki kesamaan pandangan bagaimana membangun bangsa karena memiliki konsep yang jelas (enam visi transformsi gerindra dan platform PKS untuk bangsa-pen) bagaimana membangun Indonesia ke depan jika dipercayakan memimpin Indonesia nantinya.
Kedua, menjalin koalisi dengan Golkar yakni menduetkan Aburizal Bakrie dan Ahmad Heryawan sebagai capres-cawapres untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Koalisi ini memungkinkan terjadi sebab kemesraan selama ini sudah terjadi di parlemen khususnya menyikapi persoalan Bank Century yang sempat mendapatkan sorotan tajam masyarakat Indonesia. Peluang semakin lebar dimana PKS “mengaku” sudah mendapatkan tawaran secara lisan dari Golkar. Kekuatan akan makin lengkap jika kedua partai dapat secara efektif menggabungkan mesin birokrasi dan militansi kader PKS yang selama ini dikenal solid.
Kelemahan mendasar koalisi ini yakni rendahnya elektabilitas Aburizal Bakrie. Untuk itu dibutuhkan perjuangan keras untuk meningkatkan kepercayaan rakyat sehingga mampu terpilih sebagai Presiden kelak. Jangan sampai, sederet prestasi Aher ketika memimpin Jabar tertutup lemahnya dukungan rakyat kepada ARB. Selain itu, PKS perlu memperhatikan secara serius catatan buruk ARB terkait belum selesainya persoalan lumpur Lapindo di Sidoarjo sehingga menjadi alat serang efektif para kompetitornya.
Ketiga, memainkan peran sebagai oposisi efektif untuk mengawal pemerintahan yang berkuasa. Pengalaman sepanjang 1999-2004, PKS pernah mendulang simpati sebagian besar rakyat Indonesia ketika mampu secara efektif menggabungkan kritik parlemen dan demonstrasi jalanan. Hasilnya pun nyata dimana PKS memperoleh peningkatan suara menembus 8 persen pada Pemilu 2004. Ketika itu, PKS mampu mempertegas dirinya dalam mengawal pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati. Peluang oposisi sudah dibuka Wasekjen PKS, Fahri Hamzah yang menilai PKS tidak takut memainkan fungsi oposisi dalam pemerintahan lima tahun mendatang.
Apapun pilihan PKS sangat dipengaruhi bagaimana hasil sidang majelis syuro sebagai pengambil keputusan tertinggi dan perkembangan politik terbaru. Tapi tak salah kiranya kita berharap PKS menghindari politik transaksional dimana dukungan yang diberikan untuk mendapatkan jatah kursi menteri. Bagaimanapun pembangunan mekanisme politik selayaknya dibangun atas perbincangan serius transaksi gagasan dan kesamaan program sehingga cita-cita pemerintahan yang bersih, kuat dan demokratis dapat terwujudkan dengan baik. Bukan karena kepentingan sesaat.*
Mahasiswa Magister Studi Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar