Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Zuber Safawi menyatakan hal yang paling mendesak dalam pelabelan produk halal adalah harus dilakukan terutama pada golongan obat bebas atau yang biasa dijual di warung.
Alasannya, obat bebas dengan mudah dikonsumsi masyarakat dan prinsipnya menjadi tidak darurat lagi karena frekuensi konsumsinya lebih sering. Zuber mengatakan, label halal pada obat juga merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan farmasi kepada konsumen, terutama pengguna obat bebas yang banyak beredar.
Data Badan Pusat Statistik 2012 menunjukkan, sebanyak 91,04 % populasi di Indonesia menggunakan obat modern, sedangkan hanya 24,33 % saja yang menjadi konsumen obat tradisional. Data lain menunjukkan uang yang dihasilkan dari penjualan obat nasional pada 2011 mencapai US $ 4,4 miliar atau sekitar Rp. 44 triliun lebih, dengan pertumbuhan per tahun mencapai 11%. Obat bebas membukukan pendapatan 40% atau sekitar Rp. 17,6 triliun, sedangkan sisanya dari obat resep.
Jumlah fantastis tersebut menunjukkan betapa untungnya perusahaan farmasi karena konsumen loyal obat Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi fokus pemerintah sebagai regulator untuk bagaimana lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen Indonesia, ketimbang kepentingan pemilik modal.
“Perkara apakah obat tanpa label halal nantinya
tetap dikonsumsi masyarakat, itu merupakan pilihan. Namun, sebagai konsumen, adalah hak masyarakat untuk mendapatkan kepastian, keamanan, dan kenyamanan dalam mengkonsumsi obat,” ujarnya.
Sosialisasi LPPOM
Mengenai sulitnya proses sertifikasi halal bagi obat, Zuber meminta pihak LPPOM MUI sebagai lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal, melakukan sosialisasi, apakah kenyataannya seperti itu. Hal itu sangat penting agar klaim-klaim sepihak yang menyudutkan bahwa sertifikasi halal bagi obat itu tidak mungkin dilakukan.
Kenyataannya, di lapangan ada beberapa jenis obat, sebagian besar herbal, yang lolos sertifikasi halal.
Salah satu fatwa MUI yang sangat penting adalah soal status alkohol, terutama yang banyak digunakan sebagai pelarut obat atau sebagai katalisator (zat yang ikut dalam proses pembuatan), meskipun alkohol tersebut tidak ada dalam produk akhir.
Fatwa bernomor 11 tahun 2009 tentang Alkohol itu antara lain menyebutkan: penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamar (yakni minuman yang disengaja mengandung alkohol, sesuai tujuannya untuk menghasilkan minuman keras), termasuk alkohol hasil sintesis kimiawi (petrokimia) atau industri fermentasi non-khamar, untuk produksi makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan, hukumnya adalah mubah (boleh).
Fatwa tersebut secara eksplisit menyebut, asal alkohol bukan berasal dari produk minuman beralkohol (minuman keras) atau khamar, namun terbuat dari sintesis kimia, petrokimia, atau fermentasi non-khamar, maka dibolehkan untuk digunakan sebagai obat.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Alasannya, obat bebas dengan mudah dikonsumsi masyarakat dan prinsipnya menjadi tidak darurat lagi karena frekuensi konsumsinya lebih sering. Zuber mengatakan, label halal pada obat juga merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan farmasi kepada konsumen, terutama pengguna obat bebas yang banyak beredar.
Data Badan Pusat Statistik 2012 menunjukkan, sebanyak 91,04 % populasi di Indonesia menggunakan obat modern, sedangkan hanya 24,33 % saja yang menjadi konsumen obat tradisional. Data lain menunjukkan uang yang dihasilkan dari penjualan obat nasional pada 2011 mencapai US $ 4,4 miliar atau sekitar Rp. 44 triliun lebih, dengan pertumbuhan per tahun mencapai 11%. Obat bebas membukukan pendapatan 40% atau sekitar Rp. 17,6 triliun, sedangkan sisanya dari obat resep.
Jumlah fantastis tersebut menunjukkan betapa untungnya perusahaan farmasi karena konsumen loyal obat Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi fokus pemerintah sebagai regulator untuk bagaimana lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen Indonesia, ketimbang kepentingan pemilik modal.
“Perkara apakah obat tanpa label halal nantinya
tetap dikonsumsi masyarakat, itu merupakan pilihan. Namun, sebagai konsumen, adalah hak masyarakat untuk mendapatkan kepastian, keamanan, dan kenyamanan dalam mengkonsumsi obat,” ujarnya.
Sosialisasi LPPOM
Mengenai sulitnya proses sertifikasi halal bagi obat, Zuber meminta pihak LPPOM MUI sebagai lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal, melakukan sosialisasi, apakah kenyataannya seperti itu. Hal itu sangat penting agar klaim-klaim sepihak yang menyudutkan bahwa sertifikasi halal bagi obat itu tidak mungkin dilakukan.
Kenyataannya, di lapangan ada beberapa jenis obat, sebagian besar herbal, yang lolos sertifikasi halal.
Salah satu fatwa MUI yang sangat penting adalah soal status alkohol, terutama yang banyak digunakan sebagai pelarut obat atau sebagai katalisator (zat yang ikut dalam proses pembuatan), meskipun alkohol tersebut tidak ada dalam produk akhir.
Fatwa bernomor 11 tahun 2009 tentang Alkohol itu antara lain menyebutkan: penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamar (yakni minuman yang disengaja mengandung alkohol, sesuai tujuannya untuk menghasilkan minuman keras), termasuk alkohol hasil sintesis kimiawi (petrokimia) atau industri fermentasi non-khamar, untuk produksi makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan, hukumnya adalah mubah (boleh).
Fatwa tersebut secara eksplisit menyebut, asal alkohol bukan berasal dari produk minuman beralkohol (minuman keras) atau khamar, namun terbuat dari sintesis kimia, petrokimia, atau fermentasi non-khamar, maka dibolehkan untuk digunakan sebagai obat.
Sumber : Facebook Artati Sansumardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar