Waktu orde baru PDI terkesan dizalimi dan ini menimbulkan simpati dengan banyaknya simpatisan PDI yang bergerak di ‘bawah tanah’ melakukan pengkaderan. Sebenarnya PPP juga dizalimi, tetapi warganya terpecah dalam berbagai ormas ke Islaman.
Walaupun Megawati tidak pernah dipenjara dan tidak ikut secara aktif seperti Amin Rais dalam menjatuhkan orde baru dalam reformasi 1998, namun PDIP cukup bijak memanfaatkan momen itu sebagai pahlawan kesiangan dengan menciptakan sebuah wadah massa yang marah.
Pemilu 1999 adalah bulan madu PDIP dengan banyaknya massa partai itu. PDIP memenangi 153 kursi atau 33.74 % suara, namun Mega kalah karena disekat oleh poros tengah untuk tidak menjadi presiden. Akhirnya tahun 2001 Mega menjadi presiden karena melanjutkan tugas Gusdur yang dipecat dari jabatan Presiden. Waktu ini sumber kekuatan PDIP Mega adalah dengan menjual nama Soekarno dan Isu Nasionalisme. Namun isu Soekarno nampaknya hanya laku di era awal keruntuhan orde baru dan tidak laku di era kepemimpinan SBY. Kajian tentang plus minus Soekarno yang seimbang juga telah banyak dikaji dan di expose dalam berbagai media. Dagangan nasionalisme Megawati PDIP juga nampaknya membusuk dengan sikapnya yang menjual aset penting negara ke asing.
Menurut data KPU Pemilu 2004 suara PDIP jatuh tajam hanya mendapat 109 kursi atau 18.31 % saja. Selanjutnya pada tahun 2009 PDIP hanya mendapat 94 kursi atau 14.01 % suara saja. Jumlah suara dan kursi PDIP turun drastis dari pemilu ke pemilu dari 155 kursi ke 109 kursi dan ke 94 kursi atau dari 33.74 % ke 18.31% dan ke 14.01% suara.
Megawati sudah dua kali kalah dalam pemilihan presiden dan PDIP telah menggunakan senjata pemungkasnya Jokowi sebagai juru kampanye dalam berbagai Pilkada seperti Bali, Sumut, Jawa Barat tetap saja kalah.
Pada 2009 itu PDIP menang besar dan tidak ada bahasa yang lebih halus selain mengatakan bahwa banyak massa PDIP waktu itu adalah preman pasar, kaum buruh, tukang ojek dan orang yang lemah pendidikannya dan ini diakui sendiri oleh Megawati (sumber Tribun Lampung) Jika Hamka menggelar Soekarno sebagai Machiavellian Indonesia, saya melihat massa PDIP saat itu juga dimanfaatkan sesuai dengan konsep politik Machiavelli oleh PDIP. Media waktu 2009 banyak mengungkap tentang anggota legislatif ijazah palsu, preman pasar dan sebagainya dari partai ini. Ini adalah realitas waktu itu. Lalu mengapa bisa suara PDIP jadi jatuh pada setiap pemilu dan hanya naik sekali saja waktu pemilu 2009?
Menurut analisa saya, Megawati mengecewakan konstituennya karena tidak menghukum Soeharto waktu dia jadi presiden dulu. Soeharto dan keluarganya bebas lenggang kangkung tanpa beban dosa masa lalu dan Mega berkilah seribu alasan untuk tidak menghukum Soeharto. Padahal alasan dukungan untuk Mega dengan harapan dia bisa membalas dendam karena rakyat dan Mega sama-sama pernah dizalimi.
Megawati juga mendiamkan diri seribu bahasa terhadap korban 27 Juli 1996 setelah dia berkuasa. Hal ini membuat para korban dan keluarganya kecewa dengan menyebut PDIP sebagai amnesia (sumber antaranews.com)
Kedua, Karena penyadaran dan pemberdayaan terhadap preman-preman yang dilakukan oleh ormas Islam seperti FPI dan ustaz-ustaz selebriti sangat kuat pengaruhnya. Beberapa ormas Islam juga sangat berpengaruh selain FPI seperti jemaah tabligh dll. Ormas Islam ini mengambil dan membina massa PDIP yang semula adalah preman menjadi orang alim. Para preman itu sebenarnya adalah saudara seiman kita, namun agak dibiarkan saja sebelum ini. Dalam Muzakarah Serumpun Melayu Tahun 2010 di Palembang yang saya ikuti melihat banyaknya ormas Islam yang memberdayakan para preman, buruh kasar dan orang yang lemah pendidikannya ini ke dalam gerakan Islam. Dan ini sangat positif daripada mereka dimanfaatkan oleh PDIP dan kelompok lain seperti Hercules selama ini. Ormas Islam yang memberdayakan para preman untuk kembali ke pangkal jalan yang benar dunia akhirat ini nampaknya tidak akan pernah berhenti. Mereka selalu bergerak walaupun berbagai-bagai usaha pembusukan dilakukan untuk menjatuhkan mereka melalui media sekuler.
Ketiga, kebijakan PDIP waktu menjadi Presiden sangat mengecewakan kaum buruh, minim prestasi dan sebagainya. PDIP Mega yang pernah berkuasa ternyata sangat melukai hati rakyat dengan membentuk BP Migas UU Migas, Memperpanjang kontrak Freeport, Kontrak Gas alam dijual murah, BUMN dijual murah, menggadaikan hasil bumi, menjual kapal tanker pertamina VLCC, Koruptor BLBI yang diampuni Mega, menjual satelit Indosat ke Singapura, menjual aset BPPN, UU Outsourching yang merugikan kaum buruh.
Bara JP KIB yang diketuai oleh seorang koruptor dan pecandu narkoba, sikap Jasmev yang tidak memiliki sifat orang Timur dan kegagalan Jokowi dalam memimpin Jakarta yang semakin macet dan banjir dll. serta PDIP menjadi juara korupsi menurut data KPK Watch juga akan menambah kegagalan PDIP pada pemilu 2014 ini.
Saya bukan ahli nujum, pengamat yang mendapat pesanan dengan imbuhan amplop atau bank in rekening bank ataupun lembaga survey bayaran yang bisa memprediksikan kekalahan PDIP dengan angka-angka pasti pada pemilu 2014 ini. Namun saya yakin suara PDIP akan turun di bawah 10% berdasarkan alasan di atas dan berdasarkan data lapangan dengan sepinya kampanye PDIP walaupun telah menerjunkan jagoan mereka Jokowi.
Sebenarnya ada beberapa lagi faktor kekalahan PDIP pada pemilu 2014 nanti seperti dengan bertambah cerdasnya masyarakat, mudahnya jaringan internet di mana informasi bisa disampaikan secepat kilat dan sebagainya.
Saat ini terdapat khabar yang tidak di expose media seperti Kompas, Tempo dan detik.com lainnya bahwa beberapa pimpinan buruh telah memastikan akan menolak Jokowi dengan alasan Jokowe adalah pelopor gaji murah dengan mendapat gelar bapak upah murah (sumber liputan6.com) Kita tunggu dan lihat hasilnya nanti, wallahu a`lam.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar