Eksekusi Mati Ternyata Hanya Kabar Getir Hasil Pencitraan - Bulan Sabit Kembar

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

5 Januari 2015

Eksekusi Mati Ternyata Hanya Kabar Getir Hasil Pencitraan


Gembar-gembor kabar kejaksaan bakal mengekseskusi mati dua terpidana kasus pembunuhan berencana dan empat terpidana kasus narkoba di akhir tahun rupanya hanya pencitraan untuk mengawali kerja Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo belaka.

Pada akhir November 2014, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Basyuni Masyarif menyatakan di penghujung tahun itu akan mengeksekusi lima terpidana mati.

Pernyataan itu langsung melambungkan citra korps Adhyaksa dengan ketegasannya atau tanpa ada ampun, terutama bagi pelaku kasus narkoba. Pemerintah pun memberikan respons dengan menyebutkan angka-angka terpidana mati bakal dieksekusi.

Tentunya soal eksekusi mati itu menghiasi media cetak, online, dan televisi. Bahkan, muncul kembali pernyataan bahwa jumlah terpidana mati yang bakal dieksekusi tahun ini bertambah satu orang, semula lima orang menjadi enam orang, di antaranya warga negara asing dalam kasus narkoba. Jawabannya, Kejagung semakin naik daun.

Persis dengan bunga yang baru mekar, tiba-tiba redup kembali pada dua hari sisa tahun 2014. Tahun 2014 habis, dan rencana eksekusi mati itu ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.

Alasannya tidak lain soal adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum atau bukti baru hingga memerlukan fatwa dari Mahkamah Agung.

Bersamaan itu juga muncul banyaknya penolakan pelaksanaan eksekusi mati oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh. Mereka menilai eksekusi itu melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jaksa Agung mengaku bahwa pihaknya belum mendapatkan laporan mengenai kesiapan untuk mengeksekusi dua terpidana mati perkara pidana umum itu terkait dengan adanya putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum atau bukti baru.

Akan tetapi, bukankah seharusnya peraturan tersebut sudah diketahui oleh semua pihak di kejaksaan, sehingga tidak perlu terlalu muluk bicara ke publik.

Pertunjukan pencitraan yang baru mulai ditampilkan dengan sejumlah lakon di panggung melalui kata-kata yang membahana itu tiba-tiba berakhir dengan getir.

Mencabut atau membatalkan pernyataan bagi pejabat publik dianggap sekadar mencabut bulu ketiak. Memang, eksekusi ditunda, bukan dibatalkan, tapi rakyat sudah telanjur kecewa. Ternyata, kejaksaan pun butuh bedak dan lipstik untuk menunjukkan eksistensinya. Kata orang Jawa, kabar itu hanya untuk abang-abang lambe atau 'pemanis bibir', supaya sesuatu tampak "wah"; padahal, faktanya "wek."







Sumber : rimanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here