Hukum Berkurban, Wajib Atau Sunnah? - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

8 Oktober 2013

Hukum Berkurban, Wajib Atau Sunnah?

BULAN Dzulhijjah selalu identik dengan Idul Adha, dan itu berarti ada sebuah ibadah yang Allah swt. perintahkan di dalamnya. Memotong hewan qurban, itulah salah satu bentuk ketaatan hamba kepada Rabb-Nya. Allah swt. berfirman:

“Maka dirikanlah sholat untuk Robbmu dan berqurbanlah (untuk Robbmu).” (QS. Al-Kautsar: 2).

Berqurban berasal dari bahasa arab yang berarti mendekatkan diri. Qurban sendiri berasal dari kata Qorroba-Yuqorribu-Qurbaanan. Tentu mendekatkan diri dimaksudkan untuk hamba kepada sang Khaliq, sebuah cara pendekatan diri, penghambaan, ketaatan dan kesyukuran.

Kemudian dalam Surat Al-An’am ayat 62 Allah berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadah (qurban)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam.”

Dan dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Anas ra., “Nabi saw. pernah berqurban dengan dua ekor kambing berwarna belang dan bertanduk.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Pada dasarnya, jika dilihat dari penggunaan kata berqurbanlah yang termasuk dalam jenis kata perintah maka kedudukannya menjadi sebuah kewajiban seperti halnya shalat dan shaum di bulan Ramadhan. Namun sama halnya dengan ibadah haji, Allah Maha Mengetahui kadar kemampuan setiap hamba-Nya. Berqurbanlah jika mampu.

Lebih jelasnya mengenai hukum qurban ini ada dua pendapat, pendapat pertama mewajibkan, inilah pendapat yang dianut oleh Imam Hanafi. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa hukum berqurban adalah sunnah muakkadah, dengan menggunakan dalil hadits Ummu Salamah dalam Shohih Muslim bahwa Nabi saw. berkata:

“Apabila telah masuk sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh (dengan menggunting atau mencabut) sesuatupun dari rambut dan kulitnya.”

Sisi pendalilannya adalah bahwa Rasulullah sAW. menyerahkan ibadah tersebut kepada orang yang berkeinginan untuk berqurban.

Juga ada atsar dari beberapa shahabat ra-, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Abu Mas’ud, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad shahih,  bahwa mereka pernah meninggalkan ibadah qurban sedangkan mereka dalam keadaan mampu untuk berqurban, dengan tujuan supaya orang-orang tidak meyakini wajibnya berqurban. (“Fathul ‘Allam:” 5/517)

Tapi inti dari kedua pendapat ini adalah bahwa berqurban disyariatkan kepada orang yang mampu, berdasarkan hadits Rasulullah saw. Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).

Adapun yang tidak mampu tidak disyariatkan berqurban, bahkan merekalah yang berhak menerima daging qurban. Meskipun begitu, tidak ada larangan untuk orang yang tidak mampu menyembelih hewan qurban. Misalnya saja, seseorang yang tidak mampu itu berusaha dengan cara menabung, menyisihkan sedikit penghasilannya untuk berqurban maka ini lebih baik.

Hukum Berkurban Dengan Cara Patungan

Assalamu’alaikum wr.wb…

Ustadz, saya masih ingat dulu, waktu di pesantren, saya dan teman-teman suka patungan untuk membeli seekor kambing untuk qurban, bagaimana hukumnya ya ustadz? Ada juga teman-teman lain patungan beli seekor kambing untuk qurban lalu diberikan kepada Kiyai kami, dan disembelih atas nama Kiyai kami, mohon jawaban ustadz segera.

Syukran katsira

Yusuf - Bandung



Wa’alikumsalam wrb.wb

Akhi Yusuf, subhanallah indah kehidupan para santri. Sejak dini sudah tertanam keinginan beribadah quban. Namun, mengenai hukum patungan membeli qurban, menurutu dalil-dalil yang ada, patungan qurban hanya diperkenankan bila hewan qurban itu sapi, kerbau atau unta. Kalau seekor sapi boleh patungan maksimal tujuh orang (tujuh keluarga), seekor unta boleh patungan maksimal tujuh orang atau sepuluh orang (kurang dari itu diperkenankan). Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah saw, “Kami menyembelih qurban bersama Rasulullah saw di daerah Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Dalam sabdanya yang lain beliau bersabda, “Dahulu kami bersama Rasulullah ketika bepergian, lalu datanglah hari raya Idul Adha, maka kami berpatungan (membeli untuk qurban) untuk sapi tujuh orang dan untuk unta sepuluh orang.” (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu, karena kambing bernilai untuk qurban satu orang (satu keluarga), maka tidak diperkenankan dengan patungan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, Pada masa Rasulullah saw ada seseorang (suami/kepala rumah tangga) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi). Dapat dipahami hitungan atau nilai qurban untuk seekor kambing adalah untuk seorang atau satu keluarga. Karena itu juga, boleh patungan dalam  lingkup anggota satu keluarga. Misal, keluarga A berniat berqurban, dan uang didapatkan dari patungan antara anggota keluarga, dari ayah, ibu, kakak dan adiknya, maka diperbolehkan.

Nah, lebih baik seperti teman yang lain, patungan beli seekor kambing lalu menghadiahkan atau mensedekah ke Kiyai, dan Kiayi yang berqurban. Maka nilainya, yang patungan mendapat pahala sedekah, dan Kiayi mendapatkan pahala qurban. Dalam kaca mata pendidikan (tarbiyah), semangat anak-anak untuk berqurban perlu diapresiasi.






Sumber: islampos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here